Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di Balik Peningkatan Drastis Populasi Afrika di Dunia
7 Desember 2017 19:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Seorang bayi dapat mengubah hidupmu selamanya. Tapi dua miliar bayi, dapat mengubah dunia selamanya.
ADVERTISEMENT
Populasi benua Afrika sedang mengalami pertumbuhan penduduk masif. Dalam 35 tahun ke depan, UNICEF memprediksi bahwa bayi yang lahir di benua Afrika akan mengubah wajah dunia.
Angka tersebut luar biasa besar. Pada 2050, empat dari 10 orang di planet ini akan terdiri dari orang Afrika. Sejak tahun 2017 hingga tahun 2050 mendatang, akan lahir sebanyak 1,8 miliar penduduk Afrika baru. Jumlah ini akan menyaingi populasi China yang saat ini cuma memiliki 1,3 miliar penduduk.
Di tahun 2050, populasi penduduk benua Afrika diproyeksikan akan menyentuh angka 2,53 miliar penduduk. Sementara itu, penduduk dunia sendiri diprediksi akan mencapai angka 9,77 miliar di tahun 2050. Itu berarti Afrika akan menyumbangkan sekitar 26 persen penduduk dunia, 2 kali lipat dari jumlah penduduk China--yang justru turun menjadi 1,36 miliar penduduk.
ADVERTISEMENT
Pemerintah negara-negara Afrika pun harus bergumul dengan masalah populasi ini. Akibat peningkatan populasi tersebut, migrasi menjadi isu tambahan yang menjadi tantangan lanjutan bagi pemerintah negara-negara Afrika. Ditambah dengan kurangnya infrastruktur, permasalahan yang harus dihadapi Afrika dalam menangani ledakan penduduk makin panjang.
Di tingkat negara, UNICEF memprediksi angka kelahiran tertinggi di Afrika masih akan ditempati oleh Nigeria. Sejak 2015 hingga 2030, 136 juta kelahiran akan terjadi di negara tersebut. Pada 2050, Nigeria akan melahirkan hampir 1 dari 10 bayi di seluruh dunia. Posisi Nigeria ini diikuti oleh Republik Kongo dan Etiopia yang menempati urutan kedua dan ketiga negara Afrika dengan pertumbuhan penduduk terbesar.
Menurut UNICEF, terdapat 2 hal utama yang melatarbelakangi ledakan angka kelahiran bayi di Afrika. Pertama: tingginya tingkat kesuburan (fertility rate) perempuan di benua Afrika. Kedua: kenaikan jumlah perempuan dalam usia produktif.
ADVERTISEMENT
Di 15 negara Afrika, termasuk Nigeria dan Republik Kongo, setiap perempuan bisa melahirkan 5 anak atau lebih . Angka kelahiran ini sangat tinggi jika dibandingkan tingkat kesuburan di benua Eropa (yang cuma 2 anak per perempuan) dan di Amerika Utara (hanya 3 anak per perempuan).
Rata-rata tingkat kesuburan perempuan di Afrika memang telah menurun beberapa tahun belakangan ini. Pada 1981, tingkat kesuburan perempuan Afrika mencapai 6,6 anak per perempuan lalu turun menjadi 4,46 anak per perempuan di 2017.
Meski begitu, penurunan tingkat kesuburan ini terbilang lambat. Pada gilirannya, faktor ini juga membuat angka kelahiran di benua Afrika menjadi yang paling tinggi dibanding benua lain di dunia pada 2054.
ADVERTISEMENT
Angka kelahiran yang tetap tinggi ini disebabkan banyak faktor. Contohnya, kemiskinan dan ketiadaan perencanaan keluarga.
Selain tingkat kesuburan yang tinggi, populasi Afrika secara umum juga terus meningkat. Ini membuat jumlah perempuan dalam usia produktif (15 hingga 49 tahun) meningkat dari 54 juta di tahun 1950 menjadi 280 juta di tahun 2015. Dari tren tersebut, jumlah perempuan di usia aktif bereproduksi akan meningkat menjadi 407 juta di tahun 2030 dan 607 juta di tahun 2050.
Sehingga, pada pertengahan abad ke 21, jumlah perempuan berusia produktif di Afrika akan berlipat ganda. Ini kontras dengan benua Asia, di mana jumlah perempuan di usia produktif terus menurun.
Menurut data Bank Dunia , di Afrika, sebanyak 53 persen perempuan di usia produktif belum mendapatkan akses untuk alat kontrasepsi modern. Rwanda dan Uganda menjadi dua negara dengan akses alat kontrasepsi modern terendah.
ADVERTISEMENT
Dilansir Development and Cooperation , dalam penelitian yang dilakukan The Demographic Health Survey (DHS) pada 2013, perempuan Nigeria yang aktif secara seksual dan menggunakan alat kontrasepsi hanya sekitar 2 persen saja. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila sebanyak 23 persen dari perempuan di kelompok usia produktif telah memiliki anak, bahkan sebelum usia mereka mencapai 15 tahun.
Angka kelahiran di Afrika juga menyibak isu lain. Tingginya angka kehamilan di Afrika disebabkan banyak hal, seperti tekanan pergaulan dan perkawinan usia dini. Selain itu, kehamilan juga disebut menjadi cara perempuan Afrika mendapatkan perhatian suami. Himpitan paradigma patriarki yang kental pun secara tidak langsung menjadi penyebab tingginya angka kelahiran di Afrika.
Belum lagi ditambah dengan pendidikan seksual dan informasi terkait alat kontrasepsi yang juga masih kurang. Di samping akses informasi yang kurang, faktor budaya dan agama juga menghalangi penggunaan alat kontrasepsi modern. Seperti dikutip dari The Pew Research Center , beberapa negara di Afrika seperti Nigeria, Ghana, Uganda, Kenya, dan Senegal, menolak penggunaan alat kontrasepsi karena dianggap bertentangan dengan moral mereka.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan Phillips Edomwonyi Obasohan menunjukkan, bahwa sebagian besar penduduk Afrika menolak penggunaan alat kontrasepsi modern karena alasan religius. Mereka masih berpegang pada agama, yang mengajarkan bahwa anak adalah ‘hadiah’ yang diberikan oleh Tuhan ke dalam rahim perempuan. Dari situ, mencegah kehamilan dengan alat kontrasepsi dan aborsi dianggap sebagai perbuatan dosa dan imoral.
Pemerintah negara-negara Afrika sendiri masih jauh dari kata siap untuk melakukan upaya penurunan angka kelahiran penduduk di benuanya. Meski undang-undang maupun kebijakan baru mungkin dimunculkan guna mereduksi angka kelahiran bayi, namun pihak pemerintah mengatakan bahwa isu ini adalah isu yang terlalu sensitif.
“Kami adalah orang-orang yang sangat religius. Maka dari itu (isu menekan angka kelahiran bayi) menjadi isu yang sensitif bagi kami,” jelas Goodluck Jonathan, Presiden Nigeria, salah satu negara dengan pertumbuhan penduduk tertinggi, seperti dilansir BBC .
ADVERTISEMENT
Selain faktor agama, ketakutan akan dampak yang ditimbulkan kontrasepsi modern, biaya yang dianggap mahal, serta ketidaksetujuan pasangan menjadi beberapa alasan mengapa masyarakat tak mau menggunakan alat kontrasepsi modern. Ini tentu saja menyulitkan upaya perencanaan keluarga yang lebih matang bagi keluarga di Afrika.
Urgensi untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di Afrika akhirnya mendatangkan bantuan dari pihak negara lain.
Denmark, seperti dilansir Quartz , dikabarkan menjanjikan 91 juta kronor (setara dengan Rp 189 miliar) untuk mendukung program penanganan kehamilan yang tidak diinginkan di daerah-daerah terbelakang seperti Afrika. Upaya bantuan untuk menekan angka kehamilan di Afrika ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk menekan angka migrasi ke Eropa.
Sebanyak 1 juta migran dari Afrika diprediksi sedang dalam perjalanan migrasi mereka menuju Libya dan Eropa pada tahun 2017. Di bulan Januari dan Februari saja, menurut laporan dari Agensi Pengungsi PBB, sebanyak 12.000 migran Afrika telah sampai di Italia.
ADVERTISEMENT
Pertambahan penduduk memiliki arti pergerakan urbanisasi dan migrasi yang tinggi. Ditambah dengan angka kelahiran di Afrika yang terus meningkat, pantas saja Eropa bersiap-siap dengan pergerakan migrasi yang jauh lebih masif.
Dengan Afrika yang masih sibuk dengan berbagai persoalan macam kemiskinan, konflik dalam negeri, kesehatan, lapangan pekerjaan, pendidikan, dan perumahan yang jauh dari kata layak, bukankah apa yang dilakukan Denmark itu masuk akal demi menahan laju Afrikanisasi dunia seperti yang kelak diramalkan terjadi?
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline !