LIPSUS- Brigadir Yosua- COVER

Di Balik Skenario Berbeda Kematian Yosua (2)

1 Agustus 2022 13:01 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Minggu, 10 Juli 2022, ponsel Albertus Wahyurudhanto, salah satu komisioner Komisi Kepolisian Nasional, berdering. Ia melihat ada notifikasi pesan WhatsApp masuk dari salah satu mahasiswanya yang merupakan penyidik di Bareskrim Polri.
“Ada info pembunuhan antarpolisi di Duren Tiga. Di rumah Kadiv Propam,” kata Wahyu kepada kumparan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (29/7).
Membaca pesan berisi kata “pembunuhan” dari mahasiswa cum penyidik Bareskrim itu, Wahyu kaget. Ia menduga sang mahasiswa ingin mengorek informasi tambahan darinya, sebab ia yang notabene dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian kerap dianggap memiliki jejaring kuat di kalangan penegak hukum.
“Padahal saya justru baru tahu kejadian itu dari dia. Sebelum Minggu, saya tak tahu. Dan baru Senin kasus itu ramai,” ujar Wahyu.
Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto saat memberikan pernyataan di Polda Bali, Rabu (13/7/2022).. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Senin, 11 Juli, Divisi Humas Polri menggelar konferensi pers melalui Karo Penmas Brigjen Ahmad Ramadhan. Ia menyatakan, telah terjadi tembak-menembak di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Mereka yang bertukar tembak adalah Bharada E dan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Keduanya sama-sama ajudan Sambo.
Ramadhan juga menyebut Yosua melecehkan istri Sambo, Putri Candrawathi. Putri berteriak, dan Bharada E alias Richard Eliezer muncul di tangga. Melihat Richard, Yosua menembaknya, dan Richard membalas. Mereka pun baku tembak. Lima peluru bersarang di tubuh Yosua, sedangkan Richard tak terkena tembakan sama sekali.
Sekuens adu tembak Bharada Richard dan Brigadir Yosua. Ilustrasi: kumparan
Yosua tewas dan diautopsi. Jenazahnya kemudian dikirim ke tempat asalnya di Sungai Bahar, Muaro Jambi. Peti jenazah ingin dibuka keluarganya, namun dilarang oleh polisi yang mengantar jenazah. Setelah keluarga ngotot, akhirnya peti dibuka.
Tangis histeris lantas meledak. Jenazah Brigadir Yosua dipenuhi luka. Keluarganya geram menahan emosi. Mereka meyakini Yosua tak cuma mati ditembak, tapi juga disiksa.
“Ini bukan tembak-menembak. Ini penganiayaan,” kata Samuel, ayah Yosua.
Luka-luka di tubuh Brigadir Yosua. Ilustrasi: kumparan
Keluarga Yosua melalui tim kuasa hukum mereka lantas melaporkan kasus kematian Yosua ke Bareskrim Polri sebagai pembunuhan berencana.

Suara yang Terbelah

Sejumlah sumber di lingkar Kepolisian memberikan informasi yang berbeda-beda terkait kematian Yosua. Sumber A yang bertugas mengumpulkan data di lapangan untuk penyidikan, misalnya, mengatakan bahwa penyiksaan memang terjadi.
“Dia disergap, lalu berantem. Setelah itu ia disiksa, baru dihabisi. Kejadiannya seperti di film,” kata sumber tersebut. Ia juga menyebut kemungkinan bahwa Yosua tidak tewas di rumah dinas Irjen Sambo di Duren Tiga.
Sementara sumber B menegaskan kebenaran keterangan Polri bahwa Yosua tewas dalam baku tembak. Ia menggambarkan denah rumah Sambo dan menunjukkan foto-foto yang memperlihatkan jasad Yosua terkapar dalam genangan darah di rumah dinas Sambo.
Denah Rumah Dinas Irjen Ferdy Sambo. Ilustrasi: kumparan
Tim kumparan melihat sendiri foto-foto Yosua yang tergeletak dalam genangan darah. Namun, sumber tersebut tidak membolehkan foto-foto itu dipotret karena merupakan barang bukti penyelidikan.
Selain sumber A dan sumber B, ada pula sumber C yang mengetahui penyelidikan kasus kematian Yosua. Ia menguatkan informasi sumber A: yang terjadi bukan baku tembak, tapi penembakan terhadap Yosua.
Ia pun mengindikasikan bahwa penembak Yosua bukan Richard Eliezer.
Di sisi lain, muncul sumber D yang memperkuat keterangan sumber B bahwa adu tembak benar terjadi.
Skenario kematian Yosua pun bercabang: baku tembak atau bukan baku tembak; terbunuh atau dibunuh.
Selama hasil autopsi tak dibuka ke publik, dua skenario ini akan terus berjalan di relnya masing-masing, dan masyarakat akan tetap meyakini apa yang mereka percaya.
Terbunuh atau dibunuh? Ilustrasi: kumparan

Tarik-menarik Kepentingan?

Suara dan informasi berbeda di internal Polri terkait kematian Yosua berasal dari kesatuan kerja yang berbeda. Namun, mereka semua—secara langsung atau tidak langsung—terlibat dalam pengusutan kasus tersebut.
Rumor berembus bahwa Presiden Jokowi berkoordinasi dengan Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen Ahmad Dofiri dan mengeluarkan surat perintah untuk membuka kasus secara terang-benderang.
Namun, rumor itu ditepis Wahyu. “Kalau kasih surat, enggak. Tapi telepon, mungkin. Pak Mahfud [sebagai Menko Polhukam dan Ketua Kompolnas] juga biasa telepon langsung ke Kapolri.”
Wahyu juga berpendapat, amatlah wajar bila Kabaintelkam ditelepon, sebab ia dipandang dapat mengerti dengan jelas peristiwa ini melalui cara kerja intelijen.
“Kalau telepon kan ingin tahu perkembangan [pengusutan] bagaimana. Jadi pasti cari orang yang bisa kasih penjelasan [dengan benar], enggak asal,” kata Wahyu.
Ia paham berbagai spekulasi merebak di tengah masyarakat karena adanya ketidakpercayaan publik terhadap Polri. Padahal, bisa jadi apa yang telah disampaikan adalah kebenaran yang sesungguhnya.
“Meski yang bicara A1, tapi ada reaksi negatif dari publik karena mereka menilai statement itu janggal,” ujar Wahyu.
Pembongkaran makam almarhum Yosua di Sungai Bahar, Muaro Jambi, Rabu (27/7). Foto: Wahdi Septiawan/Antara
Sejauh ini, Polri masih mengusut kasus kematian Yosua melalui Tim Gabungan yang juga melibatkan Kompolnas. Sampai saat ini, di hari ke-24 tewasnya Yosua, belum ada pernyataan bahwa investigasi akan segera berakhir.
Penyidikan berlangsung cukup lama, sedangkan rumor terus bertiup. Solusinya, menurut Wahyu, polisi harus benar-benar terbuka dan transparan dalam pengusutan kasus ini. Semua tak boleh luput dicek, sampai ke lubang-lubang di dinding rumah Sambo.
“Peluru kalau ditembak kena kepala pasti jatuh, pelurunya nggak akan [sampai] ke tembok-tembok. Itu [bisa dicek] ahli balistik. Sementara benar atau enggak peluru ditembakkan ke arah tubuh, [dicek] dokter forensik,” ujar Wahyu.
Peti jenazah Yosua Hutabarat diangkat untuk autopsi ulang di Sungai Bahar, Muaro Jami, Rabu (27/7). Foto: Wahdi Septiawan/Antara
Selama hasil autopsi tak dibuka, maka argumen mengenai luka-luka di tubuh Yosua tidak akan sama. Wahyu mencontohkan luka-luka sayat di jasad Yosua.
“Ada yang bilang sayatan itu karena disiksa, tapi ada yang bilang sayatan itu dibuat untuk memasukkan formalin,” tuturnya. Belum lagi omongan bahwa sayatan muncul karena peluru yang memantul dari lantai ke wajah.
Tak heran Menko Polkam Mahfud MD, Jumat lalu (29/7), menegaskan bahwa hasil autopsi harus dibuka ke publik. Ia mengendus ada pihak yang ingin mengacaukan penyelidikan dan menutupi hasil akhir kasus.
“Kita lindungi semua—Yosua dan keluarganya, Pak Sambo dan keluarganya, juga Polri. Cara melindunginya dengan buka seterang-terangnya kasus ini,” kata Mahfud MD.
Rapat Kompolnas dipimpin Mahfud MD, Menko Polhukam sekaligus Ketua Kompolnas. Foto: Humas Kemenkopolhukam
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso juga mencium terbelahnya internal Polri dalam pengusutan kasus Yosua. Semisal, ujarnya, mengapa anggota-anggota Tim Gabungan bentukan Kapolri belum juga bersuara hingga kini.
Tim tersebut beranggotakan Polri dan Kompolnas; dipimpin Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto serta Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono; dan beranggotakan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri, dan Asisten SDM Kapolri Irjen Wahyu Widada.
“Ini perkara high profile, level nasional, dan menyangkut kredibilitas Polri. Mengapa diam saja?” kata Sugeng.
Rabu (27/7), saat ekshumasi dan autopsi ulang jenazah Yosua dilakukan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berharap masyarakat dapat menerima hasil autopsi tersebut.
“Kita tunggu hasilnya. Semoga berjalan baik… Pada saatnya nanti akan disampaikan ke publik,” kata Kapolri tanpa menyebut tanggal pasti hasil autopsi diumumkan.
Prarekonstruksi di rumah Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Sabtu (23/7). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sugeng juga mengkritik prarekonstruksi kasus pelecehan seksual oleh Yosua di rumah dinas Sambo oleh Polda Metro Jaya, Sabtu (23/7). Menurutnya, langkah tersebut bisa menggiring opini publik.
“Kalau disimpulkan Polda Metro bahwa terjadi tindak pelecehan, maka [kasus] pembunuhannya gugur, karena dia (Yosua) mengancam dan membahayakan nyawa dengan menembak sehingga dia ditembak mati,” kata Sugeng.
Sumber lain yang berhubungan erat dengan Kepolisian membenarkan rumitnya kasus kematian Yosua bagi internal Polri. Salah satunya karena posisi penting Sambo selaku Kadiv Propam yang mengetahui berbagai kesalahan di tubuh Polri.
“Semua borok-borok petinggi dia tahu. Ini pertarungan dahsyat,” ujarnya.
Namun, sumber kumparan yang mengenal Sambo membantah hal tersebut. Ia menegaskan bahwa Sambo tidak menyembunyikan apa pun.
Irjen Pol Ferdy Sambo. Foto: Dok. Pribadi
“Ferdy Sambo sudah diperiksa lebih dari dua kali oleh penyidik Polres Jakarta Selatan dan Polda Metro Jaya. Semua disampaikan sesuai fakta,” kata dia.
Anggapan bahwa Sambo memegang kartu as, menurutnya, hanyalah persepsi, asumsi, dan spekulasi yang tak berdasar.
“Di Propam, catatan personel sangat rapi ketika dipimpin Sambo. Setiap ada rotasi dan mutasi, sebelum finalisasi dan disetujui Kapolri, SDM Polri minta catatan personel Polri untuk diteliti oleh Kadiv Propam. Apabila tidak ada masalah atau ‘bersih’, maka Kadiv Propam akan paraf,” jelasnya.
Kuasa Hukum keluarga Yosua, Kamarudin Simanjutak (kanan) dan Johnson Panjaitan (kiri), di Bareskrim Polri, Senin (18/7). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kamaruddin, pengacara keluarga Yosua, mengaku mendapat banyak informasi dari pejabat Polri. Kepada kumparan, ia menunjukkan percakapan via WhatsApp antara dia dengan sejumlah anggota Polri.
“Ada jenderal yang kasih info. Ada juga yang diam saja,” kata Kamaruddin.
Namun, menurutnya, ia tak lantas menelan semua informasi itu. Ia perlu menelaah lebih dulu karena beberapa informasi yang ia dapat justru tampak berupaya mengaburkan fakta. Ia menduga memang terjadi tarik-menarik kepentingan dalam kasus kematian Yosua.
“Kalau yang menangani tidak diintervensi, setengah hari bisa jadi (selesai). Ini bukan perkara susah. Ini sederhana. Tapi karena di sana diduga ada kepentingan besar, maka jadi susah,” tutupnya.
Bila tarik-menarik terus berlanjut, maka kasus tewasnya Yosua akan semakin sulit diungkap, dan semakin jauh dari kehendak Presiden untuk menuntaskannya secara transparan.
Terbaru, pengananan kasus kematian Yosua diambil alih oleh Bareskrim Polri setelah sebelumnya ditangani Polda Metro Jaya. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, kasus ditarik ke Bareskrim untuk efektivitas dan efisiensi penyidikan.
Bareskrim Polri akan bekerja sama dengan Tim Gabungan bentukan Kapolri untuk menuntaskan kasus Yosua.
Laporan hasil autopsi ulang Brigadir Yosua baru akan dikeluarkan secara resmi dalam satu-dua bulan ke depan. Lantas bagaimana progres sementara dari autopsi ulang tersebut? Simak laporan berikut:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten