Di Sana Deepfake, di Sini Deepfake: Bagaimana Membedakan yang Asli dan Palsu?

21 Februari 2025 9:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi deepfake. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi deepfake. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dahulu sekali, kita bisa mempercayai foto dan video sebagai bukti visual yang konkret. Tetapi kini, keberadaan deepfake membuat batas antara yang nyata dan yang palsu semakin kabur. Video seseorang yang berbicara di depan kamera tak lagi bisa dijadikan jaminan kebenaran, sebab teknologi deepfake memungkinkan wajah, suara, dan ekspresi seseorang dipalsukan dengan sangat meyakinkan.
ADVERTISEMENT
Dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih, produksi konten deepfake bisa dilakukan hampir semua orang dengan biaya yang relatif rendah. Seturut dengan itu, setiap orang pun rentan menjadi korban konten deepfake. Termasuk public figure yang menjadi sasaran empuk.
Recorded Future pernah meneliti konten deepfake yang menimpa public figure sepanjang Juli 2023 hingga Juli 2024. Mereka mengumpulkan 82 konten deepfake yang tersebar di 38 negara.
Nah, sebanyak 82 konten deepfake ini meniru wajah para public figure seperti kepala daerah, pemimpin terpilih, kandidat pemimpin, dan juga jurnalis. Modus paling banyak dari fenomena deepfake ini adalah untuk keuntungan finansial pembuatnya.

Lalu, Bagaimana Cara Mengenali Konten Deepfake?

Pakar Teknologi Informasi (IT), Abimanyu Wachjoewidajat, menyebut bahwa untuk mengenali sebuah video merupakan konten deepfake atau bukan bisa dilakukan lewat beberapa cara. Cara pertama adalah dengan memastikan proporsi wajah atau badan orang dalam video tersebut wajar atau tidak.
ADVERTISEMENT
“Paling kasarnya misalnya menempelkan wajah pria ke wanita atau wanita ke pria juga sudah langsung kelihatan kan enggak wajarnya,” tutur Abimanyu kepada kumparan pada Rabu (12/02).
Ahli IT atau pakar Telematika, Abimanyu Wachjoewidajat di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
“Kemudian kalau umpamanya sesama pria ke pria dan wanita ke wanita adalah dilihat dari kewajaran pergerakan mulut dengan kata-kata yang dikeluarkan. Selalu kan yang menjadi acuan untuk pemalsuan ini adalah bahwa seseorang yang menyampaikan sesuatu padahal itu bukan yang dibicarakan,” lanjut pria yang kerap dipanggil Abah ini.
Selanjutnya, untuk dapat membedakan konten asli dengan deepfake juga menurutnya dapat dikenali dengan mengamati mimik wajah. Normalnya, jika manusia berbicara, akan ada gerakan natural antara mata, mulut, dan pipi. Tetapi, jika video tersebut merupakan deepfake, kata Abimanyu, pergerakan natural itu akan sulit terlihat.
ADVERTISEMENT
Deepfake itu sejauh ini baru hanya bisa memasukkan seakan-akan matanya berkedip-kedip saja dan kemudian mulutnya mulai bicara. Padahal untuk bicara, mulut dengan mata dan mimik wajah itu yang normalnya itu kelihatan mimiknya biasanya akan banyak berbeda. Nah deepfake itu hanya menggerakkan mulutnya saja tetapi pipi itu belum kelihatan bisa mampu bergerak. Kalau diperhatikan itu sebetulnya tidak kelihatan natural,” terang Abimanyu.
Barang bukti ditunjukkan pada konferensi pers pengungkapan penipuan dengan deepfake AI yang mengatasnamakan pejabat negara oleh Dittipidsiber Bareskrim Polri pada Kamis (23/1/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan
Cara lainnya untuk membedakan konten asli dengan konten deepfake adalah dengan mengamati animasi yang mungkin ada di videonya. Namun, menurut Abimanyu untuk mengenali hal ini diperlukan mata yang terampil. Orang dengan kemampuan IT juga menurutnya butuh menggunakan perangkat untuk mengenali hal ini.
“Ya animasi dari deepfake kalau yang baru mau dianimasikan bagi orang biasa itu tidak kelihatan seakan-akan wajar tetapi kalau orang yang mengerti itu bisa tahu,” tutur Abimanyu.
ADVERTISEMENT

Konten Deepfake Audio Lebih Sulit Dikenali

Co-Founder Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Eko Juniarto, turut menyampaikan cara untuk membedakan konten audio dan visual yang asli dengan deepfake. Namun, kata dia, konten audio atau suara lebih sulit dikenali kebenarannya ketimbang konten visual.
“Jadi gini, respons orang terhadap suara itu jauh-jauh lebih cepat ketimbang otak memproses visual. Otak memproses suara itu jauh lebih cepat karena lebih ringan pemprosesannya ketimbang orang memproses visual itu bedanya sekitar 0,4 milisekon,” tutur Eko saat dihubungi kumparan pada Kamis (13/02).
Founder dan Editor Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Eko Juniarto. Foto: Aliya R Putri/kumparan
Menurutnya, dibutuhkan telinga yang memang sudah peka terhadap suara untuk dapat membedakan sebuah konten audio itu asli atau tidak.
“Jadi kalau orangnya sudah terbiasa berkecimpung di dunia special effect atau dubbing suara dia akan lebih cenderung, lebih gampang mengenali itu suara buatan AI atau enggak,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Bila berbicara konten visual, kata Eko, konten video dengan latar belakang yang polos akan lebih susah dideteksi deepfake atau bukan. Tetapi, jika latar belakangnya memiliki pola tersendiri, akan lebih mudah dideteksi mengikuti pergerakan kepala atau badan orangnya.
“Misalnya satu foto politisi dia sedang berdiri background-nya mungkin pagar atau apa kalau background-nya polos itu lebih susah dideteksi tapi kalau background-nya itu ada polanya, pas kepalanya bergerak background-nya juga ikut bergerak,” jelas Eko.
Dari fitur tubuh juga dapat dikenali apakah sebuah konten deepfake atau bukan. Untuk video deepfake, menurut Eko, kecerdasan buatan/ Artificial Intelligence (AI) masih sulit menirukan gerakan lidah dan gigi yang natural seperti manusia. Jika tokoh dalam video itu laki-laki, kata Eko, dapat diperhatikan pergerakan jakunnya. Video buatan AI biasanya menunjukkan pergerakan jakun yang tidak natural dan salah.
Ilustrasi deepfake. Foto: Shutterstock
Selain gigi dan jakun, mata juga bisa menjadi indikator membedakan konten deepfake dan tidak. Katanya, jika bagian mata tokoh di sebuah konten video di-zoom in, mata tokoh di konten asli seharusnya memantulkan apa yang ada di depannya. Lain halnya jika mata tokoh tidak dapat memantulkan objek di depannya, maka bisa dicurigai konten itu adalah konten deepfake.
ADVERTISEMENT
“Mulut mungkin masih bisa, tapi kalau memperlihatkan gigi sama gerakan lidah mungkin masih belum. Terus mata, masalahnya gini, kalau videonya itu resolusinya rendah maka mata tuh paling kayak gini kan, mata cuma kelihatan kecil gitu. Tapi kalau dia zoom in, karena matanya bisa sampai sekuku saya gini, mata yang benar alamiah itu dia memantulkan apa yang ada di depan dia,” pungkasnya.
Reporter: Aliya R Putri