Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Selepas menghadiri pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UGM Prof. Paripurna Sugarda di Yogyakarta, Kamis (16/11), Ganjar Pranowo kembali mengungkit potensi kecurangan di Pilpres 2024 .
Capres PDIP itu sebelumnya menerima laporan soal dugaan intervensi terhadap sejumlah penjabat (Pj) kepala daerah untuk mendukung salah satu pasangan calon. Untuk mengantisipasi praktik curang itu, Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud membentuk satuan tugas.
“Dengan situasi seperti ini, kita mesti prepare. TPN menyiapkan lembaga yang bisa mengurus hal-hal yang tidak kita inginkan sebagai bentuk antisipasi. Dan mudah-mudahan … semua akan kembali pada jalan yang benar,” kata Ganjar.
Kekhawatiran Ganjar bukan kali itu saja disuarakan. Dua hari sebelumnya, Selasa (14/11), ketika berpidato di KPU usai mendapatkan nomor urut 3, Ganjar menyinggung soal kondisi demokrasi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.
Partai utama pengusung Ganjar, PDIP, jelas menggaungkan hal yang sama. Minggu (12/11), dalam pernyataannya ke publik, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri secara gamblang menyebut sudah mulai melihat tanda-tanda kecurangan.
“Jangan takut untuk bersuara, jangan takut untuk berpendapat, selama segala sesuatunya tetap berakar pada kehendak hati rakyat,” ujar Megawati.
Kubu Ganjar-Mahfud terus menggaungkan pentingnya mewaspadai kecurangan, memburuknya demokrasi dan hukum, serta menguatnya politik dinasti setelah Mahkamah Konstitusi memutus gugatan syarat usia minimal capres-cawapres yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres Prabowo .
Keprihatinan soal situasi terkini bukan cuma datang dari kubu Ganjar, tapi juga Anies Baswedan. Capres nomor urut 1 itu menyatakan, saat ini kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin luntur dan Pilpres 2024 dipenuhi isu kecurangan, ketidakadilan, serta manipulasi. Isu negatif yang masif ini, ujar Anies, baru pertama kali terjadi sejak Pemilu 1999.
“Kita semua harus menghormati pilihan rakyat. Cara menghormati pilihan rakyat adalah dengan memberikan kebebasan yang sesungguhnya bagi rakyat untuk menentukan pilihan,” kata Anies di depan relawannya di Gedung Joang, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (17/11).
Narasi senapas di kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin (AMIN) itu disinyalir untuk menghadapi paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran, yang diyakini disokong kuat “negara” melalui ayah Gibran, Joko Widodo, yang menjabat sebagai Presiden.
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof. Firman Noor menilai, kesamaan narasi antara kubu Ganjar dan Anies bisa memunculkan “musuh bersama”, sebab sebelum Ganjar dan PDIP ditinggalkan Jokowi , Anies telah lebih dulu merasakan berbagai gangguan menuju Pilpres 2024.
“Kalau keduanya menjadi victim, keduanya bisa memunculkan common enemy. Ketika ada mindset common enemy, bukan tidak mungkin komunikasi di antara victims ini lebih intens,” ujar Prof. Firman kepada kumparan.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, pihaknya memang telah menjalin komunikasi dengan Tim Pemenangan Nasional AMIN mengenai keresahan terhadap penggunaan instrumen kekuasaan dan hukum di Pilpres 2024. Menurutnya, kubu AMIN juga merasakan tekanan serupa.
“Kami juga membangun komunikasi dengan AMIN karena merasakan hal yang sama, sehingga inilah yang kemudian kami luruskan, supaya demokrasi berada di koridornya,” kata Hasto di kawasan Thamrin, Jakarta, Sabtu (18/11).
Eks Aktivis Jadi Penghubung
Meski sejumlah petinggi NasDem menyatakan tidak berkomunikasi dengan Hasto, pun tidak merasa tertekan seperti disebut Hasto, sumber kumparan di kubu Ganjar dan Anies menyebut memang ada komunikasi antartim sukses.
Sumber–sumber itu menyebut, telah muncul kesepahaman untuk “berkoalisi” menghadapi jagoan Jokowi, Prabowo-Gibran. Komunikasi tersebut dilakukan anggota timses yang berlatar belakang eks aktivis. Salah satu mantan aktivis yang menjadi penghubung dari timses Ganjar-Mahfud adalah Wakil Ketua TPN Ammarsjah Purba.
Ammarsjah ialah aktivis 80-an yang pernah terlibat aksi boikot Mendagri Rudini di Institut Teknologi Bandung pada 5 Agustus 1989. Kala itu, Ammarsjah menjabat sebagai Presiden Komite Pembelaan Mahasiswa. Ia dipenjara bersama belasan mahasiswa ITB lainnya, termasuk koordinator lapangan aksi, Jumhur Hidayat—yang kini Co-Captain di Timnas AMIN.
Kepada kumparan, Ammarsjah membenarkan pernah bertemu dengan beberapa orang dari pihak AMIN. Namun, menurutnya, dalam pertemuan itu dia sama sekali tidak mewakili TPN, melainkan datang secara personal sebagai aktivis 80-an.
Salah satu pendukung AMIN yang sempat ia temui adalah budayawan asal Yogyakarta, Brotoseno. Dalam salah satu pertemuan, keduanya saling “menitip agenda” jika salah satu dari jagoan mereka menang Pilpres 2024.
Agenda itu sejak dulu digaungkan aktivis 80-an, yakni: mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera, menjaga proses demokrasi, serta mencegah korupsi-kolusi-nepotisme (KKN).
“Agenda itu semacam kesepakatan bersama,” kata Ammarsjah di Jakarta.
Ia melanjutkan, komunikasi yang dijalin dengan sesama aktivis di kubu AMIN termasuk untuk memperkuat kesamaan pandang dalam melawan Prabowo-Gibran yang dianggap representasi Neo-Orde Baru.
“Di timses-timses ini banyak kawan aktivis yang dipenjara karena melawan Orde Baru. Ya nggak mungkin mereka [dukung] ke sana (Prabowo-Gibran), ke-Neo Orde Baru,” ujar Ammarsjah.
Saling Dukung di Putaran Kedua
Menurut sumber kumparan di Timnas AMIN, isyarat “kerja sama” dengan kubu Ganjar-Mahfud bahkan sudah masuk ke draf konsep dukungan jika salah satu paslon gagal lolos ke putaran kedua.
Sumber lain menyebut, dalam draf konsep itu, jika Anies-Muhaimin gagal melaju ke putaran kedua, sekitar 70% suara pemilih mereka diprediksi akan beralih ke Ganjar-Mahfud. Sementara bila Ganjar-Mahfud tak lolos putaran kedua, persentase suara kubu mereka yang beralih ke Anies-Muhaimin diprediksi lebih solid dan lebih besar, yakni mencapai 90%.
Sumber itu berujar, sisa 30% suara Anies-Muhaimin yang diprediksi tak beralih Ganjar-Mahfud berasal dari massa kelompok kanan yang sangat resisten terhadap PDIP.
Walau begitu, massa yang resisten ini bisa saja ikut mengalihkan suara bila mendapat berbagai penjelasan, salah satunya narasi bahwa Ganjar-Mahfud sama seperti Anies-Muhaimin yang merepresentasikan perubahan. Ini sangat berbeda dengan Prabowo-Gibran yang konsisten mengampanyekan “lanjutkan”.
Namun menurut Ammarsjah, komunikasi yang ia jalin dengan kubu AMIN tak sejauh itu. Meski demikian, ia meyakini suara AMIN dari kelompok NU pasti beralih ke Ganjar-Mahfud jika Pilpres masuk putaran kedua.
“Tidak ada suatu perjanjian bahwa kalau nanti [masuk] putaran kedua, kami akan segala macam. Tapi sebagian faksi yang dibawa Muhaimin secara natural harusnya NU, dan Islam Nusantara pasti akan cenderung ke Ganjar. Jadi tanpa ada perjanjian kerja sama itu pun, akan mengalir ke sana,” jelas Ammarsjah.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid berpendapat, hitung-hitungan suara pendukung AMIN akan berlabuh ke mana jika tak lolos putaran kedua pilpres, masih terlalu dini. Timnas AMIN masih yakin mereka bisa memenangi Pilpres 2024.
“Belum kita pikirkan karena hari ini kita keyakinannya mau dua putaran atau mau satu putaran, [AMIN akan] masuk," ucap Jazilul di Info A1 kumparan.
Timnas AMIN terus berupaya mendongkrak elektoral Anies-Muhaimin agar bisa masuk ke putaran kedua. Menurut Jumhur, berdasarkan survei internal, perolehan suara AMIN tak berbeda jauh dengan dua kandidat lainnya.
Ia mengacu pada hasil lembaga survei dunia asal Prancis, Ipsos Public Affair, yang menyebut elektabilitas AMIN di kisaran 28,91%. Dalam survei yang berlangsung 17–19 Oktober 2023 itu, elektabilitas AMIN tak berbeda jauh dengan Prabowo-Gibran (31,32%) dan Ganjar-Mahfud (31,98%)
Jurus mendongkrak elektabilitas AMIN, ujar Jumhur, terfokus pada kampanye tiga bulan ke depan di provinsi-provinsi yang penetrasi suara AMIN masih lemah, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jumhur sendiri ditugasi menarik suara dari para pekerja kerah biru seperti buruh, pedagang pasar, dan pekerja migran. Teranyar, AMIN menerima dukungan dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI). Musababnya, dalam programnya, Anies menjanjikan bahwa revitalisasi atau peremajaan pasar akan menggunakan dana pemerintah, bukan dana investor yang kerap membuat pedagang lama tergusur.
Terkait masifnya isu kecurangan pemilu, Jumhur mengatakan ada keresahan serupa di kubu AMIN, tetapi pihaknya tidak ingin terlibat dalam perang statement antar-kontestan. Timnas AMIN ingin fokus pada kampanye positif dengan memperkenalkan program-program mereka.
“Itu urusan mereka (tim Ganjar vs Prabowo). Kami enggak ikut-ikutan [perang statement]. Tapi kalau sefrekuensi ada kekhawatiran soal kecurangan, iya. Kami meminta semua aparat netral,” kata Jumhur.
Seperti keyakinan yang dimiliki Timnas AMIN, TPN Ganjar-Mahfud pun meyakini calon mereka bakal lolos ke putaran kedua. Berdasarkan hasil survei internal, suara Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran tak berbeda jauh di kisaran 34–37%.
Lebih lanjut, Ammarsjah mempertanyakan hasil survei yang menunjukkan elektabilitas Prabowo-Gibran jauh mengungguli Ganjar-Mahfud.
Beberapa waktu terakhir, berbagai lembaga survei memotret elektabilitas Prabowo-Giibran jauh di atas Ganjar-Mahfud. Misalnya saja Populi Center (43,1 vs 23%), Indo Barometer (34,2% vs 26,2%), Indikator Politik (39,7% vs 30%), dan Poltracking (40,2% vs 30,1%).
Bila merujuk pada survei internal TPN maupun Ipsos Public Affair asal Prancis yang menunjukkan perbedaan suara tipis antara ketiga kandidat, maka sulit bagi salah satu calon untuk bisa langsung menang 1 putaran.
Ammarsjah khawatir narasi 1 putaran yang digaungkan Prabowo-Gibran dengan bermodal survei merupakan upaya untuk membentuk opini publik bahwa menang 1 putaran adalah sesuatu yang wajar—sekalipun di dalamnya penuh kecurangan.
“Apakah ini bagian dari diseminasi memperkenalkan kandidat saja, atau sebenarnya upaya menjustifikasi bahwa kalau nanti hasil [perolehan suara] berlipat 1.000%, rakyat akan menganggap wajar? Ini kan bagian dari psikologi memengaruhi publik bahwa kalaupun ada proses kecurangan, itu menjadi terabaikan karena [perolehan suara setinggi itu] dianggap wajar,” jelas Ammarsjah.
Ia menduga strategi serupa juga dipakai untuk meloloskan PSI yang dipimpin putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ke parlemen. Namun, caranya bukan melalui survei, melainkan dengan menebar banyak atribut PSI di daerah-daerah.
Namun, Ketua DPP PSI Ariyo Bimmo menyatakan, berdasarkan hasil survei Indikator, partainya bukanlah yang paling banyak dalam menyebarkan atribut atau baliho. Dalam survei itu, penyebaran atribut PSI hanya berada di peringkat 11.
“Jauh lebih kecil dibanding PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, PKB, dan partai-partai lain,” ucap Ariyo.
Prof. Firman Noor dari BRIN berpendapat, narasi 1 putaran yang bermodal survei memang bisa mempengaruhi psikologi publik yang ujungnya mengganggu kebebasan pemilih. Dalam hal ini, publik sudah terkena bandwagon effect atau efek ikut-ikutan memilih calon yang punya potensi menang paling besar menurut survei.
“Psikologi massa, meskipun tidak kenal [calon] tapi kelihatan sudah ramai, akhirnya ikut dukung. Orang kan jarang mau ikut yang kalah. Jadi ada opini yang diupayakan [dibangun]. Ini bagian dari propaganda. Kalau kebohongan diulang-ulang terus secara sistematis, orang akan menerima sebagai kebenaran,” ucap Firman.
Menjawab hal itu, Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman menyatakan, dalam sejarah pilpres, Prabowo tidak pernah berbuat curang. Sebaliknya, Prabowo selalu menjadi korban kecurangan sejak mengikuti kontestasi di Pilpres 2009, 2014, sampai 2019.
“Jadi kalau Pak Prabowo maju apa pun, mengikuti kontestasi apa pun—sejarah dan publik menjadi saksi: tidak pernah satu bentuk kecurangan pun dilakukan. Yang ada disebut-sebut pernah jadi korban kecurangan,” kata Habiburokhman.
Suara Akar Rumput
Terciptanya konsolidasi narasi di elite kubu Ganjar dan Anies juga tercermin di akar rumput, khususnya yang bermain media sosial Twitter—kini X. Lead Analyst Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, menyatakan ada narasi yang selaras dari pendukung Ganjar dan Anies untuk menolak politik dinasti Jokowi.
Berdasarkan pantauan Drone Emprit pada periode 1 Oktober–15 November 2023, tercatat 70% dari 46.779 percakapan soal politik dinasti Jokowi di medsos X bernada negatif. Jika digabungkan dengan percakapan di Instagram, sentimen negatif bertambah jadi 73%.
Mayoritas publik yang menilai negatif lantas menghubungkan dinasti politik Jokowi dengan keluarga Cendana atau Soeharto. Prabowo pun masih diasosiasikan sebagai penerus trah politik keluarga Cendana. Alhasil, dari percakapan bernada negatif tersebut, tagar yang sering dipakai adalah #OrdeBaruReborn.
“Lebih dari 3.000 yang membicarakan dinasti politik menggunakan [tagar] orba reborn. Diasosiasikan enggak beda ternyata antara dinasti politik Jokowi dengan Cendana,” ucap Nova.
Meski demikian, ada pula percakapan politik dinasti yang bernada positif sebesar 22%. Percakapan tersebut berasal dari kubu Prabowo-Gibran. Mereka berargumen bahwa tudingan dinasti politik Jokowi melalui Gibran tidak masuk akal, sebab yang memilih cawapres secara langsung adalah rakyat.
“Percakapan 8% sisanya [bernada] netral. Sebagian besar bicara bahwa dinasti politik tidak hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri,” kata Nova.
Meski pendukung Ganjar dan Anies selaras memprotes politik dinasti Jokowi, tetapi keduanya punya cara masing-masing. Nova menyebut secara garis besar, percakapan menolak politik dinasti di medsos X didominasi pendukung Ganjar dan kaum akademisi/pengamat.
Sedangkan suara penolakan dari pendukung Anies tidak sedominan kelompok Ganjar. Nova menyebut pendukung Anies enggan memprotes langsung ke Jokowi atau Gibran.
Mereka justru menyalahkan pendukung PDIP dan Ganjar yang selama ini memuja Jokowi, termasuk bersikap permisif ketika Gibran dan menantunya, Bobby Nasution, maju di Pilwalkot Solo dan Medan. Pujaan dan sikap permisif tersebut dinilai membuat Jokowi berani bermanuver memuluskan politik dinasti.
“Jadi mereka ngomong sekarang aja baru [bicara] politik dinasti, kemarin pas Gibran dan Bobby [Nasution] maju [Pilwalkot], kita sudah warning ini gak boleh, secara etis bermasalah,” kata Nova menirukan ucapan pendukung Anies di medsos.
Meski perbincangan negatif dinasti politik kencang di medsos, tapi hal itu tidak nampak dari hasil survei. Lembaga survei Indikator misalnya, menunjukkan bahwa 42,9% responden menganggap biasa politik dinasti. Sedangkan yang mengkhawatirkan politik dinasti ada di angka 39,2%.
Selain itu, sekitar 52,6% responden berpendapat politik dinasti tidak masalah selama proses pemilu masih dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan yang menilai politik dinasti menghambat demokrasi di kisaran 36,3%
Begitu pula survei SMRC yang menunjukkan hanya sekitar 37% responden yang mengetahui Jokowi sedang membangun politik dinasti, sedangkan sisanya 63% tidak tahu.
Walau demikian, dari kelompok yang mengetahui (37%), sebanyak 75% menyatakan tidak suka dengan sikap Jokowi membangun politik dinasti.
Nova memandang tak selarasnya penolakan di medsos dengan hasil survei lantaran isu politik dinasti merupakan isu elit. Terlebih dalam konteks budaya, masyarakat Indonesia cukup permisif dengan politik dinasti.
Sementara Prof. Firman memandang hasil survei mengenai politik dinasti tidak bisa menjadi patokan. Sebab jumlah responden yang disurvei tidak menangkap seluruh keragaman opini masyarakat. Padahal berbagai elemen masyarakat telah bersuara mengkritik politik dinasti. Ia melihat justru ada upaya membangun argumen pembenaran terhadap upaya nepotisme tersebut.
“Ada tendensi mungkin responden yang didapat menutupi apa yang sesungguhnya ada dalam hati mereka. Karena menjadi hal yang biasa dalam hasil survei meskipun mengatakan puas, tapi ketika didetailkan ke masalah ekonomi mereka merasa susah. Jadi mungkin respondennya cari aman dari situasi politik sekarang sehingga tidak benar-benar meng-capture apa yang terjadi,” jelas Prof. Firman.
Sementara Ammarsjah berpendapat masyarakat harus terus diedukasi mengenai bahayanya politik dinasti, nepotisme, dan proses karbitan seorang pemimpin.
“Kita sedang berada dalam situasi yang sulit, ini problem serius, gak bisa hanya dijogetin, disenyumin, gak cukup. Di sana (Prabowo-Gibran) memang kampanyenya gitu, jogetin aja, senyumin aja. Ini justru membahayakan, rakyat dininabobokkan seolah-olah gak ada masalah padahal ancamannya nyata,” tutup Ammarsjah.