Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dilan dan Sejarah Aturan Penggunaan Helm
27 Februari 2019 11:38 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
ADVERTISEMENT
“Bandung sekarang menyenangkan ya. Karena ada kamu,” kata Dilan kepada Milea, saat keduanya menunggangi motor CB 100, membelah Jalan Buah Batu, Bandung.
ADVERTISEMENT
Begitu kira-kira cuplikan adegan film ‘Dilan 1991’ yang bakal tayang serentak di seluruh bioskop di Indonesia esok hari, 28 Februari 2019. Dalam film sekuel itu, Dilan kembali digambarkan sebagai sosok panglima tempur ‘geng motor’ terkenal di Bandung.
Penayangan ‘Dilan 1991’, diam-diam membuat Polri was-was. Dari kacamata Korps Bhayangkara, sosok Dilan bukan teladan baik soal urusan keselamatan berkendara. Yang disoroti, salah satunya, kebiasaannya tak mengenakan helm saat berkendara sepeda motor.
Polri khawatir dengan dampak negatif film yang digandrungi kalangan remaja itu. Terlebih, seri perdananya cukup sukses. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan ‘Dilan 1990’ menggaet 6,4 juta penonton, sekaligus menyabet gelar film Indonesia terlaris sepanjang 2018.
Sementara, trailer ‘Dilan 1991’, yang kembali diperankan Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla, saja sudah ditonton 13 juta kali di Youtube. Artinya, animo terhadap sekuel fim Dilan masih tinggi. Wajar bila kemudian Polri risau kebiasan buruk Dilan tak menggunakan helm ditiru penonton.
ADVERTISEMENT
“Namanya helm merupakan kelengkapan perorangan, saya kira aturannya sudah lama. Dilan cukup lama, kan sekarang orientasinya keselamatan,” kata Kakorlantas Polri Irjen Pol Refdi Andri kepada kumparan, Selasa (19/2).
Gara-gara kritik Polri itu, muncul perdebatan di media sosial. Ada yang membela Dilan dengan argumen di tahun 1990 dan 1991, konteks latar film Dilan, belum ada undang-undang yang mewajibkan penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor. Benarkah demikian? Baiknya kita cermati metamorfosa aturan yang mewajibkan penggunaan helm di bawah ini.
Sejarah Aturan Helm di Indonesia
Ide aturan penggunaan helm di Indonesia sebenarnya pertama kali dicetuskan mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso. Pada tahun 1970, Ia bertugas menemani Presiden Soeharto berkunjung ke berbagai negara di Eropa seperti Belanda, Jerman Barat hingga Inggris.
ADVERTISEMENT
Hoegeng terkesan dengan ketertiban masyarakat di sana dalam berlalu lintas. Dia juga mengamati kebiasaan pengendara sepeda motor di Eropa yang selalu mengenakan pelindung kepala.
‘Tradisi’ penggunaan helm di Eropa sudah muncul dari tahun 1935. Hal itu dipicu kecelakaan sepeda motor yang menimpa perwira militer cum arkeolog terkemuka asal Britania Raya, Thomas Edward Laurence.
Ia sempat koma dan akhirnya meninggal dunia. Muncullah kesadaran pentingnya helm bagi pengendara sepeda motor di Eropa. Namun, baru pada 1957 helm diproduksi secara massal.
Pengalaman perjalanan di Eropa mengilhami Hoegeng untuk menerapkan hal yang sama di Indonesia. Apalagi, angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor di Jakarta saat itu lumayan tinggi, sekitar 1.450 kecelakaan tiap bulannya.
ADVERTISEMENT
Gejala itu berbanding lurus dengan meningkatnya minat warga Ibu Kota menggunakan sepeda motor. Mereka umumnya malas naik angkutan umum, dan punya uang lebih untuk membeli kendaraan yang saat itu kebanyakan berasal dari pabrikan Jepang.
“Menurut data statistik, kata polisi, lebih dari 50% kendaraan bermotor di Indonesia terdiri dari sepeda bermotor. Di Jakarta saja ada 98.202 buah,” tulis majalah Ekspres, 23 Agustus 1971.
Majalah yang sama pada edisi 27 September 1971, juga mengulas data kecelakaan pengendara sepeda motor. Temuannya: 49.1 persen korban kecelakaan sepeda motor di RSU Malang terluka pada bagian kepala.
Hoegeng berprinsip, Polri harus melakukan langkah antisipatif menyesuaikan perkembangan zaman. Aturan penggunaan helm ia tuangkan dalam Maklumat Kapolri bertarikh 7 Agustus 1971.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari buku ‘Ensiklopedi Jenderal Hoegeng’ (2007), isi maklumat itu adalah sebagai berikut:
a. para pengendara sepeda motor mengenakan topi helm
b. penumpang yang membonceng harus duduk mengangkang.
Maklumat tersebut juga mengatur hukuman bagi pelanggar. Sanksinya mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
Pasal 32
(1) Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah barang siapa yang tidak memenuhi atau melanggar seluruh atau sebagian dari keharusan atau ketentuan
Maklumat itu menuai pro-kontra. Beberapa pakar hukum, seperti Mr Tjiam Djoe Kiam dan Asikin Kusumah Atmadja, keberatan dengan aturan yang dikeluarkan Hoegeng. Ia berargumen, polisi hanya pelaksana peraturan dan bukan pembuat peraturan. Karena itu, Kapolri tak punya wewenang mengeluarkan peraturan yang bersifat seperti undang-undang.
ADVERTISEMENT
“Yang membuat peraturan hanyalah DPR, setidak-tidaknya suatu RUU harus disahkan DPR. Maklumat Kapolri Jenderal Polisi Drs. Hoegeng mengenai topi pengaman (helm) hanya bisa berlaku bagi anak buahnya sendiri,” kata Tjiam.
Hoegeng bergeming. Dia menjelaskan, keharusan pengendara motor memakai topi pengaman adalah untuk kepentingan masyarakat. Penjelasan itu ia sampaikan saat memberi keterangan pers di upacara pelaporan kenaikan pangkat tiga pati (perwira tinggi) di Aula Departemen Hankam, November 1971. “Kalau di Malaysia bisa, kenapa di sini tidak bisa," tegas Hoegeng.
Hoegeng menampik anggapan yang berkembang pada masa itu, bahwa sepeda motor di Indonesia merupakan kendaraan keluarga. Faktanya, menurut dia, sepeda motor kerap digunakan ibu-ibu yang pergi ke pesta dengan menggunakan kebaya.
ADVERTISEMENT
Mereka umumnya menggunakan sanggul sehingga malas mengenakan helm.
Tjiam dan Asikin sempat menggugat Maklumat yang dikeluarkan Hoegeng ke Mahakmah Agung. Namun, ada ahli hukum lain yang sependapat dengan Hoegeng, yakni Adnan Buyung Nasution. Pada akhirnya, MA menolak gugatan para penggugat. Atas pertimbangan keselamatan, Maklumat Kapolri diberlakukan bagi masyarakat luas.
Maklumat Hoegeng menjadi landasan hukum kewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor selama 19 tahun. Aturan lebih komprehensif baru tertuang di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, tepatnya di ayat 1 butir e dan ayat 2:
Pasal 23
(1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, wajib :
ADVERTISEMENT
e. memakai sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih, dan mempergunakan helm bagi pengemudi kendaraan bermotor roda dua atau bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah.
(2) Penumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang duduk di samping pengemudi wajib memakai sabuk keselamatan, dan bagi penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah wajib memakai helm.
Tahun 2009, aturan soal penggunaan helm dibuat lebih spesifik. Helm yang harus digunakan pun punya kriteria tertentu, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 57 ayat (1) jo ayat (2):
ADVERTISEMENT
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
(2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.
Sanksi bagi pengendara sepeda motor yang tak menggunakan helm pun makin berat. Mereka bisa dijerat pasal 291 ayat 1, dengan ancaman pidana paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu. Regulasi ini berlaku hingga sekarang.