Dilema Duit Generasi Sandwich: "Aku Dulu, Mamah Dulu, atau Adik Dulu"

3 Desember 2022 10:17 WIB
ยท
waktu baca 6 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi stres.
 Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi stres. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Salma adalah seorang karyawan swasta asal Bandung. Usianya kini 27 tahun. Dia harus jadi generasi sandwich.
ADVERTISEMENT
Sejak 2017 tepatnya setelah sang ayah meninggal, Salma harus menanggung kebutuhan ibu dan adiknya. Kala itu ia merasa semuanya masih berjalan normal sebab menurutnya memang kewajiban anak untuk merawat dan membiayai orang tua.
"Jadi kalau untuk bantu adik sama orang tua itu ngerasanya bukan beban, karena kan aku ngerasa ini memang dari orang tua. Pokoknya pas nikah ngerasa berubah banget," ujar Salma kepada kumparan, Kamis (2/12).
Sayangnya beban hidupnya mulai terasa berat setelah ia menikah dan punya anak. Musababnya, untuk seorang pegawai swasta, Salma harus membagi pengeluarannya untuk membiayai ibu, adik, dan anaknya.
Ilustrasi uang. Foto: Muhamad Farihin/Shutterstock
"Intinya gini kalau dapat uang misalnya dari gaji aku sudah hitung-hitung ini buat mamah, ini buat adik, ini buat di rumah jaga-jaga suami enggak ngasih. Jadi pas dapat uang itu aku sudah hitung dan bagi-bagi," ujar Salma.
ADVERTISEMENT
Salma bercerita pengeluarannya semakin bertambah besar saat sang adik masuk kuliah tatap muka. Adiknya sempat meminta untuk kos di dekat kampus karena jarak rumah yang cukup jauh. Salma mengaku kebingungan harus mencari uang dari mana untuk mewujudkan keinginan sang adik.
Dia juga menjelaskan ia merasa takut mengizinkan adiknya untuk indekos. Selain masalah biaya, Salma takut meninggalkan ibunya di rumah karena teringat saat dulu meninggalkan almarhum ayahnya sendirian di rumah.
"Waktu dulu aku kan pas ngekos masih ada orang tua, di sini aku jadi banyak takutnya. Yang lebih ditakutkan ninggalin mamah sendiri di Lembang, karena saya kan trauma waktu itu bapak meninggal saya kan lagi di di sini (Tanjung Sari) dan adik di pesantren," terang Salma.
ADVERTISEMENT
Salma juga harus mengingatkan adiknya untuk tidak bisa memberikan duit terlalu banyak. Meski masih bisa memberikan biaya bulanan sang adik, Salma mengingatkan ia tidak bisa berlaku seperti ayahnya yang selalu siap sedia punya uang.
"Jadi sudahlah tidak apa-apa, jadi kalau misalnya ada langsung (ngasih). Tapi saya suka bilang sama adik kalau misalnya lagi tidak ada wayahna (harus nerima)," jelas Salma.
Salma juga selalu mengingatkan adiknya untuk belajar dan kuliah sebaik-baiknya agar uang yang dikeluarkan untuk kuliah tidak percuma.
Bingung Memilih Prioritas
Sebagai orang yang 'terjebak' jadi sandwich generation, Salma mengaku tidak pernah merasa terbebani untuk memenuhi kebutuhan adik dan ibunya. Tapi ia sering merasa bingung memilih prioritas saat orang-orang yang bergantung padanya sama-sama memerlukan uang.
Ilustrasi keluarga kebingungan. Foto: Kmpzzz/shutterstock
"Kalau untuk adik memang saya nggak ngerasa terbebani, cuma suka kadang bingung kalau misalnya ada uang sedikit mau ngasih orang tua dulu atau ke adik dulu. Kan di situ keliatan kondisi orang tua lagi membutuhkan, terus uang saku adik juga dikit lagi," ujar Salma.
ADVERTISEMENT
Saat dilanda kebingungan dan membutuhkan uang segera, Salma mengaku ia memilih untuk meminjam uang asal kebutuhan adik dan ibunya tercukupi.
"Kadang suka bingung harus ke mana lagi, akhirnya pinjam dulu. Kadang kan yang suka dadakan tuh adik, sementara saya gajian masih lama. Aduh kadang di situ suka bikin muter otak harus ke mana (nyari uang)," jelas Salma.
Seolah tak cukup harus membiayai adik dan ibunya, Salma sebagai sandwich generation juga harus membiayai keluarganya sendiri. Terlebih ia sudah memiliki anak yang duduk di bangku sekolah. Belum lagi kebutuhan rumah tangga yang mahal. Dia tak menyebut anaknya sekarang kelas berapa.
"Saya selalu bilang ke suami kalau untuk anak minta jajan atau keperluan sekolah aku nggak merasa keberatan tapi kalau untuk sehari-hari bikin berat, karena kalau untuk masak itu apa-apa kan sudah mahal," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sulit Punya Tabungan
Untuk mencukupi kebutuhan semua orang yang bergantung padanya, Salma mengaku sulit untuk memiliki tabungan. Penghasilan gajinya hampir selalu habis untuk biaya kebutuhan adik, ibu, dan anaknya.
Meskipun ingin punya tabungan yang banyak, Salma mengaku hal ini sulit sebab harus mencukupi kebutuhan banyak orang.
"Kadang ngerasa pengin nabung hasil gaji kan, tapi kok tidak bisa-bisa dipikir-pikir ke mana ini selalu habis tapi ya itu kan balik lagi semuanya buat risiko lagi," ujar Salma.
ADVERTISEMENT
Wanita usia 27 tahun ini mengaku di tengah pengeluarannya yang amat besar. Ia tetap berusaha menabung meski jumlahnya kecil.
"Ini memang ada tabungan, tapi bener-bener uang sisa banget baru aku tabungin karena buat aku itu nabung harus berapa pun. Makanya aku nabung yang besar itu belum bisa yang penting adalah sedikit-sedikit," jelas Salma.
Kurangnya Dukungan Suami
Seolah tidak cukup berat, Salma mengaku suaminya belum bisa secara utuh mencukupi kebutuhan Salma dan anak-anaknya. Menurut Salma bila sang suami bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, Salma dapat fokus ke adik dan ibunya bahkan punya sisa uang untuk ditabung.
"Tapi kalau misalnya kebutuhan ditanggung sama suami dan aku bisa fokus ke adik sama orang tua mungkin aku akan punya sisa dari uang itu," katanya.
ADVERTISEMENT
Salma juga sempat bercerita masalah keluarganya pada sang suami, namun suaminya kurang komunikatif. Salma mengaku suaminya lebih banyak diam. Dia tidak menyebut apa profesi suaminya.
"Kalau ini aku memang bilang ke suami,tapi dia orangnya nggak banyak ngomong, lebih ke diam. Jadi aku ngomong apa pun dia bakal diam. Aku juga suka cerita pengeluarannya segini bercabang.
Tidak adanya dukungan mental dari sang suami membuat Salma merasa sang suami tidak membantunya dalam menyelesaikan masalah sandwich generation ini.
"Jadi seperti aku yang menyelesaikan masalah itu sendiri. Jadi kaya (suami) nggak ada usaha. Jadi suka ngebatin sendiri. Berharapnya punya suami ada yang bantu," tutup Salma.
Sementara itu Sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono menyebut kondisi sandwich generation lahir dari adanya kesenjangan antara generasi lama dan generasi baru. Kesenjangan ini tercipta karena pergeseran sosial.
ADVERTISEMENT
"Ada kesenjangan kemampuan kapasitas dari generasi lama dan generasi baru karena terjadinya perubahan sosial," ujar Drajat kepada kumparan melalui saluran telepon, Kamis (1/12) siang.
"Kita tahu sekarang ini terjadi pergeseran sosial di mana lebih kuat pada aspek-aspek atau pekerjaan-pekerjaan yang digital sehingga kompetensi-kompetensi lama misalnya zaman, saya gitu ya ngetik itu analisis juga, itu sudah ketinggalan jauh dengan analisis analisis zaman sekarang," jelasnya.
Ketika generasi lama sulit beradaptasi dengan perubahan zaman yang otomatis menjadi tidak produktif, generasi muda yang adaptif harus menanggung beban lebih besar. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan sandwich generation pada generasi muda.