Dilema Keluarga Kekaisaran Jepang yang di Ambang ‘Kepunahan’

30 Desember 2021 13:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kaisar Jepang Naruhito berdiri di balkon Istana Kekaisaran selama upacara penyambutan Tahun Baru di Tokyo, Kamis (2/1). Foto: Kazuhiro NOGI / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Kaisar Jepang Naruhito berdiri di balkon Istana Kekaisaran selama upacara penyambutan Tahun Baru di Tokyo, Kamis (2/1). Foto: Kazuhiro NOGI / AFP
ADVERTISEMENT
Keluarga Kekaisaran Jepang saat ini dihadapkan dengan satu perkara pelik: terancam ‘punah’ karena sedikitnya jumlah putra mahkota yang bisa meneruskan takhta Kaisar Jepang.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari AFP, Jepang hingga saat ini masih memberlakukan sistem suksesi garis laki-laki sehingga hanya anggota keluarga laki-laki yang bisa diangkat sebagai kaisar.
Saat ini, hanya satu penerus Kaisar Naruhito (61), yaitu Pangeran Hisahito (15).
Kaisar Naruhito hanya memiliki satu anak perempuan, Putri Aiko, yang berusia 20 tahun. Kemudian, jika nantinya Pangeran Hisahito tidak memiliki keturunan laki-laki, keluarga kekaisaran tidak lagi memiliki penerus.
Survei di Jepang menunjukkan, masyarakat sebenarnya mendukung anggota kerajaan perempuan menjadi kaisar. Namun, ide tersebut ditolak keras oleh para anggota parlemen dan pendukung yang konservatif.
Keluarga kerajaan mengantarkan kaisar. Foto: Reuters/Issei Kato
Mereka masih melihat keluarga Kekaisaran Jepang sebagai contoh sempurna dari keluarga Jepang yang patriarkis.

Perumusan Solusi

Pemerintah Jepang pun merumuskan dua rekomendasi sebagai solusi dari ancaman kepunahan ini. Usulan ini disampaikan pekan lalu oleh majelis khusus kepada pemerintah.
ADVERTISEMENT
Satu, Kekaisaran Jepang mengizinkan anggota keluarga perempuan untuk mempertahankan gelar dan tugas-tugasnya ketika mereka menikahi pria yang bukan keturunan bangsawan.
Dalam aturan yang saat ini masih berlaku, anggota keluarga perempuan harus meninggalkan gelarnya, seperti halnya mantan Putri Mako Komuro pada Oktober 2021. Ia menikahi kekasihnya yang merupakan rakyat jelata.
Pangeran Hisahito dan orang tuanya, Pangeran Akishino dan Putri Kiko. Foto: Koji Sasahara / POOL / AFP
Dua, mengizinkan laki-laki dari 11 cabang keluarga kerajaan yang dihapus usai reformasi pascaperang untuk kembali bergabung dengan garis suksesi lewat adopsi.
Laporan majelis tersebut merekomendasikan aturan suksesi garis keturunan laki-laki ini dihentikan setelah Pangeran Hisahito menjadi kaisar Jepang.
“Menurut saya, masyarakat mempertanyakan apa yang salah jika Putri Aiko diangkat sebagai kaisar,” ujar profesor sejarah di Chuo University Jepang, Makoto Okawa.
Okawa berpendapat, logika para penganut tradisionalis itu tidak sempurna. Sebab, Putri Aiko merupakan keturunan langsung Kaisar Naruhito dan lebih tua dibandingkan sepupunya Pangeran Hisahito.
ADVERTISEMENT
Jadi menurutnya, lebih masuk akal jika Aiko yang menjadi penerus Kaisar Naruhito.
Putri Aiko. Foto: Kazuhiro NOGI / AFP
Profesor Sejarah Jepang Nagoya University, Hideya Kawanishi, memperingatkan dua rekomendasi dari majelis itu tidak akan menyelesaikan masalah secara fundamental.
Isu ini sudah diperdebatkan bertahun-tahun lamanya. Setelah Putri Aiko lahir, majelis pemerintah pada 2005 memutuskan suksesi kekaisaran harusnya ditentukan berdasarkan umur, bukan gender.
Tapi, hal itu berubah ketika Pangeran Hisahito lahir pada 2006. Sebab, garis keturunan laki-laki dapat diteruskan.
Kaisar Jepang Naruhito meninggalkan aula upacara setelah menyatakan penobatannya di Istana Kekaisaran di Tokyo, Jepang, 22 Oktober 2019. Foto: Kimimasa Mayama/Pool via REUTERS

Tak Menyinggung Kaisar Perempuan

Laporan terbaru dari majelis mengungkapkan perlunya mendiskusikan perubahan dalam aturan suksesi kekaisaran Jepang. Namun sayangnya, tidak ada menyinggung soal “kaisar perempuan.”
ADVERTISEMENT
Hal ini, menurut Kawanishi, dapat menambah tekanan terhadap istri dari anggota keluarga laki-laki. Mereka akan merasakan tekanan untuk melahirkan keturunan laki-laki, demi melanjutkan garis keturunan.
Sebenarnya, kaisar perempuan bukanlah konsep yang aneh di Jepang. Dalam sejarah 2.600 tahun Kekaisaran Jepang, sudah ada delapan perempuan yang menjadi kaisar. Terakhir adalah Kaisar Gosakuramachi, yang menduduki takhta 250 tahun silam.
Namun, sejak 1947, suksesi kekaisaran ini diatur ketat oleh Undang-undang Rumah Tangga Kekaisaran. Isu ini sangat sensitif, dan terikat dengan ide-ide identitas nasional.