Din Syamsuddin soal Organisasi Penggerak: Jokowi Patut Disalahkan, Bukan Nadiem

29 Juli 2020 12:46 WIB
Din Syamsuddin Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Din Syamsuddin Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin mengkritik Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud yang menuai polemik. Din menilai, kebijakan tersebut tidak bijak dan tidak merakyat.
ADVERTISEMENT
"Mundurnya Muhammadiyah, NU, dan kemudian PGRI dari program tersebut menunjukkan adanya masalah besar dan mendasar. Jelas hal ini menunjukkan bahwa Mendikbud tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia dan peran organisasi-organisasi kemasyarakatan, khususnya keagamaan dalam gerakan pendidikan nasional," kata Din dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/7).
Din mengatakan, Muhammadiyah dan NU adalah pelopor pendidikan di Indonesia. Dia menyebut Muhammadiyah dan NU beserta organisasi pendidikan lainnya adalah stakeholders sejati pendidikan nasional, sementara Sampoerna dan Tanoto merupakan pendatang baru.
"Yayasan atau foundation seperti Sampoerna atau Tanoto hanyalah pendatang baru, yang setelah menikmati kekayaan Indonesia baru berbuat atau memberi sedikit untuk bangsa (dibandingkan dengan keuntungan yang mereka raup) dari tanah dan air Indonesia," ujarnya.
Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: Kemendikbud
"Jadi kalau mereka yang dimenangkan/dilibatkan dalam POP sungguh merupakan ironi sekaligus tragedi," lanjutnya.
ADVERTISEMENT

Din Syamsuddin Nilai Kesalahan Pada Presiden Jokowi

Meski demikian, Din menyebut kesalahan bukan pada Nadiem Makarim. Menurutnya, Nadiem lebih banyak berada di luar negeri sehingga tidak memiliki pengetahuan dan penghayatan tentang masalah dalam negeri.
"Kesalahan bukan pada Nadiem Makarim. Dia hanya seorang anak muda, yang mungkin karena lebih banyak berada di luar negeri," kata Din.
"Yang sangat bersalah dan patut dipersalahkan, serta harus bertanggung jawab, pada pendapat saya, adalah Presiden Jokowi sendiri. Dialah yang berkeputusan mengangkat seorang menteri, walaupun menyempal dari fatsun politik yang berlangsung dari waktu ke waktu. Atau jangan-jangan Presiden Jokowi sendiri tidak cukup memahami sejarah kebangsaan Indonesia dan berani mengambil keputusan yang meninggalkan kelaziman politik," tuturnya.
Presiden Jokowi memimpin terbatas secara online. Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
Namun karena program tersebut sudah terlanjur menjadi polemik, Din mengusulkan agar Program Organisasi Penggerak dihentikan.
ADVERTISEMENT
"Lebih baik Kemendikbud bekerja keras dan cerdas mengatasi masalah pendidikan generasi bangsa yang akibat pandemi COVID-19 telah, menurut seorang pakar pendidikan, menimbulkan the potential loss bahkan generation loss (hilangnya potensi dan hilangnya generasi)," tuturnya lagi.
Menurutnya, pemerintah tidak hadir melindungi rakyat dan tidak tergerak membangun infrastruktur telekomunikasi dan teknologi pendidikan. Pemerintah juga dinilai tidak berpikir membantu meringankankan anak-anak yang kesulitan mengakses internet, seperti membebaskan biaya kuota internet.
"Kemendikbud 'memaksakan' belajar daring atau jarak jauh, tapi tidak menyiapkan infrastruktur itu. Anggaran yang diklaim untuk penanggulangan COVID-19 tidak dialokasikan untuk membantu anak-anak rakyat yang terpaksa belajar dari rumah dalam keterbatasan dan kekurangan," ujarnya.
"Tapi sudah terlambat. Ketakhadiran dan ketakefektifan para pembantu Presiden bekerja serius dengan sense of crisis dalam situasi kritis bukan masalah pembantu, tapi masalah yang mengangkatnya. Akibatnya beban masalah menumpuk di pundak seorang Presiden, yang agaknya juga tidak mampu menahannya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
***
Saksikan video menarik di bawah ini.