Dinilai Rugikan Korban, Pasal Sita Aset First Travel Digugat ke MK

10 Desember 2019 18:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana gugatan terhadap pasal yang mengatur penyitaan aset First Travel untuk negara. Pasal yang dimaksud ialah Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP.
ADVERTISEMENT
Gugatan dengan Nomor 81/PUU-XVII/2019 itu diajukan 4 orang yakni Pitra Romadoni Nasution, David M. Agung Aruan, Julianta Sembiring, dan Yudha Adhi Oetomo. Mereka mengaku sebagai kuasa hukum korban First Travel.
Keempatnya menilai penerapan pasal tersebut telah merugikan korban First Travel dan berpotensi terulang lagi di kemudian hari jika tak diubah.
"Salah satu contoh kasus terkait perampasan/penyitaan yang dilakukan hakim terhadap barang bukti pada perkara PT. First Anugerah Karya Wisata atau First Travel yang tidak dikembalikan kepada jemaah yang menjadi korban kasus penipuan umrah, barang bukti yang disita dalam kasus tersebut adalah benda-benda yang diperoleh berdasarkan hasil tindak pidana," ujar Pitra dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (10/12).
ADVERTISEMENT
"Di lain pihak, jemaah yang menjadi korban First Travel jumlahnya mencapai ribuan, terkait dalam permohonan uji materiil ini para pemohon merupakan perseorangan yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat penerapan pasal tersebut. Dikarenakan di kemudian hari dengan pemberlakuan pasal tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada warga negara lainnya apabila hartanya diambil oleh negara, padahal posisinya adalah sebagai korban," lanjutnya.
Selain itu, kata Pitra, pemberlakuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pengacara Pitra Romadoni di Kejaksaan Agung, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Untuk itu, Pitra meminta MK mengubah ketentuan Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP dalam putusannya.
Bunyi Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP yang berlaku saat ini ialah:
ADVERTISEMENT
Pasal 39
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang;
(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita;
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
ADVERTISEMENT
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Kantor First Travel terkunci dan nampak sepi Foto: Kelik Wahyu/kumparan
Para pemohon meminta Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP diubah menjadi:
Pasal 39
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas dan dikembalikan kepada korban;
ADVERTISEMENT
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang untuk mengganti kerugian korban tindak pidana;
(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada Pemerintah untuk kepentingan publik, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita dari kerugian Negara;
Pasal 46 KUHAP
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang dirugikan akibat tindak pidana dan atau yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut
ADVERTISEMENT
karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk Negara setelah mendapat persetujuan dari korban tindak pidana, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain;
"Apabila permohonan uji materi ini dikabulkan maka para Pemohon serta para korban dari tindak pidana yang merasa dirugikan atas pemberlakuan pasal undang-undang a quo tidak akan merasa khawatir lagi apabila setiap perampasan atau penyitaan yang dilakukan untuk kepentingan hukum atau melalui putusan pengadilan karena tetap akan dikembalikan kepada korban untuk mengganti kerugian yang dialaminya dari tindak pidana tersebut," jelas Pitra.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Terhadap gugatan tersebut, hakim konstitusi Saldi Isra meminta para pemohon untuk memperkuat argumen mengenai kerugian konstitusional akibat pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia menyarankan jika pemohon memang kuasa hukum korban First Travel, sebaiknya yang menjadi pemohon korban langsung, sehingga kerugian akibat pasal tersebut benar-benar dirasakan. Sehingga para pemohon bisa menjadi kuasa hukum dari korban dalam gugatan ini.
"Mungkin prinsipal yang maju (sebagai pemohon) dan Anda sebagai kuasa hukum, itu cara untuk memperkuat legal standing," ucap Saldi.