Direksi BUMN Bukan Penyelenggara Negara, KPK Bakal Sulit Menjerat?

7 Mei 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
ADVERTISEMENT
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menilai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN memberikan imunitas kepada jajaran direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN sehingga berpotensi membuat mereka tak bisa dijerat oleh KPK.
ADVERTISEMENT
Dalam UU baru BUMN itu, direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN disebut bukan merupakan penyelenggara negara.
“Isi dari perubahan-perubahan di dalam Undang-Undang BUMN ini itu banyak berisi pemberian imunitas kepada para pengurus BPI Danantara dan para pengurus BUMN,” ujar Zaenur kepada wartawan, Rabu (7/5).
Ada dua pasal yang disorotnya, yakni Pasal 9G yang mengubah status direksi serta komisaris BUMN bukan merupakan penyelenggara negara dan Pasal 4B yang menyebut kerugian BUMN bukanlah kerugian negara.
“Yang problematik yang pertama adalah dengan disebutnya bahwa kerugian yang terjadi di BPI Danantara dan kerugian yang terjadi di BUMN itu bukan merupakan kerugian negara,” ucapnya.
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman ditemui di Fakultas Hukum UGM, Jumat (8/11/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
“Itu mungkin pembentuknya tidak menyadari bahwa pengaturan norma seperti ini di dalam Undang-Undang itu bisa memiliki konsekuensi sangat serius,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya, menurut Zaenur, direksi-komisaris BUMN bisa tidak dijerat korupsi terkait kerugian negara. Hal tersebut disebabkan salah satu syarat yang memenuhi tindak pidana korupsi menurut UU Tindak Pidana Korupsi adalah adanya kerugian negara.
“Dengan pengaturan yang demikian, maka BPI Danantara dan BUMN bisa terbebas dari jerat tindak pidana korupsi, meskipun misalnya terjadi moral hazard di BPI Danantara maupun di BUMN. Misalnya ada yang kemudian secara terang-terangan misalnya melakukan kecurangan. Itu bisa ada risiko tidak bisa dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tipikor,” tuturnya.
“Mengapa saya katakan demikian? Karena kalau kerugian di BPI Danantara dan kerugian di BUMN bukan merupakan kerugian negara, maka rumusan unsur Pasal 2 atau Pasal 3 di dalam Undang-Undang Tipikor itu tidak akan pernah terpenuhi kalau subyeknya adalah insan BUMN atau BPI Danantara. Kenapa? Karena kan unsur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 itu salah satunya adalah kerugian keuangan negara,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, menurut Zaenur, berubahnya status direksi-komisaris BUMN yang bukan lagi penyelenggara negara dapat menimbulkan beberapa hal. Yang pertama adalah bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Di dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 1999, salah satu penyelenggara negara itu kan adalah komisaris atau direksi dari BUMN,” jelas dia.
“Kalau di dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2025 disebut bukan merupakan penyelenggara negara, maka para pengurus BUMN, para pengurus Danantara itu bisa terbebas dari kewajiban untuk lapor LHKPN. Padahal kita tahu ya bahwa laporan LHKPN itu sangat penting sebagai instrumen pencegahan korupsi,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyorot kewenangan KPK imbas dari pengubahan status tersebut. Menurutnya, KPK jadi tak bisa menjerat korupsi jajaran direksi-komisaris BUMN.
ADVERTISEMENT
“Karena di dalam Undang-Undang KPK, Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 di Pasal 11 itu kan diatur bahwa KPK itu kewenangannya menangani melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan aparat penegak hukum, penyelenggara negara atau yang terkait dengan itu,” tuturnya.
“Kalau ini bukan penyelenggara negara, ya artinya tidak bisa ditangani oleh KPK. Sebenarnya perumusan Pasal yang digunakan itu adalah kumulatif alternatif. Yaitu masih ada satu lagi norma yang bisa digunakan, yaitu menimbulkan kerugian keuangan negara minimal Rp 1 miliar,” tambahnya.
Zaenur menambahkan, syarat menimbulkan kerugian keuangan negara minimal Rp 1 miliar tetap tak bisa digunakan karena kembali lagi, direksi-komisaris BUMN bukanlah penyelenggara negara.
“Tapi perlu diingat bahwa norma tersebut, norma kerugian keuangan negara itu hanya diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor). Sehingga kalau dengan Pasal 11 itu kemudian minimal Rp 1 miliar itu akan digunakan, itu tetap tidak bisa digunakan karena Pasal 2 dan Pasal 3-nya sudah tidak berlaku untuk BUMN dan BPI Danantara,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Zaenur menyebut KPK masih bisa melakukan pendekatan lain untuk menjerat direksi-komisaris BUMN, yaitu dengan status mereka sebagai pegawai negeri.
“Tapi masih ada pengertian yang menjadi kewenangan KPK, yaitu dengan menggunakan pendekatan pelaku tindak pidana korupsi karena mereka adalah pegawai negeri. Jadi pengertian pegawai negeri itu sangat luas, salah satunya adalah orang yang menerima upah atau gaji dari negara, yang menerima fasilitas dari negara dan seterusnya di dalam undang-undang (Nomor) 31 (Tahun) 99,” jelas dia.
Namun, menurutnya upaya itu tetap akan menemui kesulitan. “Kesulitannya adalah KPK-nya sendiri tidak bisa menangani penyelenggara negaranya. Kalau KPK tidak bisa tangani penyelenggara negaranya, meskipun itu di atas Rp 1 miliar, tetap tidak bisa KPK itu tangani,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
“Karena KPK tidak bisa tangani penyelenggara negaranya. Jadi ini memang terjadi kerumitan hukum yang diakibatkan dari perumusan norma di dalam undang-undang nomor 1 tahun 2025,” sambungnya.
Zaenur pun berharap akan segera ada keputusan Mahkamah Konstitusi terkait tafsiran Undang-Undang BUMN ini.
“Yang saya khawatirkan ini ke depan akan semakin banyak korupsi yang tidak bisa ditangani di BUMN dan di Danantara,” ucapnya.
“Harapan saya ini harus segera ada putusan Mahkamah Konstitusi konstitusi yang memberikan tafsir. Memberikan tafsir agar BPI Danantara dan BUMN tetap bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi ketika terjadi korupsi. Dan yang kedua agar tetap bisa ditangani oleh KPK,” lanjutnya.
Pengamat hukum pidana UGM, Fatahillah Akbar. Foto: Twitter/@mfatahilahakbar
Dosen Hukum Pidana UGM, Fatahillah Akbar, juga berpandangan yang sama. Ia menilai, adanya aturan soal kerugian BUMN bukan kerugian negara dan pengubahan status direksi-komisaris BUMN memungkinkan mereka tak bisa dijerat korupsi.
ADVERTISEMENT
“Jika direksi bukan pejabat, maka jika menerima suap atau gratifikasi tidak dianggap pidana,” ujar dia.
“Tapi Pasal 1 ayat 2 UU Korupsi tetap mendefinisikan pegawai BUMN sebagai pegawai negeri. Jadi seharusnya tetap bisa memenuhi unsur. Terlebih KUHP 2023 juga masih mengatur direksi sebagai pejabat negara,” tambahnya.
Meski begitu, menurut Fatahillah, KPK tetap bisa mengusut tindak pidana korupsi yang dilakukan direksi-komisaris BUMN dengan pendekatan lainnya.
“Kelemahan dari KPK memang hanya bisa menyidik korupsi pegawai negeri, tapi KPK juga boleh menyidik kasus dengan kerugian Rp 1 miliar. Sehingga bisa saja asal KPK menemukan kerugian,” jelasnya.
“Cuma memang kerugian BUMN yang dikeluarkan dari kerugian negara itu bisa menjadi masalah,” tambahnya.
Walau masih bisa, katanya KPK tetap akan menemui kesulitan. Tak hanya untuk KPK, namun seluruh penegak hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Tidak hanya KPK, semua penegak hukum akan kesulitan jika ada kasus korupsi. Tidak bisa Pasal 2 atau 3 (UU Tipikor) jika kerugian bukan kerugian negara. Atau tidak bisa pasal suap jika bukan pejabat negara,” pungkasnya.