Disebut Andika Perkasa, Bagaimana Sejarah di Balik Tap MPRS 25/66 soal PKI?

31 Maret 2022 22:24 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memberikan keterangan pers usai dilantik menjadi Panglima TNI di area Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/11/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memberikan keterangan pers usai dilantik menjadi Panglima TNI di area Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/11/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa baru saja mengeluarkan peraturan baru dalam proses penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022. Beberapa syarat disederhanakan, salah satunya adalah tidak ada larangan bagi keluarga atau keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mendaftar sebagai anggota TNI.
ADVERTISEMENT
Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dikenal memiliki sikap keras terhadap komunis sejak Tragedi 1965 lalu, tentu keputusan ini menjadi sorotan publik. Tak sedikit yang mendukung kebijakan tersebut, lantaran dapat menghilangkan sifat diskriminatif di dalam berjalannya institusi TNI.
Dalam video yang memperlihatkan situasi rapat dengan seluruh jajaran panitia pusat terkait penerimaan prajurit TNI tahun 2022, Jenderal Andika Perkasa kembali mempertegas dasar hukum Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Keputusannya memperbolehkan keturunan PKI bisa menjadi prajurit TNI, karena dasar hukum Tap tersebut tak mengatur soal pelarangan itu.
"Jangan kita mengada-ada. Saya orang yang patuh peraturan perundang-undangan. Ingat ini. Kita melarang pastikan kita punya dasar hukum," tegas Andika Perkasa.
"Zaman saya tidak ada lagi (proses seleksi masuk TNI) keturunan (PKI). Tidak, karena saya menggunaakan dasar hukum," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana isi dan sejarah di balik Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966?
Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966, berikut adalah isi pasal-pasalnya;

Pasal 1

Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerahan beserta semua organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3 1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.

Pasal 2

Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segara bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.
ADVERTISEMENT

Pasal 3

Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.

Pasal 4

Ketentuan-ketentuan di atas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif dunia politik luar negeri Republik Indonesia.
Aturan Tap MPRS ini keluar usai tragedi peristiwa tahun 1965 atau dikenal sebagai G30S/PKI. Dasar hukum ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah ideologi komunisme tersebar di Indonesia.
Petugas membersihkan patung peristiwa G30S/PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Hal tersebut menjadi upaya yang krusial, lantaran Tragedi 1965 menjadi sejarah 'merah' Indonesia. Mulai dari adanya percobaan kudeta oleh kelompok Partai Komunisme Indonesia (PKI), pembunuhan massal yang menewaskan banyak korban, hingga pembunuhan 7 Jenderal.
ADVERTISEMENT
Andika Perkasa memang bukan yang pertama. Di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 ini sempat diwacanakan agar dicabut.
Gus Dur menilai aturan tersebut terlalu diskriminatif secara politik, khususnya bagi mereka yang memiliki keturunan PKI. Selain itu, dasar hukum ini juga dianggap menyeleweng dengan konstitusi.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Foto: Paula Bronstein/Newsmakers by Getty Images
Dalam buku NU: Moderatisme dan Pluraslisme yang ditulis oleh Prof. Faisal Ismail, kepemimpinan Gus Dur yang terkenal agresif dan berani, memiliki penilaian bahwa semua warga memiliki hak politik yang sama, tanpa harus terbebani oleh lumuran 'dosa turunan'. Oleh sebab itu, Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dianggap tak relevan sebagai dasar hukum.
Meski begitu, keputusan Panglima Jenderal TNI Andika Perkasa, justru menjadi dobrakan yang besar dalam institusi TNI. Menurutnya, TNI tidak berhak untuk membatasi hak warga negara yang ingin bergabung dengan militer, hanya karena pilihan politik keluarganya di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kini, kekhawatiran soal diskriminasi dalam proses penerimaan calon taruna bisa diminimalisir dengan dihapuskannya aturan terkait keturunan TKI yang tak boleh mendaftar sebagai prajurit TNI.