Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ditolak Dosen, Siapa Pejabat yang Akan Diberi Gelar Profesor Kehormatan UGM?
15 Februari 2023 17:58 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Puluhan dosen dari berbagai fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM ) menolak pemberian gelar honorary professor atau Guru Besar Kehormatan kepada kalangan nonakademik dan pejabat publik. Draf surat penolakan bertanggal Desember 2022 itu viral di media sosial.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Prof Sigit Riyanto yang juga namanya tercantum di draf penolakan tersebut membocorkan bahwa UGM berencana memberikan jabatan profesor kehormatan itu kepada Gubernur Bank Indonesia.
"Awalnya Gub BI. PJ," kata Sigit dikonfirmasi, Rabu (15/2).
Sigit membenarkan nama yang dia maksud ada Perry Warjiyo, Gubernur BI saat ini.
Perry merupakan sarjana ekonomi lulusan UGM. Perry meraih gelar Ph.D untuk bidang ekonomi moneter dan internasional dari Iowa State University, AS. Sejak awal Perry berkarier di Bank Indonesia.
Sementara itu, Rektor UGM Prof Ova Emilia ketika dikonfirmasi terkait penolakan para dosen ini, mengarahkan wartawan untuk menghubungi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito.
ADVERTISEMENT
Namun, hingga saat ini Arie belum merespons pesan yang dikirimkan.
Kabag Humas dan Protokol UGM Dina W Kariodimedjo saat dikonfirmasi soal ini mengatakan UGM memiliki tim untuk menindaklanjuti surat penolakan yang dikirimkan para dosen.
"Sebagai info, UGM sudah punya tim untuk menindaklanjuti hal di atas. Kami konsul dulu, njih," katanya.
Dinilai Diskriminatif
Prof Sigit dalam tulisan yang dikirimkan kepada kumparan menjelaskan pengangkatan profesor kehormatan yang memuat kepentingan pragmatis individu maupun kelompok, bisa dianggap diskriminatif. Mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan tentu mengkhianati pengorbanan para dosen untuk menggapai guru besar.
"Para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi," ucap Sigit.
Menurut Sigit, kebijakan semacam itu dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Ini juga berpengaruh pada pandangan dosen terhadap profesinya, integritasnya bisa tergerus karena tatak kelolanya tak bisa diandalkan. Semangat pengabdian dan dedikasi pada profesi akan merosot.
"Bagi otoritas perguruan tinggi, pengangkatan profesor kehormatan dapat menjadi ujian untuk bersikap antara intelektualitas dan pragmatisme atau private interest. Universitas adalah benteng akal sehat dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan adalah pemikiran yang jernih, etis, dan beradab; pertaruhannya adalah kebenaran, kejujuran dan kemaslahatan," katanya.
Sigit menilai, apabila otoritas perguruan tinggi memihak pada kepentingan pragmatis maka kebenaran dan akal sehat akan tergadaikan. Tentu juga merendahkan martabat perguruan tinggi dan sivitas yang ada.
"Pengangkatan profesor kehormatan yang tak berkontribusi pada pencapaian misi utama perguruan tinggi, justru merendahkan martabat dan reputasi, merusak ekosistem, dan tata kelola. Kebijakan otoritas perguruan tinggi yang didasari kepentingan pragmatis individu atau kelompok, sama saja menggadaikan etika dan standar akademik, bertentangan dengan karakter cendekiawan, bahkan membusukkan institusinya," katanya.
ADVERTISEMENT
Sigit menjelaskan bahwa jabatan profesor atau guru besar bagi dosen atau akademisi merupakan cita-cita. Motivasi penyemangat bertugas dan menjalani profesi.
"Posisi guru besar merupakan penanda puncak karier dan dedikasinya sebagai seorang dosen. Jalan Panjang dan berliku harus dilalui untuk sampai pada posisi sebagai guru besar," kata Sigit.
Syarat menjabat profesor adalah menempuh pendidikan doktor atau S3. Butuh waktu puluhan tahun untuk menjabat profesor. Tentunya juga menghasilkan karya akademik Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
"Sesuai regulasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jabatan profesor dapat dicapai melalui dua cara. Melalui jalur akademik bagi dosen, dan jalur lain, bagi kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa," katanya.