Diundang Pidato di Markas PBB, Remaja Indonesia Singgung Krisis Pendidikan

15 Februari 2023 19:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Miklos Sunario, pemuda 19 tahun Co-Founder EduBeyond yang berpidato di ECOSOC Partnership Forum PBB. Foto: Instagram/@miklos.sunario
zoom-in-whitePerbesar
Miklos Sunario, pemuda 19 tahun Co-Founder EduBeyond yang berpidato di ECOSOC Partnership Forum PBB. Foto: Instagram/@miklos.sunario
ADVERTISEMENT
Seorang remaja berusia 19 tahun asal Indonesia, Miklos Sanurio, membawa nama baik negara di kancah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
ADVERTISEMENT
Dia bersama timnya dari social enterprise EduBeyond berhasil memenangkan lomba di bidang educational technology (ed-tech) yang diikuti oleh 1.500 perusahaan start-up dari 85 negara.
Atas prestasi dan inisiatifnya menggaungkan penerapan teknologi berupa Artificial Intelligence (AI) dalam proses pembelajaran masa kini, Miklos pada Selasa (31/1) diundang berpidato dalam ECOSOC Partnership Forum di markas PBB di New York, Amerika Serikat.
Miklos berpidato tentang pentingnya menerapkan teknologi AI dalam mengatasi krisis di bidang pendidikan sejak pandemi COVID-19 melanda.
Di hadapan para audiens yang hadir kala itu, Miklos menyampaikan bahwa metode pendidikan yang diterapkan di banyak sekolah saat ini sayangnya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan masing-masing pelajar.
“Saat ini sekolah lebih menekankan sertifikasi alih-alih proses edukasi itu sendiri,” ujar Miklos saat berpidato, sebagaimana dikutip dari rekaman video yang diterima kumparan.
ADVERTISEMENT
Miklos pun berargumen, dampak metode pembelajaran yang diterapkan saat ini — khususnya ketika pandemi COVID-19, justru meningkatkan tekanan dan menimbulkan anxiety disorder (kekhawatiran berlebih) terhadap siswa.
“Dampak metode pendidikan saat ini terhadap siswa: sekitar 31,9 persen siswa SMA mengalami anxiety disorder dan jumlahnya cenderung meningkat,” jelas dia.
Selain itu, Miklos menilai metode pembelajaran di kebanyakan sekolah saat ini cenderung terlambat untuk mengidentifikasi dan mengembangkan bakat murid sejak dini.
Oleh karenanya, sambung Miklos, digitalisasi pendidikan dapat memperbaiki hal itu dengan cara mengetahui bakat siswa sejak muda melalui teknologi AI.
Sebenarnya, Miklos telah memiliki dorongan untuk memajukan pendidikan bagi anak-anak Indonesia yang kurang mampu memperoleh pendidikan sejak di usia belia.
ADVERTISEMENT
Hal itu dijelaskan oleh sang ayah, Agus Sunario, dalam wawancara dengan kumparan pada Selasa (14/2).
Miklos Sunario, pemuda 19 tahun Co-Founder EduBeyond yang berpidato di ECOSOC Partnership Forum PBB. Foto: Instagram/@miklos.sunario
“Saya liat sih Miklos ini memang dari awal hatinya baik ya. Dia tuh melihat anak-anak banyak yang kurang beruntung — artinya mereka enggak mampu memperoleh pendidikan yang mahal atau enggak mampu juga mendapatkan pendidikan, ya,” ungkap Agus.
“Maka dia mengatur bagaimana agar teman-teman yang volunteer untuk bisa memberikan tutorial atau tutor secara free melalui Zoom. Jadi selama pandemi itu dilakukan mungkin ada 3000 atau 5000 orang partisipasi anak-anak yang belum bisa mengakses pendidikan yang sesuai harapannya,” imbuhnya.
“Memang hatinya baik sih dari kecil dulu dia suka bantu gitu. Dia pernah ngomong, dia bersyukur bisa pendidikan di sini kan, tapi bagaimana anak Indonesia lain-lain?” ujar Agus.
ADVERTISEMENT
Menyadari akan hal itu, Miklos yang saat ini berkuliah tahun kedua di The University of British Columbia di Vancouver, Kanada, ini pun berinisiatif untuk membuat perubahan.
Seiring berjalannya waktu, dia melihat, proses pembelajaran melalui Zoom kurang efektif dan hanya memperparah krisis pendidikan.
Miklos kemudian bersama teman-temannya mendirikan sebuah start-up yang dinamakan EduBeyond — di mana mereka memberikan tutor kepada murid se-Indonesia di berbagai pelajaran dengan dukungan AI.
Miklos Sunario, pemuda 19 tahun Co-Founder EduBeyond yang berpidato di ECOSOC Partnership Forum PBB. Foto: Instagram/@miklos.sunario
Melalui EduBeyond, para siswa mendapatkan proses pembelajaran sesuai dengan bakat dan kebutuhannya masing-masing, sehingga tidak monoton — justru mengembangkan potensi mereka sejak dini.
Hal ini dikarenakan, Miklos memahami bahwa metode pembelajaran satu untuk semua (one size fits all) tidak efektif diterapkan — justru menimbulkan kemunduran.
ADVERTISEMENT
“Dia [Miklos] merancang ini belajar seperti main game, lalu dia juga bisa melihat di mana potensi dan kelemahannya, dan tutorial ini diarahkan sesuai dengan kelemahan agar dapat ditingkatkan. Itu konsep dasarnya yang dikerjakan oleh Miklos melalui aplikasi EduBeyond,” jelas Agus.
Miklos adalah salah satu murid berprestasi di Kanada dan dia pun sempat menerima fellowship dari network internasional bergengsi di negara itu, Cansbridge.
Dari ribuan orang yang mendaftarkan diri, hanya 27 orang se-Kanada yang diterima — termasuk salah satunya Miklos.
Prestasi dan kepeduliannya terhadap pendidikan ini yang menggiringnya berpidato di ECOSOC PBB. “Karena investasi teknologi di bidang pendidikan adalah investasi untuk masa depan kita,” tutup Miklos dalam pidatonya, diiringi dengan tepuk tangan meriah dari para audiens yang hadir.
ADVERTISEMENT