Djoko Tjandra tiba di Indonesia

Djoko Tjandra dan Kasus yang Menjeratnya

31 Juli 2020 7:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Petugas kepolisian membawa buronan kasus korupsi Djoko Tjandra yang ditangkap di Malaysia setibanya di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Kamis (30/7/2020). Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
Pelarian Panjang Djoko Tjandra akhirnya berakhir juga. Setelah menjadi buronan selama 11 tahun, Djoko Tjandra akhirnya berhasil ditangkap oleh tim bentukan Polri di Malaysia, Kamis (31/7).
ADVERTISEMENT
Djoko Tjandra memang seperti belut, sulit ditangkap. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Begitu pula dengan Djoko Tjandra yang akhirnya muncul lagi selama 3 bulan terakhir untuk membuat e-KTP dan mendaftarkan PK ke PN Jakarta Selatan.

Siapa sebenarnya Djoko Tjandra dan apa kasus yang menjeratnya?

Kasus Djoko Tjandra sebenarnya berawal pada tahun 1997. Saat itu, Bank Bali tidak bisa menagih piutang sebesar Rp 3 triliun dari Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tara. Akhirnya, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pun menyatakan ketiga bank tersebut bermasalah.
Dirut Bank Bali saat itu, Rudy Ramly, lalu menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (PT EGP) pada 11 Januari 199. Perusahaan yang dipimpin oleh Djoko Tjandra dan Setya Novanto itu mengaku bisa menarik kembali dana tersebut dengan membuat perjanjian pengalihan hak tagih piutang atau cessie.
ADVERTISEMENT
Surat perjanjian pun dibuat dan ditanda tangani oleh Rudy Ramly, Direktur Bank Bali Firman Sucahya, dan Setya Novanto. Dalam perjanjian itu disepakati, EGP akan menerima fee sebesar setengah dari piutang yang bisa ditagihkan.
Saat itu Bank Bali mengalihkan tagihan piutang sekitar Rp 798 miliar terhadap PT BDNI kepada PT EGP. Namun, karena perjanjian tersebut tidak disertai penyerahan dokumen bukti transaksi, Djoko Tjandra tidak menyerahkan sepeser pun jaminan pembayaran.
Sebagai gantinya, Djoko Tjandra berjanji akan menyerahkan surat-surat berharga kepada Bank Bali, bank pemerintah, dan bank-bank BUMN lain dengan nominal sebesar tagihan dalam waktu 6 bulan. Selain itu, surat perjanjian cessie yang mereka buat sebenarnya hanya bersifat formalitas.
BI dan BPPN pun akhirnya setuju untuk menggelontorkan Rp 905 miliar. Dari jumlah itu, Rp 359 miliar masuk ke rekening Bank Bali, dan sisanya, Rp 546 miliar, masuk ke rekening PT EGP.
ADVERTISEMENT
Cessie itu tidak dilaporkan ke BPPN, Bapepam, dan Bursa Efek Jakarta. Padahal, saat itu, Bank Bali sudah melantai di bursa dan penagihan kepada BPPN dilakukan oleh Bank Bali, bukan PT EGP. Nantinya, saat kasus ini diusut, uang tersebut ditaruh ke escrow account Bank Bali oleh PT EGP.
Setelah kejanggalan itu terkuak, Kepala BPPN saat itu, Glenn MS Yusuf, lalu membatalkan perjanjian cessie. Pada 27 September 1999, Kejaksaan Agung menyatakan negara sudah dirugikan sebesar Rp 907 miliar akibat perkara tersebut.
Djoko Tjandra lalu ditahan pada 29 September 1999. Lalu, pada 9 November 1999 hingga 13 Januari 2000, Kejagung menetapkan Djoko Tjandra sebagai tahanan kota.
Saat kasusnya akan disidang, Djoko Tjandra seharusnya kembali ke bui pada 14 Januari 200. Namun berdasarkan ketetapan PN Jaksel saat itu, Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota pada 10 Februari 2000.
ADVERTISEMENT
Saat sidang memasuki agenda putusan sela, hakim menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra kemudian dilepaskan dari status tahanan kota.
Tak terima dengan putusan itu, jaksa pun mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan jaksa pada 31 Maret 2000.
PT DKI memerintahkan PN Jaksel memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra. Kasus Djoko Tjandra pun kembali bergulir di PN Jaksel pada April hingga Agustus 2000 dengan tuntutan hukuman 1,5 tahun penjara dan pengembalian uang Rp 546 miliar dari PT EGP ke negara.
Namun pada 28 Agustus 2000, majelis hakim justru memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan dakwaan JPU terhadap Djoko Tjandra terbukti secara hukum, namun bukan termasuk pidana, melainkan perbuatan perdata.
ADVERTISEMENT
Pada September 2000, jaksa kasus Djoko Tjandra saat itu, Antasari Azhar, kembali mengajukan kasasi ke MA karena tidak terima dengan putusan tersebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh MA pada Juni 2001 dengan alasan putusan majelis hakim sudah sesuai dengan putusan tingkat pertama.
Tujuh tahun berselang, pada Oktober 2008, Kejagung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus Djoko Tjandra ke MA dan dikabulkan. Dalam putusan terbaru, 11 Juni 2009, Djoko Tjandra divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Selain itu, uang sebesar Rp 546.166.116.369 milik Djoko Tjandra di Bank Bali dirampas untuk negara.
Sebelum dieksekusi ke penjara pada Juni 2009, Djoko Tjandra kabur ke Papua Nugini menggunakan pesawat carteran. Pada Juli 2009, Djoko Tjandra melalui pengacaranya saat itu, OC Kaligis, mengajukan PK ke MA, namun ditolak.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada Juli 2012, Wakil Jaksa Agung saat itu, Darmono, menyatakan Papua Nugini telah memberikan kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra. Setelah itu, Djoko Tjandra dan kasus yang menjeratnya pun seolah hilang dari permukaan dan terlupakan.
Namun, setelah 11 tahun berlalu, tiba-tiba Djoko Tjandra muncul kembali dan dengan gampangnya masuk ke Tanah Air. Terlebih Ditjen Imigrasi Kemenkumham mengakui nama Djoko Tjandra memang sempat dihapus dari sistem perlintasan dengan status DPO dalam kurun 13 Mei hingga 27 Juni.
Ditjen Imigrasi menyatakan, dihapusnya nama Djoko Tjandra lantaran Interpol melaporkan nama Djoko Tjandra terhapus dari sistem basis data sejak 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejagung. Tetapi nama Djoko Tjandra kembali masuk dalam daftar DPO usai adanya permintaan Kejagung pada 27 Juni.
ADVERTISEMENT
Bahkan pada 8 Juni, Djoko Tjandra ditemani tim kuasa hukumnya merekam e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan pada pagi hari. Hanya butuh waktu sekitar 1 jam 19 menit bagi Kelurahan Grogol Selatan menerbitkan e-KTP Djoko Tjandra. Kemendagri menyatakan Djoko Tjandra bisa membuat e-KTP karena masih tercatat sebagai WNI.
Setelah membuat e-KTP, Djoko Tjandra menuju ke PN Jaksel untuk mendaftarkan PK-nya yang kedua. Namun demikian, permohonan PK Djoko Tjandra belum dibacakan di sidang. Sidang sudah 2 kali ditunda pada 29 Juni dan 6 Juli lantaran Djoko Tjandra tak hadir di sidang. Padahal sesuai KUHAP, pemohon wajib hadir di sidang.
Infografik Polisi yang Terkait Kasus Djoko Tjandra. Foto: Jarwo/kumparan
Kuasa hukum Djoko Tjandra, Andi Putra Kusuma, mengatakan kliennya tak hadir karena masih menjalani pengobatan di salah satu rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. Leluasanya Djoko Tjandra masuk dan keluar RI tanpa terpantau membuat Menko Polhukam, Mahfud MD memanggil Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasonna Laoly, Kapolri Jenderal Idham Azis, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
ADVERTISEMENT
Rupanya, di balik mulusnya perjalanan Djoko Tjandra keluar-masuk Indonesia, ada peran oknum kepolisian hingga kejaksaan di baliknya. Misalnya, Brigjen Prasetijo Utomo, yang menerbitkan surat jalan dan surat keterangan bebas corona untuk Djoko Tjandra, sehingga buronan itu bisa bebas terbang. Bahkan, keduanya pernah pergi bersama menggunakan pesawat pribadi.
Selain Prasetijo, ada pula Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang beberapa kali bepergian ke luar negeri pada 2019 tanpa izin atasannya. Salah satu perjalanannya itu, rupanya digunakan untuk bertemu dengan Djoko Tjandra.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
***
Saksikan video menarik di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten