SQUARE, Ilustrasi tenaga medis

Dokter Relawan Penanganan Corona: Baru Sekarang Saya Setakut Ini

23 Mei 2020 15:43 WIB
comment
47
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dokter Tri Maharani. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokter Tri Maharani. Foto: Dok. Pribadi
Urusan hidup dan mati tak pernah main-main, kecuali kita merasa hidup sekadar kelakar dan perkara melempar dadu. Mari dengar kisah Tri Maharani, dokter relawan yang berjibaku di ruang rawat pasien corona selama dua minggu.
Urat takut Tri Maharani seharusnya sudah putus. Dokter spesialis emergency ini sudah beberapa kali berhadapan dengan situasi yang terburuk dari yang buruk. Hampir setiap tahun ia rutin terjun ke lokasi-lokasi bencana. Tapi kali ini betul-betul berbeda.
Tahun 2020 ini, Maha—sapaan akrab Tri Maharani—hanya butuh 14 hari untuk mengubah perspektifnya dalam memandang rasa takut. Semua itu karena keterlibatannya menangani pasien virus corona COVID-19.
“Saya sudah 22 tahun jadi dokter. Yang namanya (merasakan) takut itu baru kemarin,” kata perempuan yang menjabat Kepala IGD Rumah Sakit Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, ini kepada kumparan, Selasa (19/5).
Medio April lalu, sebuah pesan masuk ke surat elektronik Maha. Ia diminta datang ke Jakarta oleh Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril. Tenaganya dibutuhkan untuk menangani pasien-pasien COVID-19. Dokter-dokter di RSPI sudah satu setengah bulan bertugas maraton sejak kasus corona pertama terdeteksi awal Maret.
“Mereka harus diistirahatkan. Jadi kekurangan tenaga itu betul-betul terasa, karena kekurangan orang,” kata Maha.
Ahli toksikologi itu memutuskan untuk menyambut panggilan tersebut. Pada 15 April, Maha sudah berdinas di RSPI Sulianti Saroso untuk jangka waktu 14 hari. Ia bertugas di ruang isolasi ICU.
RSPI Sulianti Saroso Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
RSPI Sulianti Saroso merupakan fasilitas kesehatan rujukan utama COVID-19. Pasien yang dirawat di sana masuk kategori sedang ke berat. Berbeda dengan Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran yang merawat pasien bergejala ringan ke sedang.
Suatu hari, situasi darurat terjadi. Kondisi seorang pasien di ruang ICU mendadak payah. Napasnya berat dan tersengal-sengal. Tim medis segera mengambil tindakan. Dibantu seorang dokter umum dan dua perawat, Maha melakukan prosedur intubasi.
Selang dimasukkan melalui mulut pasien untuk membuka sumbatan udara ke paru-paru. Maha harus berhadapan langsung dengan mulut pasien dari jarak dekat.
“Aerosol (partikel udara) dari pasien COVID-19 itu kena langsung walaupun saya pakai pelindung wajah,” Maha mengenang peristiwa itu. “Tapi kalau tindakan itu enggak saya lakukan, pasien saya meninggal.”
Intubasi baru selesai setelah tiga jam. Dengan tubuh dibalut hazmat lengkap dan hidung dibekap masker N95, itu jelas bukan pekerjaan mudah. Seorang perawat tak tahan kepanasan meski berada di bawah semburan AC yang dingin. Dokter jaga yang membantu juga mengeluh sesak napas. Sementara benak Maha sibuk dengan kekhawatiran tertular COVID-19.
“Kami menjadi agak tidak waras saat itu,” ujar Maha.
Keesokan harinya, Maha menjalani rapid test. Sehari kemudian, tes swab pun dilakoni. Butuh waktu tiga hari sebelum hasil tes swab keluar.
“Selama menunggu tiga hari, perasaan campur aduk,” Maha menceritakan hari-hari penantian yang mendebarkan itu.
Ia menginap di hotel yang disediakan bagi tenaga medis. Di kamar, ia cuma menonton televisi untuk meredakan kekhawatiran. Dan baginya, melihat tayangan berita seputar COVID-19 adalah hal terlarang. Bisa-bisa, kata Maha, malah bikin tambah kalut.
Pilihan jatuh ke acara lawak atau film kartun. Lain waktu, Maha tenggelam dalam alunan lagu Louis Armstrong, penyanyi idolanya.
Fasilitas menginap di hotel bukan hal menyenangkan bagi tenaga medis. Tak ada cerita para tenaga kesehatan nongkrong-nongkrong sambil melepas tawa. Mereka langsung masuk kamar masing-masing setibanya di hotel. Di sana, interaksi antarmereka dibatasi protokol isolasi.
“Jangan sampai kami menginfeksi satu dengan yang lain. Jadi bayangkan saja 14 hari itu tidak ada teman, di kamar sendirian,” kata Maha.
Interaksi minimal juga berlaku saat bertugas di ruang ICU. “Paling kami hanya berinteraksi ketika melayani satu pasien yang sama,” ujarnya.
Di hotel, obrolan dengan kolega cuma bisa dilakukan melalui telepon atau video call. Bila waktu makan tiba, hidangan disediakan di lobi. Lalu para nakes mengambil makanan sendiri untuk disantap di kamar masing-masing.
Menurut Maha, menu yang disajikan enak-enak. Masalahnya, dalam kondisi terisolasi dan tertekan secara mental, selera makan lenyap. Maha menyiasatinya dengan menuangkan sambal banyak-banyak ke makanan. Ia mulai agak tenang setelah hasil tes swab keluar: negatif.
“Kemarin betul-betul merasa takut,” tuturnya.
— Tri Maharani, dokter spesialis emergency
Petugas medis di ruang isolasi RS Martha Friska Medan, Sumatera Utara. Foto: ANTARA/Septianda Perdana
Di ruang isolasi, banyak hal sederhana yang jadi tak mudah dilakukan. Maha punya pengalaman menegangkan saat harus memindahkan tiga orang pasien ke ruang ICU baru.
Semula, mereka berada di ruang ICU lama yang terletak di bagian lebih depan di rumah sakit itu. Untuk memindahkan satu pasien saja, butuh waktu 30 menit. Sebab, ruang gerak tenaga medis jadi terbatas dengan berpelengkap hazmat. Belum lagi, banyak peralatan penunjang kehidupan pasien yang harus ikut diangkut.
Ada satu pasien yang kondisinya mendadak memburuk saat pemindahan. Padahal, ia baru sekitar dua menit keluar dari ruangan ICU lama. Saturasi oksigen pasien anjlok dari 95 persen ke 16 persen. Ventilator portabel yang membantu pernapasan tak sanggup menstabilkan kondisi pasien.
“Kami luuaarrriiiii balik lagi ke ICU lama,” kata Maha dengan nada tegang. “Pindahin tiga pasien saja rasanya kayak pindahin seratus orang!”
Tak hanya beban dan tanggung jawab kerja, suasana di ruang perawatan juga berpengaruh pada psikis tenaga kesehatan. Pakaian hazmat berwarna putih lama-kelamaan terasa membosankan, murung, dan menakutkan.
“Ada perasaan yang tidak menyenangkan. Setelah kami berganti baju masuk ke ruang isolasi seperti masuk ke tempat penghakiman. Dan semua teman-teman perasaannya sama,” ungkap Maha. “Apalagi kami tidak tahu di dalam akan tertular atau tidak.”
Sebagian tenaga kesehatan mengakalinya dengan memberi hiasan warna-warni pada hazmat dan alat pelindung diri lainnya. Cara itu lumayan berhasil membuat suasana lebih ceria
Tenaga medis bertaruh nyawa untuk kesembuhan pasien COVID-19. Ilustrasi: Maulana Saputra/kumparan
Tenaga medis memang harus pintar-pintar mengelola stres di tengah pekerjaan yang perlu kecermatan tingkat tinggi. Tetapi adakalanya itu tak berhasil.
Saat Maha bertugas di Jakarta, ada seorang perawat pria senior di RSPI yang terpapar COVID-19 menjalani perawatan. Mental rekan-rekannya terpengaruh. Pada suatu titik, kondisi sang perawat senior itu menurun. Di ruangan ICU, semua perawat menangis.
Seorang perawat pria, sahabat dekat si pasien perawat, bahkan berteriak histeris. Maha menuturkan, “Pagi harinya dia baru merawat temannya di ruangan.”
Perawat RSPI Sulianti Saroso meninggal. Foto: Dok. Istimewa
Saking beratnya tekanan fisik dan mental, menurut Maha, ada seorang perawat kehilangan konsentrasi saat melepas APD. Ia melepas masker sebelum APD lain.
“Padahal prosedurnya, masker dibuka paling akhir karena risikonya besar,” kata Maha.
Beratnya tugas tenaga medis dalam menangani pasien COVID-19 membuat Maha jengkel melihat kerumunan orang yang sama sekali tak mengindahkan protokol kesehatan. Ia tambah kesal ketika ada pesohor yang membuat pernyataan menyepelekan COVID-19.
“Rasanya mau saya ajak ke ICU, supaya mereka tahu beratnya apa yang kami hadapi, supaya tahu bagaimana takut itu,” katanya dengan nada geram—yang sepenuhnya wajar.
Urusan hidup dan mati sama sekali bukan untuk diremehkan.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten