Dosa-dosa Besar Diktator Filipina Ferdinand Marcos Sr: Penculikan hingga Korupsi

10 Mei 2022 16:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Presiden Filipina Ferdinand E. Marcos berbicara pada pertemuan UNCTAD di Nairobi, Kenya, Mei 1976. Foto: Amin Mohamed/Camerapix/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Presiden Filipina Ferdinand E. Marcos berbicara pada pertemuan UNCTAD di Nairobi, Kenya, Mei 1976. Foto: Amin Mohamed/Camerapix/Getty Images
ADVERTISEMENT
Tiga dekade sejak revolusi rakyat bersimbah darah menggulingkan diktator Ferdinand Marcos Sr., bayang-bayangnya kembali menyelimuti kursi kepresidenan Filipina.
ADVERTISEMENT
Ferdinand Marcos Jr. atau 'Bongbong' adalah putra sang diktator. Bongbong telah memulihkan nama keluarga saat meraih kemenangan telak pada pilpres Filipina.
Popularitas klan Marcos bangkit dari abu berkat kampanye cerdik yang secara hati-hati telah menulis ulang sejarah, mengaburkan fiksi dan fakta melalui media sosial.
Pendukung kandidat Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. merayakan hasil parsial dari Pemilihan Nasional 2022 di Mandaluyong, Filipina, Selasa (10/5/2022). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Propaganda pro-Marcos berkembang biak di wadah populer bagi Generasi Z, mengantarkan era baru yang mengubah riwayat brutal menjadi konten mengasyikkan di YouTube hingga TikTok.
Filipina rentan dalam perang melawan kebohongan. Sekitar 82 persen populasinya menyelam ke dunia daring, dan sebagian besar tampaknya tenggelam dalam berita palsu.
Pasukan papan tombol telah menggeret kisah salah satu keluarga paling dibenci di negara itu seolah salah satu yang paling dihormati.
Para pengunjuk rasa menggunakan poster di kepala selama demonstrasi untuk memperingati 36 tahun gerakan Kekuatan Rakyat yang menggulingkan mendiang diktator Filipina Ferdinand Marcos di Manila, Jumat (25/2/2022). Foto: Ted ALJIBE / AFP
Realita berkata lain: rezim Marcos Sr. adalah periode yang menjatuhkan negara itu dalam utang, dan menyaksikan ribuan penduduk sipil ditangkap serta disiksa.
ADVERTISEMENT
Pertumpahan darah kemudian meletuskan pemberontakan massal 'People Power' pada 1986 yang bertujuan membersihkan sisa-sisa keluarga itu.
Keengganan Marcos Jr. untuk mengakui sejarah brutal keluarganya telah membuat sebagian orang khawatir dia hanya akan meneruskan warisan tersebut. Marcos Sr. seolah-olah telah bangkit dari kubur dan seluruh negeri bak jatuh dalam amnesia.
Kendati muslihat sang diktator menguap dari benak, luka yang dia torehkan masih tersisa. Berikut telah kumparan rangkum dosa-dosa besar klan Marcos:

Pion Militer

Presiden Filipina Ferdinand Marcos (tengah), istrinya Imelda dan Wakil Presidennya Arturo Tolentino membuat tanda "V" untuk kemenangan pemilihan presiden, 16 Februari 1986 di Manila di Istana Malacanang. Foto: HO/AFP
Marcos Sr. enggan mengotori tangannya sendiri selama dua puluh tahun berkuasa. Presiden kesepuluh itu mengerahkan jajaran pasukannya untuk memberantas para penentang. Unit-unit militernya pun dipimpin oleh kroni-kroninya sendiri.
Marcos Sr. memerintah dalam darurat militer dari 1972 hingga 1981. Dia masih mempertahankan sebagian besar kekuasaan darurat militer tersebut sampai digulingkan pada 1986.
ADVERTISEMENT
Dokumentasi dari berbagai pemantau hak asasi manusia telah merekam jejak kekejaman mereka. Kediktatoran Marcos Sr. diwarnai dengan 3.257 pembunuhan di luar proses hukum, 35.000 penyiksaan, 77 penghilangan, dan 70.000 penahanan.
Kroninya menyasar lawan politik, aktivis mahasiswa, jurnalis, tokoh agama, hingga petani yang berjuang melawan.
Militer Filipina kuasai Marawi Foto: Reuters/Erik De Castro
Sekitar 2.520 dari 3.257 korban pembunuhan disiksa dan dimutilasi sebelum mayat mereka dibuang ke berbagai tempat terbuka agar ditemui publik—sebuah taktik untuk menabur ketakutan di kalangan masyarakat. Mayat-mayat yang dimutilasi bergelimpangan di pinggir jalanan umum bak teater teror.
Pion-pion dalam pelanggaran tersebut ialah Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) dan Badan Intelijen Angkatan Bersenjata Filipina (ISAFP). Grup Intelijen dan Keamanan Metrocom (MISG) dan Unit Keamanan Polisi ke-5 (5CSU) juga terlibat dalam pembantaian.
ADVERTISEMENT
Marcos Sr. turut membentuk pasukan paramiliter, Pasukan Pertahanan Rumah Sipil (CHDF). Para serdadu itu dimanfaatkan pula oleh berbagai kepala pemerintah daerah untuk mengintimidasi dan mengancam oposisi.

Penangkapan dan Penghilangan Paksa

Ilustrasi penjara perempuan. Foto: Bignai/Shutterstock
Para korban digerebek dan ditangkap di rumah mereka sendiri tanpa surat perintah. Mereka kemudian ditahan secara ilegal tanpa dakwaan atau informasi yang jelas tentang status kasus mereka.
Perintah Penangkapan, Penggeledahan, dan Penyitaan (ASSO) tidak meluncurkan proses birokrasi seperti biasanya dan terkadang hanya merilis daftar orang yang akan ditangkap.
Tanpa penyelidikan, orang-orang militer lantas leluasa memasukkan nama siapa pun dalam daftar tersebut secara cuma-cuma.
Ilustrasi penjara anak. Foto: Shutterstock
Dengan mata yang ditutup, para korban lalu dibawa ke 'rumah persembunyian' militer, eufemisme untuk tempat-tempat penyiksaan. Gedung tersebut biasanya memiliki jendela yang selalu tertutup rapat dan dikelilingi tembok tinggi.
ADVERTISEMENT
Sepeda motor dan mobil kerap masuk bangunan tersebut pada jam-jam tidak teratur. Pria kekar bersenjatakan pistol yang diselipkan pada pinggang terlihat mengendarai kendaraan-kendaraan itu.
Satuan Tugas Tahanan Filipina (TFDP) telah mencatat pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Selama rezim Marcos Sr., terdapat 2.668 insiden penangkapan dan 398 penghilangan. Adapun 70.000 orang yang dipenjara dan 34.000 lainnya yang turut disiksa.

Kekerasan dan Kanibalisme

Ilustrasi melakukan praktik kanibalisme Foto: Wikimedia Commons
Pasukan Marcos Sr. meraba-raba segala metode penyiksaan. Mereka melecehkan, memutilasi, memukuli, dan menyetrum para penentang. Sebagian nyawa malang itu bahkan menjadi korban kanibalisme.
Komisi Hak Asasi Manusia Filipina merilis sebuah dokumentasi terkait pada 2015. Seorang kerabat korban mengungkap kekejian yang menimpa sepupunya.
Gadis itu ditangkap oleh para tentara dan diseret ke sungai kecil. Mereka lalu memerkosanya sebelum membantainya. Usai meregang nyawa, para tentara memotong-motong tubuh korban.
ADVERTISEMENT
Mereka kemudian memamerkan jari sang gadis yang bergelantungan dari seutas tali kepada penduduk lainnya. Sedangkan sisa-sisa tubuhnya mereka bakar dengan api unggun untuk disantap.
Ilustrasi kekerasan. Foto: kumparan
Penyiksaan berperan penting dalam aturan Darurat Militer. Para perwira yang baru lulus dari akademi militer menggunakan metode penyiksaan fisik, psikologis, dan seksual untuk merendahkan korban.
Korban wanita pertama dan martir Darurat Militer adalah Liliosa Hilao. Pada April 1973, wanita berusia 23 tahun itu juga ditangkap oleh tentara. Dia diperkosa dan disiksa di hadapan saudara perempuannya yang masih berusia 16 tahun.
Mayat Lily ditemukan dalam kondisi naas diselimuti luka bakar, bekas suntikan, memar, dan bekas laras senapan. Organ dalamnya dikeluarkan dan kemaluannya digergaji untuk menutupi tanda-tanda penyiksaan dan pelecehan seksual.
Ilustrasi Penyandraan. Foto: Thinkstock
Ada pula Luis Manuel Mijares yang berusia 16 tahun. Tubuhnya ditemukan dengan bekas luka bakar dan 33 tusukan.
ADVERTISEMENT
Korban lain, Dr Juan Escandor, ditemukan dengan kepala yang hancur. Laporan menyebut spesialis kanker itu tewas akibat luka tembak. Tetapi, ahli patologi mengungkap penemuan berbeda yang lebih keji.
Para korban melewati siksaan tak terbayangkan tanpa alasan jelas. Mereka dituduh sebagai pemberontak atau komunis meski nihil bukti.
Korban lain bahkan terperosok ke cengkeraman militer sebab alasan tidak masuk akal, seperti menyakiti hati putri sang diktator, Imee Marcos.
Ilustrasi TKP pembunuhan. Foto: Marco Prandina/Getty Images
Archimedes Trajano masih berusia 21 tahun ketika dia berdiri di sebuah forum terbuka pada 1977. Dia mempertanyakan kemampuan Imee untuk memimpin organisasi pemuda Kabataang Barangay.
Trajano menegaskan, Imee tidak akan diberikan jabatan itu bila bukan putri presiden. Dia juga membahas peran ayahnya dalam pelanggaran hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Trajano kemudian diseret secara paksa oleh pengawal Imee. Mayatnya ditemukan di jalanan dengan tanda-tanda penyiksaan. Imee kemudian dinyatakan bersalah atas kasus itu oleh Pengadilan Distrik Hawaii.
Ilustrasi tahanan. Foto: Shutter stock
Menemui nasib berbeda, seorang mantan tahanan politik berhasil lepas. Ilagan ditangkap saat penggerebekan di rumah persembunyian pada 1974. Ketua organisasi pemuda komunis Kabataang Makabayan itu ditahan dan disiksa selama dua tahun.
Ilagan mengingat mimpi buruk itu dengan jelas. Dia mengingat pemukulan, jeritan saat besi panas membakar telapak kakinya, dan tongkat yang dimasukkan ke dalam kemaluannya.
"Mereka memasukkan peluru di antara jari-jari kedua tangan dan meremas tangan saya begitu erat sehingga saya berteriak," kenang pria berusia 70 tahun itu sambil berlinang air mata, dikutip dari AFP, Selasa (10/5/2022).
ADVERTISEMENT
"Saya merasa tulang saya akan retak," sambung dia.

Pembantaian dan Pembersihan Etnis

Dua suku Moro asli Bagobo dari Filipina, pada 7 September 1926. Foto: General Photographic Agency/Getty Images
Kediktatoran Marcos Sr. tak hanya membasmi orang-orang tertentu yang menentangnya. Kelompok-kelompok juga dihabisi lantaran melakukan mobilisasi kolektif melawan rezim.
Darurat Militer dicabut pada 1981. Tetapi, lima pembantaian melanda seluruh negara itu di tahun yang sama. Antara 1981 dan 1982, tercatat 14 pembantaian dengan total 134 kematian.
Orang Moro menjadi sasaran khusus pasukan Marcos Sr. Mereka adalah komunitas adat di Mindanao yang sebagian besar penduduknya merupakan Muslim. Sebelum darurat militer berlaku pada 1972, Marcos Sr. telah menghabisi ribuan orang Moro.
Tentara Filipina di Mindanao Foto: Reuters/Armed Forces of the Philippines
Marjanie Salic Macasalong telah mempublikasikan penelitian perihal pembersihan etnis tersebut. Studi itu bertajuk The Liberation Movements in Mindanao: Root Causes and Prospects for Peace.
ADVERTISEMENT
Dia mencatat, Angkatan Darat, Polisi Filipina, dan Ilaga terlibat dalam pembunuhan mereka. Ilaga adalah sebuah sekte teroris yang diakui pemerintah Marcos Sr. Mereka dikenal akan kanibalisme dan perampasan tanah.
Pihak-pihak itu telah memusnahkan hingga 100.000 Muslim Moro.

Kleptokrasi

Mantan ibu negara Filipina Imelda Marcos berbicara di telepon seluler dari kamar presiden sebuah hotel di kota Laoag, provinsi utara Ilocos Norte, pada 13 Mei 2010. Foto: Romeo Gacad/AFP
Selain pendapatan yang dinyatakan secara hukum, Mahkamah Agung Filipina menganggap semua aset Marcos sebagai kekayaan haram. Pihaknya telah merampas kembali kekayaan itu untuk kepentingan pemerintah atau penyintas.
Keluarga Marcos dan kroni-kroninya menjarah begitu banyak kekayaan dari Filipina. Alhasil, hingga hari ini, para penyelidik kesulitan menentukan jumlah tepat dana yang dicuri.
Klan Marcos diperkirakan mengantongi sekitar USD 5 miliar hingga USD 10 miliar dari perbendaharaan Filipina selama masa kepresidenannya.
Menyesuaikan dengan inflasi, dana tersebut setara dengan sekitar USD 11,16 miliar (Rp 162 triliun) hingga USD 22,3 miliar (Rp 324 triliun) pada 2017.
ADVERTISEMENT
Sumber-sumber kekayaan Marcos diduga dialihkan dari bantuan ekonomi asing, bantuan militer dari AS, dan suap dari kontrak pekerjaan umum.