Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tak becus dan bikin KPK morat-marit. Sarat kontroversi dan minim prestasi. Begitulah anggapan peneliti ICW Kurnia Ramadhana soal kepemimpinan Firli Bahuri , purnawirawan perwira tinggi Polri yang menjabat sebagai Ketua KPK sejak Desember 2019 dan kini terjerat kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo .
Walau ada beberapa kasus besar yang ditangani KPK selama Firli menjabat, namun kasus-kasus itu tak tuntas diusut. Contohnya, kasus suap izin ekspor benih lobster oleh bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo tahun 2020.
Dalam kasus tersebut, ada 7 orang yang menjadi tersangka, termasuk Edhy Prabowo yang kemudian divonis 5 tahun penjara karena terbukti menerima suap USD 77 ribu dan Rp 24,6 miliar. Namun, dari 7 orang ini, 2 di antaranya masih buron hingga kini.
Berikutnya, kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi COVID-19 oleh bekas bekas Menteri Sosial Juliari Batubara pada 2020. Dalam kasus ini, meski 6 orang menjadi tersangka, termasuk Juliari yang kemudian divonis 12 tahun penjara, masih tersisa satu orang yang juga buron.
Belum lagi kaburnya Harun Masiku, politisi PDIP yang menyuap Komisioner KPU agar ditetapkan sebagai anggota DPR. Meski Polri sempat menyebut Harun ditengarai ada di dalam negeri, namun KPK tak kunjung berhasil menangkapnya sehingga sebagian pihak menduga bahwa ada oknum di lembaga antirasuah itu yang berusaha melindungi Harun.
“Jadi, kalau mengikuti penegakan hukum di KPK, banyak yang bolong,” ujar Kurnia kepada kumparan di kantornya, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (27/10).
Menurutnya, sejak awal Firli lolos fit and proper test, bahkan terpilih sebagai Ketua KPK dengan suara bulat dari Komisi III DPR, prosesnya sudah sangat meragukan.
Sementara seluruh anggota Komisi III yang berjumlah 56 orang sepakat memberikan suara untuk Firli, sudah jadi rahasia umum bahwa Firli memiliki deretan catatan pelanggaran kode etik selama menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK periode 2018–2019.
Jejak Firli Bahuri si Jenderal Bintang Tiga
Firli masuk KPK sejak ditugasi Kapolri Tito Karnavian sebagai Deputi Penindakan KPK pada Mei 2018. Sebelumnya, ia sempat menjabat sebagai Kapolda NTB (2017–2018), Wakapolda Jawa Tengah (2016–2017), dan Wakapolda Banten (2014–2015). Ia juga menjadi Ajudan Wakil Presiden Boediono pada 2012–2014.
Putra kelahiran Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, 8 November 1963 itu punya rekam jejak cemerlang di Polri. Masuk Akademi Kepolisian pada 1990, begitu lulus kariernya langsung moncer. Ia terus naik jabatan dari waktu ke waktu.
Ia pernah menjadi Kapolres Lampung Timur, Wakapolres Lampung Tengah, Kapolres Kebumen, Kapolres Brebes, Wakapolres Metro Jakarta Pusat, Dirreskrimsus Polda Jawa Tengah, dan Kapolda Sumatera Selatan.
Sampai akhirnya Firli mendapat tugas sebagai Deputi Penindakan KPK pada 2018. Bidang tugasnya adalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dalam hal ini, ia perlu menjaga informasi soal perkara yang ditangani KPK. Namun, ia malah kerap diduga membocorkan informasi.
Kebiasaan Firli menemui pihak berperkara juga bukan hal baru, melainkan sudah terlihat sejak awal dia bergabung ke KPK.
Pertengahan Mei 2018, saat Firli baru sebulan menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, ia dua kali bertemu Gubernur NTB M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang. Padahal, ketika itu KPK baru memulai penyelidikan kasus dugaan korupsi dalam divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara, dan TGB berstatus sebagai saksi.
Kala itu, 12 Mei 2018, Firli terbang secara pribadi dari Jakarta ke Lombok untuk menghadiri Harlah ke-84 GP Ansor. Di acara yang dihadiri TGB itu, ia mendapatkan keanggotaan luar biasa dari GP Ansor bersama sejumlah tokoh lain.
Esoknya, 13 Mei, Firli kembali bertemu TGB di Lapangan Tenis Wira Bhakti, Mataram, saat bermain tenis pagi-pagi memenuhi undangan Danrem 162/Wira Bhakti. Ketika itu, Firli dan TGB terlihat duduk berdampingan dengan akrab.
Penasihat KPK Mohammad Tsani Annafari saat itu mengatakan, pertemuan Firli dengan TGB merupakan pelanggaran etik berat. Meski demikian, dalam fit and proper test calon pimpinan KPK di Komisi III DPR pada September 2019, Firli berkukuh bahwa pertemuannya dengan TGB tak melanggar kode etik.
Menurut Firli, pertemuan dengan TGB itu tak direncanakan. Di tengah permainan tenis, TGB tiba-tiba datang, memasuki lapangan, dan ikut bermain. Usai bermain, Danrem kemudian meminta foto bersama dan diunggah di medsos.
Berikutnya, Agustus 2018, Firli menjemput saksi yang hendak diperiksa oleh KPK dalam kasus pengurusan Dana Insentif Daerah Kabupaten Tabanan, Bali, yaitu Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar.
Kala itu Firli menjemput Bahrullah di lobi Gedung KPK, lalu mengajaknya ke ruangan kerjanya di lantai 12. Pertemuan itu kemudian diketahui oleh penyidik KPK yang saat itu masuk ke dalam ruangan Firli.
Firli berkilah penjemputan itu wajar. Alasannya, BPK merupakan mitra kerja KPK. Walaupun begitu, Dewan Pengawas KPK menilai tindakan Firli melanggar kode etik, sebab yang berwenang menjemput saksi adalah penyidik.
Dalam fit and proper test capim KPK, Firli juga menyinggung soal ini. Menurutnya, ia tak punya niat macam-macam. Pintu ruangan kerjanya pun saat itu dibuka agar stafnya tahu tak ada pembicaraan tertutup dengan Bahrullah.
Bahkan, ujar Firli, ia jugalah yang meminta kepada stafnya untuk memanggil penyidik yang akan memeriksa Bahrullah, agar Bahrul dijemput di ruangannya.
Saat sudah menjadi Ketua KPK, kontroversi Firli tak surut. Ia pernah dituding pamer kekayaan karena naik helikopter dalam kegiatan pribadinya di Baturaja, Sumatera Selatan, pada Juni 2020, di tengah pandemi COVID-19. Akibatnya, Firli mendapat teguran ringan dan ia meminta maaf kepada masyarakat.
Yang lebih serius, pada Maret 2023, Firli diduga membocorkan berkas laporan kasus korupsi di lingkungan Kementerian ESDM tahun anggaran 2020-2022. Kebocoran dokumen itu mencuat saat penyidik KPK menggeledah kantor Kementerian ESDM pada 27 Maret 2023.
Ketika itu, petugas KPK menemukan dokumen menyerupai berkas Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi yang berisi gambaran kronologi perkara, terduga pelaku, dan pasal-pasal yang direkomendasikan digunakan.
Padahal, berkas itu bersifat rahasia dan hanya ditujukan kepada pimpinan KPK sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan tugas penyidikan. Di sinilah Firli disebut-sebut diduga kuat menjadi pihak pembocor.
Kasus ini sampai membuat eks Ketua KPK Abraham Samad dan Saut Situmorang, eks Wamenkumham Denny Indrayana, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman, dan beberapa tokoh lain melaporkan Firli ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran etika dan pidana.
Namun, Dewas menyatakan laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Firli terkait kebocoran dokumen penyelidikan di Kementerian ESDM itu tak cukup bukti. Laporan itu pun tak dilanjutkan ke sidang etik.
Kini, ketika Firli kembali terjerat kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo, Boyamin pun memintanya mundur.
“Lebih baik sejak sekarang mengundurkan diri atau menonaktifkan diri,” ujar Boyamin, Kamis (26/10).
Terbaru, Kepolisian mengungkap bahwa rumah rehat sewaan yang ditempati Firli di kawasan elite Kertanegara, Jakarta Selatan, ternyata tidak ia bayar sendiri. Biaya sewa rumah ditanggung oleh bos Alexis, Alex Tirta Juwana Darmadji, sebesar Rp 650 juta per tahun.
Alex adalah pengusaha hiburan malam di ibu kota sekaligus Ketua Harian Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), yang menanggung pembayaran rumah Rp 650 juta per tahun untuk Firli. Artinya, Firli bukan cuma terindikasi menerima suap dari SYL, tapi juga gratifikasi dari Alex.
Indikasi suap dan gratifikasi tersebut lebih dari cukup untuk menonaktifkan Firli dari jabatan Ketua KPK.
Menanti KPK Tanpa Firli
Firli di KPK memang identik dengan kontroversi. September 2021, misalnya, sebanyak 57 pegawai KPK dipecat karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan. Tes ini kemudian disebut melanggar hak asasi oleh Komnas HAM dan disebut maladministrasi oleh Ombudsman.
Tahun 2022, Transparency International menggelar survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang menempatkan Indonesia dalam posisi terburuknya sepanjang era Reformasi. Salah satu indikatornya, terjadi penurunan skor dari 38 poin pada tahun sebelumnya, menjadi 34 poin pada 2022.
IPK berada di rentang 0–100, dengan angka 0 paling korup, sedangkan 100 paling bersih. Merosotnya IPK Indonesia membuat negeri ini ada di ranking 110 dari 180 negara. Kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli pun disororot.
Kurnia dari ICW berpendapat, Dewan Pengawas KPK sebelumnya tak serius menyelidiki berbagai dugaan pelanggaran kode etik oleh Firli, bahkan cenderung percaya saja ucapan Firli.
“Yang jadi problem saat ini, sekalipun Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat, mereka tak punya kewenangan untuk memberhentikan [pimpinan] KPK, sebab berdasarkan Undang-Undang KPK, pemberhentian hanya bisa dilakukan oleh Presiden,” tutur Kurnia.
Kurnia pun menganggap ke depannya UU KPK perlu direvisi untuk memasukkan pasal yang mengatur pengunduran diri atau pemecatan pemimpin KPK yang terlibat masalah. Jika tidak, maka tak ada efek jera bagi pimpinan KPK yang bengal.
“Menurut pandangan kami, itu juga kenapa Firli selalu lolos,” kata Aulia.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengusulkan agar Dewan Pengawas diganti saja dengan Pengawas Internal KPK seperti dulu, sebab Pengawas Internal bisa proaktif mengawasi pimpinan KPK, tak melulu menunggu pengaduan.
Kini, baik Saut maupun Kurnia tengah menanti penetapan tersangka terhadap Firli.
“Tatkala itu terjadi, saat Firli ditetapkan sebagai tersangka, maka demi hukum, berdasarkan UU KPK, Presiden harus memberhentikan sementara Saudara Firli dari pimpinan KPK,” tutup Kurnia.