Dosen UGM: Hakim MK Perlu Kuliah di UGM

23 April 2024 18:48 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (ketiga kanan) memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (ketiga kanan) memimpin sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilu (PHPU) Pilpres 2024. Dosen Hukum Tata Negara UGM Herlambang R. Wiratraman mengatakan putusan tersebut tak mengejutkan.
ADVERTISEMENT
"Kenapa tidak mengejutkan, karena ada berapa hal yang bisa terlihat di dalam perkembangan bagaimana MK mengambil keputusan selama ini," kata Herlambang di Fakultas Hukum UGM, Selasa (23/4).
Ada dua hal mendasar yang pertama adalah dominasi nalar formalisme di dalam MK mengambil keputusan.
"Ini yang saya sebut selected formalism di dalam mengambil keputusan. Ini cara MK yang saya kira berbahaya sekali ya ketika dia bukan hanya melepaskan dari situasi-situasi yang sebenarnya harus bisa dibaca misalnya soal konflik kepentingan, soal etika," katanya.
Menurut Herlambang, etika tak lagi dianggap penting dalam putusan MK tersebut.
Ia menyoroti pertimbangan bahwa MK menyatakan tidak cukup yakin soal dalil Presiden tidak netral. Alasannya dua hal, yakni tidak jelas indikator atau parameternya serta etika belum menjadi hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Itu saya kira perlu kuliah hakimnya ya di fakultas ini karena yang namanya etika itu tidak semuanya harus diformalisasikan atau tidak semuanya menjadi peraturan perundang-undangan, itu pun masih dibubuhi kalimat di belakangnya," jelasnya.
"Katanya hakimnya mengatakan bahwa karena kita ini pasal 28i mengatakan tidak bisa netralitas itu dipersoalkan dengan hukum yang berlaku surut, dia ingin mengatakan seolah-olah legalitas itu bekerja. Dia lupa bahwa hukum itu juga harusnya tidak bisa dipisahkan dengan soal etika," tegasnya.
Dari waktu ke waktu, Herlambang melihat MK tidak pernah serius memperjuangkan masalah yang sebenarnya bisa merusak ketatanegaraan.
"Hanya karena menyingkirkan atau melepaskan prinsip fundamental yakni etika di dalam berhukum," katanya.
Hal selanjutnya yang membuatnya tak terkejut dengan putusan ini adalah situasi politik kekuasaan kehakiman makin lama makin menegaskan posisinya menopang kepentingan politik rezim.
ADVERTISEMENT
"Khususnya adalah rezim pemerintahan Jokowi ini," katanya.
"Jadi sebutan nama-nama terhadap MK mulai dari mahkamah keluarga, mahkamah kartel dan seterusnya itu adalah refleksi dari judicial decision of authoritarian politik. Ketika politik kekuasaan kehakiman itu begitu kuatnya dikendalikan oleh kepentingan politik yang bekerja baik itu di istana maupun Senayan itu maksudnya," katanya.
MK menolak dua permohonan terkait gugatan Pilpres 2024. Putusan diambil 8 Hakim MK.
Namun 3 Hakim menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Mereka menilai MK seharusnya mengabulkan sebagian permohonan.
Salah satu Hakim MK yang dissenting opinion adalah Enny Nurbaningsih. Ia merupakan Guru Besar Fakultas Hukum UGM.