Dosen UNJ soal Demokrasi di Indonesia: Ada Pengabaian Kaum Intelektual

14 Maret 2024 13:31 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Akademisi berkumpul di Auditorium FK UI dalam acara Universitas memanggil - Temi Ilmiah Para Guru Besar/Akademisi Universitas Se-Jabodetabek. Foto: Ainun Nabila/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Akademisi berkumpul di Auditorium FK UI dalam acara Universitas memanggil - Temi Ilmiah Para Guru Besar/Akademisi Universitas Se-Jabodetabek. Foto: Ainun Nabila/kumparan
ADVERTISEMENT
Dosen UNJ Ubedilah Badrun menilai ada satu faktor yang menyebabkan kondisi demokrasi Indonesia saat ini menimbulkan gejolak.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kondisi ini tercipta karena ada tidak mendengarkan masukan dari kaum akademisi.
"Secara politik saya mengambil kesimpulan bahwa dari pertanyaan mengapa problem kita sedemikian parah dari beberapa perspektif yang tadi disampaikan, kesimpulan yang saya tarik adalah ada secara terang benderang pengabaian terhadap kaum intelektual," kata Ubedilah dalam acara 'Universitas Memanggil' yang digelar di Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (14/3).
Ubedilah kemudian memaparkan pengabaian yang dilakukan pemerintah. Pertama, ketika ratusan ribu mahasiswa turun ke jalan pada tahun 2019 dengan tagar 'Reformasi Dikorupsi'.
"Ratusan intelektual bahkan guru besar mendatangi Istana untuk mengingatkan agar tidak dilakukan revisi UU KPK, tetapi tidak didengar. Bayangkan, kaum intelektual menyatakan kebenaran tidak didengar dan faktanya hari ini indeks korupsi kita memang skornya terendah dalam sejarah, hanya 34. Di tengah korupsi yang merajalela, KPK dilemahkan secara sistemik," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Pengabaian itu juga terlihat ketika pemerintah mengeluarkan UU Cipta Kerja atau yang dikenal sebagai Omnibus Law. Saat itu tidak hanya kaum intelektual, kaum buruh bersama mahasiswa juga kembali turun ke jalan mengkritik Omnibus Law saat itu.
"Mengingatkan kalau undang-undang ini secara sistemik semacam membangun, menciptakan pemiskinan sistemik terhadap generasi dan korbannya adalah generasi Z. Ratusan ribu buruh bersama mahasiswa mengingatkan itu, jangan lakukan itu, bahkan sekelas Profesor Emir Salim mengingatkan itu agar jangan disahkan undang-undang yang sangat bermasalah. Tapi tengah malam undang-undang dengan diburu-diburu, undang-undang disahkan, itu pengabaian paling melecehkan kaum intelektual," jelasnya.
Akademisi berkumpul di Auditorium FK UI dalam acara Universitas memanggil-Temi Ilmiah Para Guru Besar/Akademisi Universitas Se-Jabodetabek. Foto: Ainun Nabila/kumparan
Ubedilah melanjutkan, pengabaian yang saat ini paling terlihat adalah ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang kontroversial. Putusan itulah yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, untuk maju di Pilpres 2024 meski secara aturan usia tidak memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
"Saya secara pribadi, teman-teman ahli hukum tata negara meneteskan air mata karena bayangkan hampir seluruh teori tidak bisa meruntuhkan ambisi pribadi kekuasaan, sehingga kemudian keluarlah Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023, yang kemudian menjadi karpet merah bagi putra mahkota dan itu kemudian menegakkan, menyempurnakan dinasti politik Joko Widodo. Ini luar biasa," tegasnya.
Ia menyebut, hal ini disebut neotoritarianisme -- praktek otoritarian dengan gaya baru.
"Yang dibangun melalui sebuah proses di politik disebut sebagai populisme. Yang dari wong cilik, dari gorong-gorong lalu seolah-olah dia merasa bahwa dia dipilih mayoritas bangsa ini, lalu dengan cara itu dia bisa melakukan apa pun," tuturnya.
Menurutnya, kondisi saat ini sangat serius. Ini juga terlihat dari indeks demokrasi Indonesia yang turun, demikian pula dengan indeks hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
"Faktor penyebabnya karena elite kekuasaan mengabaikan kaum cendekiawan, mengabaikan civil society, mengabaikan rakyat banyak, mengabaikan guru, dan mengabaikan mahasiswa yang berhak mewarisi masa depan republik ini," pungkasnya.