Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
DPR Dinilai Pilih Pimpinan KPK Bermasalah dan Dekat dengan Kepentingan Politik
21 November 2024 23:03 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Komisi III DPR RI telah memilih lima orang pimpinan KPK periode 2024-2029. Mereka adalah Setyo Budiyanto (ketua), Johanis Tanak, Ibnu Basuki Widodo, Fitroh Rohcahyanto dan Agus Joko Pramono. Komposisi pimpinan yang dipilih ini dikritik sejumlah pihak.
ADVERTISEMENT
Salah satunya datang dari Koalisi Masyarakat Sipil. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyebut, di tengah krisis integritas, seharusnya DPR memilih Pimpinan dan Dewan Pengawas yang memiliki rekam jejak nyaris sempurna, berpihak kepada agenda pembenahan kelembagaan KPK dan pemberantasan korupsi.
"Faktanya, Komisi III DPR memilih calon dengan latar belakang bermasalah yang dekat dengan kepentingan politik. Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa proses seleksi ini sudah cacat sejak awal," kata Julius dalam keterangannya, Kamis (21/11).
Setidaknya ada tiga poin yang menjadi sorotan Koalisi Masyarakat Sipil.
Pertama, Panitia Seleksi (Pansel) diduga kuat memilih calon yang memiliki kedekatan personal dengan Presiden ke-7 RI, Jokowi. Adapun Pansel KPK ditunjuk dan mulai bekerja saat Jokowi masih menjabat presiden.
ADVERTISEMENT
"Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya nama yang secara rekam jejak dinilai cukup baik dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi justru dipenggal dalam proses seleksi awal. Pansel justru meloloskan nama-nama yang jelas-jelas memiliki rekam jejak buruk," kata Julius.
Kedua, proses seleksi yang terkesan sekadar formalitas. Seleksi wawancara yang dilakukan oleh Pansel maupun Fit and Proper Test di Komisi III DPR tidak menggali lebih dalam kepada calon terkait mulai dari tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan, harta kekayaan yang mengalami fluktuasi tidak wajar, nir-integritas dan potensi benturan konflik kepentingan, hingga langkah konkret dalam upaya membenahi kelembagaan KPK pasca Revisi UU KPK 2019.
"Padahal tanpa adanya perbaikan internal, KPK hanya jadi harimau yang kehilangan taringnya," kata Julius.
Ketiga, Fit and Proper test yang justru menetapkan lima calon sebagai Komisioner KPK 2024-2029 dengan rekam jejak buruk tanpa komitmen dalam memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
"Salah satunya Johanis Tanak yang diduga melanggar kode etik karena pertemuan dengan Tersangka Kasus Suap Penangkapan Perkara di Mahkamah Agung yakni mantan Komisaris PT Wika Beton, Tbk. pada 28 Juli 2023," kata Julius.
Selain itu, dalam paparannya saat Fit and Proper Test, Johanis Tanak menegaskan akan menghapus OTT KPK karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHP yang berlaku.
"Koalisi menilai bahwa Johanis Tanak tidak mampu mengukur efektivitas dan persentase keberhasilan pemberantasan korupsi melalui OTT atau niat menghapus OTT karena adanya transaksi politik dengan seseorang dan atau kelompok tertentu sehingga menjadikan KPK sebagai lembaga yang mati suri dalam menjalankan mandatnya sebagai pemberantas korupsi," ucap Julius.
"Lebih parahnya, Komisi III DPR RI bahkan memberikan apresiasi dan tepuk tangan meriah saat Johanis Tanah menjelaskan bahwa akan menghapuskan OTT KPK," sambungnya.
Didominasi Penegak Hukum
Julius juga menyoroti soal komposisi pimpinan KPK pilihan DPR ini didominasi oleh aparat penegak hukum (APH). Hal tersebut, kata dia, menjadi tantangan untuk mengaktifkan kembali fungsi trigger mechanism KPK.
ADVERTISEMENT
Semangat trigger mechanism ini sejatinya muncul ketika Kejaksaan dan Kepolisian dianggap belum cukup efektif dalam pemberantasan korupsi.
"Faktanya, calon yang dipilih oleh DPR adalah mereka dengan rekam jejak Kejaksaan dan Kepolisian yang juga tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi di lembaga sebelumnya," kata dia.
"Bahkan, Kejaksaan dan Polri menjadi lembaga yang paling banyak melakukan korupsi," sambungnya.
Julius mengatakan, meski pihaknya dan Transparency International Indonesia telah mengirimkan rekam jejak seluruh nama Capim dan Dewas yang sedang menjalankan Fit and Proper Test, sayangnya Komisi III DPR RI tidak mengindahkan rekam jejak tersebut.
"Padahal rekam jejak tersebut dapat menjadi indikator nilai apakah calon yang ada memiliki niat baik dalam pemberantasan korupsi atau tidak," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Dalam prosesi akhir yang sangat politis ini, Komisi III DPR awalnya menjadikan rapat pemilihan/voting calon pimpinan KPK mendatang tertutup bagi publik, namun akhirnya rapat dilakukan secara terbuka terbatas dan hanya memperbolehkan jurnalis yang masuk ke dalam ruang sidang untuk meliput. Namun, elemen masyarakat sipil tidak diperbolehkan untuk melihat proses akhir seleksi ini," pungkasnya.
Live Update