DPR Mendadak Copot Hakim MK Aswanto, Ini Awal Mulanya

30 September 2022 19:32 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih periode 2019-2021, Aswanto (tengah) saat di ambil sumpahnya di Kantor MK, Jakarta Pusat, Selasa (26/3). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih periode 2019-2021, Aswanto (tengah) saat di ambil sumpahnya di Kantor MK, Jakarta Pusat, Selasa (26/3). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
DPR mendadak mencopot hakim Mahkamah Konstitusi. Hakim Konstitusi Aswanto, yang saat ini tengah menjabat, tiba-tiba diganti oleh Guntur Hamzah.
ADVERTISEMENT
Pengesahan penggantian Hakim Konstitusi ini dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun 2022-2023, Kamis (29/9).
Pergantian ini sempat mengundang tanya. Sebab, dinilai dilakukan secara mendadak. Terlebih, masa jabatan Aswanto baru berakhir pada 2029 nanti.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie heran dengan pergantian itu. Bahkan ia menilai bahwa yang dilakukan DPR itu merupakan bentuk pemecatan tanpa dasar.
"Pergantian itu sama dengan pemecatan. Jadi, Aswanto masa tugasnya itu kalau mengikuti UU lama masih sampai Maret 2024. Jadi, masih satu tahun setengah lagi. Dengan UU baru, maka masa tugasnya di MK itu sampai Maret 2029," kata Jimly, Jumat (30/9).
Karena itu, Jimly menegaskan keputusan DPR tak sah karena melanggar ketentuan yang ada. Jimly pun menganjurkan Presiden Jokowi untuk tidak menindaklanjuti putusan DPR. Sebab, akan rawan digugat ke PTUN.
ADVERTISEMENT
Komisi III mengakui bahwa pergantian ini berawal dari adanya surat dari MK. Surat itu berisi konfirmasi perpanjangan masa jabatan Hakim Konstitusi imbas berlakunya UU baru MK pada 2020.
Dalam surat itu, MK menyebut ada 3 hakim konstitusi usulan DPR. Yakni Arief Hidayat, Aswanto, dan Wahidudin Adams.
Ketua MK Anwar Usman (tengah), bersama Hakim Arief Hidayat (kanan), dan wakil ketua MK Aswanto. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Anggota Komisi III DPR dari PKS Nasir Djamil menilai ada kesalahpahaman DPR dalam membaca surat dari MK. Dalam suratnya, MK meminta konfirmasi kepada Komisi III DPR soal 3 hakim MK usulan DPR yang menurut UU MK baru, masa jabatannya dibatasi masa tugasnya 15 tahun atau berusia maksimal 70 tahun. Namun, tindak lanjut dari DPR ialah mencopot Aswanto.
"Kalau merujuk kepada UU tentang MK yang terbaru maka apa yang dilakukan oleh DPR itu patut dievaluasi," kata dia.
ADVERTISEMENT
Namun pendapat berbeda disampaikan Anggota Komisi III Fraksi Gerindra, Habiburokhman. Ia menilai tidak ada kekeliruan dari DPR dalam menafsirkan surat yang dikirimkan oleh MK minggu lalu.
"Enggak, memang ada dialog, kan pada akhirnya diputuskan, itu akhirnya menjadi keputusan," ujar Habiburokhman tanpa merinci lebih jauh.
Sementara Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) mengungkap alasan pergantian Hakim Konstitusi Aswanto sebagai usulan DPR. Menurutnya, Komisi III kecewa dengan kinerja Aswanto.
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR," kata dia.
Menurut Pacul, sebelum ada pergantian itu, Komisi III menerima surat dari MK soal hakim-hakim yang diusulkan DPR. Rapat internal Komisi III lalu memutuskan mengganti Aswanto dengan Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai hakim MK dan disahkan dalam Rapat Paripurna, kemarin.
ADVERTISEMENT
Keputusan menunjuk Guntur sebagai Hakim MK dari usulan DPR yang baru diambil oleh Komisi III DPR dalam rapat internal, Rabu (28/9) dan Kamis (29/9), sebelum diketok dalam rapat paripurna DPR pada Kamis siang.

Gugatan UU Berujung Surat dari MK

Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) didampingi Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan sidang putusan sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
kumparan mendapatkan salinan surat yang dikirimkan MK kepada DPR. Surat tertanggal 21 Juli 2022 itu baru diteruskan Pimpinan DPR ke Komisi III pada 23 September 2022.
Surat ini tak terlepas dari berlakunya UU baru MK yakni UU nomor 7 Tahun 2020 serta adanya gugatan terhadap regulasi tersebut.
Berawal ketika DPR mengesahkan UU baru MK pada 2020. Salah satu yang menjadi sorotan publik ialah soal dihapusnya aturan jabatan 5 tahun Hakim Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Aturan yang dimaksud ialah Pasal 22 UU 24 Tahun 2003 Tentang MK, yang berbunyi:
"Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya."
Dalam UU 7/2020, pasal tersebut dihapus. Namun ada aturan lain yang muncul soal masa jabatan itu.
Yakni pada Pasal 87 yang berbunyi:
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;
b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang kemudian digugat seorang advokat bernama Priyanto pada 2020 lalu. Gugatan tercatat dalam putusan perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020.
Ia merasa dirugikan secara konstitusional dengan berlakunya Pasal 87 huruf a dan huruf b dalam Pasal I angka 15 UU 7/2020.
Menurut dia, UU 7/2020 telah mengubah beberapa persyaratan untuk dapat menjadi Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 15.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (ketiga kiri) bersama majelis hakim lainnya bersiap memimpin sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Yaitu mengenai usia yang semula minimal 47 tahun dan maksimal 65 tahun, menjadi minimal 55 tahun tanpa usia maksimal.
Persyaratan tentang berijazah Doktor tetap dipertahankan dengan sedikit perubahan terkait dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum. UU sebelumnya dipersyaratkan baik srata satu maupun magister (strata dua) juga harus berlatar belakang pendidikan hukum.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya perubahan itu, ia berpendapat bahwa hakim konstitusi yang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan tersebut menjadi tidak sah dan harus dilakukan penggantian. Sehingga terbuka untuk dilakukannya proses pemilihan kembali.
Priyanto yang merasa memenuhi syarat itu mengaku bermaksud untuk mendaftar. Namun, ia mengaku terkendala dengan adanya Pasal 87 huruf b yang menyatakan:
"Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.”
Selain itu, Priyanto yang berharap bisa menjadi Ketua atau Wakil Ketua MK pun turut terganjal dengan Pasal 86 huruf a, yang berbunyi:
Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”
ADVERTISEMENT
Atas dasar itu, Priyanto mengajukan gugatan. Ia meminta perubahan dalam Pasal 86 UU 7/2020.
Lantas, apa putusan MK?
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) membacakan amar putusan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019 dan 58/PUU-XVII/2019 di Mahkamah Konstitusi. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," bunyi putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman dikutip dari situs MK.
MK mengabulkan sebagian gugatan itu, yakni terkait pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK sebagaimana Pasal 86 huruf a. Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK tidak menunggu hakim yang sedang menjabat berakhir masa tugasnya.
Namun Pasal 86 huruf b dinyatakan tetap berlaku. Sebab, MK menilai aturan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Mahkamah, pengaturan perubahan usia dalam Pasal 15 UU 7/2020 merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang. Aturan yang dari semula menentukan usia hakim paling rendah 47 tahun kemudian diubah menjadi 55 tahun.
ADVERTISEMENT
"Pilihan kebijakan demikian merupakan sesuatu yang tidak dilarang dan juga tidak bertentangan dengan UUD 1945," bunyi pertimbangan MK.
Menurut Mahkamah, UU 7/2020 memberikan status hukum kepada semua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat sebagai seseorang yang telah memenuhi syarat pengangkatan sebagai hakim konstitusi. Oleh karenanya, yang bersangkutan tetap menjabat sebagai hakim konstitusi sampai tercapai batas usia pensiun 70 tahun, atau ketika belum mencapai usia 70 tahun tetapi rentang masa kerjanya sebagai hakim konstitusi telah mencapai 15 tahun;
Dengan aturan itu, periodisasi masa jabatan hakim konstitusi yang selama ini diatur selayaknya jabatan politik yaitu selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya dihapuskan.
"Peniadaan periodisasi ini secara doktriner merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga independensi dan imparsialitas hakim dalam konteks negara hukum yang demokratis konstitusional," bunyi pertimbangan MK.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini yang kemudian membuat masa jabatan hakim konstitusi bertambah. Seperti Hakim Konstitusi Aswanto. Merujuk UU lama, masa jabatannya berakhir pada 2024. Namun, berdasarkan UU baru, masa jabatannya baru berakhir pada 2029.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Meski demikian, MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 86 huruf b itu harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama.
MK pun berpendapat bahwa untuk membantah bahwa ketentuan tersebut memberi keistimewaan pada Hakim Konstitusi tertentu, perlu adanya tindakan hukum. Yakni dengan konfirmasi kepada lembaga pengusul Hakim Konstitusi yakni DPR, Pemerintah, dan MA.
"Bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat," bunyi pertimbangan MK.
ADVERTISEMENT
"Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung)," sambung pertimbangan itu.
Hal ini yang kemudian mendasari MK bersurat ke DPR. Surat yang kemudian dijadikan dasar DPR mengganti Hakim Konstitusi Aswanto.
Sejumlah kalangan menilai yang dilakukan DPR ialah inkonstitusional. Sebab, surat yang disampaikan MK ialah berupa konfirmasi pemberitahuan semata.