DPR soal Gugatan RCTI di MK: YouTube-IG Berbeda dengan TV, Tak Masuk Penyiaran

14 September 2020 15:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Gugatan RCTI dan iNews terhadap UU Penyiaran masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Diketahui dalam gugatan itu, RCTI dan iNews meminta MK menyatakan layanan Over The Top (OTT) seperti YouTube dan Instagram termasuk sebagai lembaga penyiaran layaknya TV sesuai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran.
ADVERTISEMENT
Sehingga apabila termasuk lembaga penyiaran, OTT harus mematuhi aturan dalam penyiaran seperti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
Dalam sidang lanjutan, giliran DPR yang memberikan keterangan mengenai gugatan tersebut. DPR yang diwakili anggota Komisi III, Habiburokhman, menyatakan layanan OTT berbeda dengan TV. Sehingga layanan OTT tidak termasuk lembaga penyiaran seperti yang diatur di UU Penyiaran.
"OTT bukan lembaga penyiaran karena tidak memenuhi ketentuan bentuk badan hukum lembaga penyiaran, perizinan, dan pengawasan isi siaran sebagaimana diatur di UU Penyiaran," ujar Habiburokhman dalam sidang di MK, Jakarta, Senin (14/9).
Anggota DPR RI Dapil Jakarta Habiburokhman. Foto: Dok. Habiburokhman
Ia menyebut terdapat beberapa alasan layanan OTT tidak bisa disamakan dengan lembaga penyiaran seperti TV.
Pertama, kata dia, spektrum frekuensi yang dipakai OTT tidak sama dengan TV yang telah ditetapkan pemerintah. Ia menyebut frekuensi siaran TV sudah ditetapkan berada pada blok frekuensi UHF 478-806 Megahertz (MHz). Sedangkan radio berada pada blok frekuensi 88-108 MHz.
ADVERTISEMENT
"Dengan ditentukan blok frekuensi itu oleh pemerintah, maka domain penyiaran secara legal berada pada frekuensi itu. Penggunaan frekuensi di luar yang telah ditetapkan bukan domain UU Penyiaran," ucapnya.
"Pada faktanya, entitas yang disebut OTT dalam aktivitasnya, data berupa gambar, suara, dan video menggunakan spektrum frekuensi radio di luar dari blok frekuensi penyiaran yang ditetapkan pemerintah," lanjutnya.
Ilustrasi YouTube. Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Tak hanya itu, politikus Gerindra tersebut menyatakan bentuk penyiaran OTT tak seperti TV yang dapat diterima masyarakat secara serentak.
"Selain penggunaan frekuensi OTT yang tidak sesuai frekuensi penyiaran, permasalahan lain yang membuktikan aktivitas entitas OTT bukan termasuk pasal a quo UU Penyiaran adalah tidak terpenuhinya salah satu syarat yaitu diterima serentak atau bersamaan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dalam pelayanannya, OTT tidak hanya eksklusif pada satu layanan. Sebab OTT bisa memberikan berbagai macam layanan seperti komunikasi serta pengiriman data berupa video rekaman suara, foto, dan lain-lain.
Terlebih, pihak yang menggunakan layanan OTT bukanlah seperti TV yang harus berbadan hukum. Pengguna layanan OTT bermacam-macam seperti perorangan, badan usaha, dan badan hukum.
Untuk itu, Habiburokhman atas nama DPR meminta MK agar menolak permohonan yang diajukan RCTI dan iNews.