Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Duel Maut Bocah SD di Garut, Efek Ujaran Kebencian di Lingkungan Anak
25 Juli 2018 6:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Duel dua bocah kelas empat SD di Garut pada Jumat (20/7) lalu berujung maut. Salah satu anak yang masih berusia 12 tahun, meninggal setelah ditusuk gunting.
ADVERTISEMENT
Masih memiliki hubungan keluarga, keduanya terlibat adu mulut sepele sebelum berkelahi di jalan saat pulang sekolah. Ironi, peristiwa ini terjadi tiga hari jelang Peringatan Hari Anak Nasional 2018.
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menegaskan kasus tersebut jelas mencoreng tema Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli. Ia mengaku sangat prihatin.
“Komnas Perlindungan Anak sangat prihatin dengan kejadian tersebut. Ada kasus yang justru mencoreng semboyan hari anak nasional GENIUS, yaitu gesit, empati, berani, unggul, sehat,” ujar Arist kepada kumparan, Selasa (24/5) malam.
“Janganlah pemerintah membuat permasalahan-permasalahan saling bunuh ditutupi dengan acara-acara yang seolah mengalihkan, seolah-seolah tidak ada isu problematika anak,” imbuhnya.
Anak yang tewas dalam duel maut itu ditusuk gunting setelah dituduh mencuri buku pelajaran teman duelnya. Arist melanjutkan, kasus ini sekaligus menjadi contoh dampak penanaman ujaran kebencian di lingkungan anak.
ADVERTISEMENT
“Bentuk dampak ujaran kebencian orang tua (dewasa) ke anak-anak. Itu kan hanya masalah buku, sampai marah lalu sampai seperti itu, efek ujaran kebencian,” tegas Arist.
Siapa yang bertanggung jawab dan berperan menangani fenomena kekerasan di lingkungan anak? Arist mengingatkan tentang tiga pilar perlindungan anak.
“Tiga pilar perlindungan anak yaitu keluarga, masyarakat dan sekolah harus berperan menciptakan zona perlindungan anak,” ucap Arist.
Keluarga korban sempat akan membawa anak tersebut ke klinik setelah dua hari dirawat di rumah. Belum sempat dirawat, korban tutup usia pada Minggu (22/7).
Namun kejadian itu baru ‘tercium’ polisi pada Senin (24/7), setelah seorang warganet mengunggah foto korban ke media sosial. Pihak keluarga tak kunjung melaporkan peristiwa itu, sehingga polisi menyelidikinya langsung ke lokasi.
ADVERTISEMENT
Arist bependapat, hubungan persaudaraan diduga menjadi alasan pihak keluarga enggan melaporkannya. "Karena dilihat sebagai hubungan keluarga, tapi itu tidak boleh,” kata Arist.
“Tindak pidana ya tetap tindak pidana. Kalau dia menghilangkan nyawa, ada atau tidak ada laporan, pihak berwajib harus tetap memprosesnya,” imbuhnya.
Namun Arist menekankan, karena pihak yang terlibat duel maut ini masih anak-anak, maka pihak kepolisian menyelesaikan kasus ini tidak lewat jalur pengadilan. Pemulihan mental anak juga harus menjadi prioritas.
“Diselesaiakan, tidak diabaikan, diselesaikan tidak lewat pengadlian, tapi diselesaikan dengan cara diskresi, yaitu kewenangan polisi untuk menyelesaiakan pelanggaran hukum menurut pertimbangan dan keputusan nurani,” ucap Arist.
“Dipulihkan mental anak ini di luar pengadilan,” lanjutnya.
Terakhir, pihak sekolah yang menurut Arist cenderung lalai terhadap fenomena kekerasan anak, harus bertanggung jawab menyiapkan trauma healing. Tak hanya untuk bocah yang terlibat duel, namun juga untuk semua siswa.
ADVERTISEMENT
"Sekolah harus menyiapkan trauma healing terhadap anak-anak murid semuanya di lingkungan sekolah, jangan seolah-seolah itu tanggung jawab pihak lain,” tegas Arist.