Duka dan Sukacita Warga Lebanon Jadi Satu di Momen Gencatan Senjata

28 November 2024 11:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para wanita saling menyapa ketika para pengungsi kembali ke rumah mereka di selatan Lebanon setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah diberlakukan, Rabu (27/11/2024). Foto: Anwar Amro/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Para wanita saling menyapa ketika para pengungsi kembali ke rumah mereka di selatan Lebanon setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah diberlakukan, Rabu (27/11/2024). Foto: Anwar Amro/AFP
ADVERTISEMENT
Jalanan menuju Lebanon selatan dipadati ribuan warga yang hendak kembali ke rumah usai gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel mulai diberlakukan pada Rabu dini hari (27/11).
ADVERTISEMENT
Di antara mereka, Mohammed Kaafarani (59 tahun) masih diliputi emosi.
“Ini akan menjadi 60 hari yang buruk dan mengerikan. Kami sampai pada titik di mana tidak ada tempat untuk bersembunyi,” katanya dalam perjalanan kembali ke Desa Bidias sambil membawa kasur dan koper seadanya.
Gencatan senjata yang diumumkan oleh Presiden AS Joe Biden dan Presiden Prancis Emmanuel Macron memberikan jeda dari konflik yang telah menghancurkan wilayah tersebut selama setahun terakhir.
Namun, harapan untuk pulang bercampur dengan kekhawatiran akan masa depan.

Kembali di Tengah Reruntuhan

Seorang warga yang mengungsi dari desa perbatasan selatan Lebanon, Shebaa, membawa barang-barang pribadinya sekembalinya ke rumah setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah berlaku, Rabu (27/11/2024). Foto: Anwar Amro/AFP
Di kota pelabuhan Tyre, Hussein Sweidan menyebut kepulangannya sebagai momen kemenangan.
“Kami telah kembali. Ini adalah momen kemenangan, kebanggaan, dan kehormatan bagi kami,Syiah, dan seluruh Lebanon,” katanya, seperti dikutip dari Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, di tempat lain suasana jauh lebih muram.
Seorang warga yang kembali ke Nabatieh, Ali Mazraani, tak kuasa menyembunyikan kesedihannya.
“Apakah ini benar-benar Nabatieh? Semua kenangan kami tentang kota ini telah hilang. Kami bahkan tidak dapat mengenali tempat kami sendiri,” tutur Ali seraya memandang puing-puing rumahnya.
Warga yang mengungsi dari desa perbatasan selatan Lebanon, Shebaa, memeriksa kerusakan sekembalinya mereka setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah berlaku, Rabu (27/11/2024). Foto: Anwar Amro/AFP
Kekhawatiran juga datang dari militer Israel yang meminta warga Lebanon untuk tidak kembali terlalu cepat.
Juru bicara militer Israel mengatakan pihaknya masih beroperasi di beberapa wilayah, dan evakuasi tetap diperlukan.

Gencatan Senjata yang 'Rapuh'

Menara sebuah masjid berdiri di tengah kehancuran di desa perbatasan selatan Lebanon, Shebaa, setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah berlaku, Rabu (27/11/2024). Foto: AFP
Sementara Hizbullah menyebut perjanjian gencatan senjata sebagai kemenangan, banyak warga Lebanon yang skeptis.
“Kemenangan dari Tuhan Yang Maha Esa adalah sekutu dari tujuan yang benar,” ujar pernyataan resmi Hizbullah.
Namun, bagi sebagian warga, perang ini hanya menambah penderitaan negara yang sudah berada di ambang kehancuran ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Mereka (Hizbullah) menyeret negara ini ke perang atas nama Iran. Kami kehilangan segalanya dan sekarang mereka menyebut ini kemenangan?” kata pemuda dari Bekaa kepada AFP.
Warga yang mengungsi dari desa perbatasan selatan Lebanon, Shebaa, membersihkan puing-puing di jalan sekembalinya mereka setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah berlaku, Rabu (27/11/2024). Foto: AFP
Di Sidon, Zeina Khodr dari Al Jazeera menggambarkan suasana penuh harapan tetapi tetap waspada.
“Ada rasa lega, tetapi ini masih gencatan senjata yang sangat rapuh. Banyak yang takut ini hanya jeda sementara sebelum konflik kembali meletus,” lapornya.
Di tengah situasi ini, Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati mencoba menebarkan optimisme.
“Ini adalah babak baru dari salah satu fase paling menyakitkan dalam sejarah modern Lebanon,” katanya, merujuk pada lebih dari tiga ribu korban jiwa yang sebagian besar adalah warga sipil.
Seorang wanita berdiri di samping bangunan yang hancur saat para pengungsi kembali ke rumah mereka setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah diberlakukan di selatan Lebanon di kota Qana, Lebanon, Rabu (27/11/2024). Foto: Anwar Amro/AFP
Warga seperti Fatima Hanifa pun tetap teguh meski telah kehilangan segalanya.
ADVERTISEMENT
“Kami tidak peduli dengan puing-puing atau kehancuran. Kami kehilangan mata pencaharian, tetapi kami akan bangkit lagi. Kami pernah melakukannya setelah perang 2006, dan kami akan melakukannya lagi sekarang,” ujarnya penuh keyakinan.
ADVERTISEMENT

Duka di Dua Sisi Perbatasan

Warga yang mengungsi dari desa perbatasan selatan Lebanon, Shebaa, memeriksa kerusakan sekembalinya mereka setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah berlaku, Rabu (27/11/2024). Foto: Anwar Amro/AFP
Di Israel, suasana masih diliputi kecemasan.
Banyak warga yang tinggal di sepanjang perbatasan utara belum berani kembali.
“Kami senang ada gencatan senjata karena terasa lebih aman, anak-anak kami bisa kembali ke sekolah,” kata Yuri, seorang warga Kibbutz Yiron.
“Namun, Hizbullah masih di sana. Kami tidak tahu kapan ini benar-benar berakhir,” sambungnya
Konflik telah merusak kehidupan di kedua sisi perbatasan.
Gencatan senjata ini menjadi secercah harapan bagi lebih dari 900 ribu orang yang mengungsi di Lebanon dan 60 ribu warga Israel yang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
ADVERTISEMENT