Dukungan KPI untuk Gugatan RCTI dan iNews ke UU Penyiaran

1 September 2020 8:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KPI terima petisi tolak awasi Netflix, yang ditandatangani 75 ribu orang, Rabu (14/8). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
KPI terima petisi tolak awasi Netflix, yang ditandatangani 75 ribu orang, Rabu (14/8). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
RCTI dan iNews menggugat UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu meminta agar layanan Over the Top (OTT) seperti Netflix dan YouTube diatur dalam UU Penyiaran.
ADVERTISEMENT
Alasannya karena perlakuan antara layanan OTT dengan penyelenggara penyiaran konvensional berbeda, termasuk dalam syarat aktivitas penyiaran.
Salah satu dampak apabila permohonan itu diterima adalah maka siapa pun pihak yang live di media sosial Instagram, Facebook, hingga YouTube harus mengantongi izin Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Para content creator maupun lembaga yang memiliki konten di platform tersebut juga harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran.
Rupanya, langkah dua stasiun swasta itu mendapatkan dukungan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menilai gugatan tersebut berupaya menjaga kepentingan publik mendapat konten yang berkualitas.
"Sekaligus mendorong industri kreatif dalam memproduksi konten sesuai norma yang berlaku di masyarakat," ucap Yuliandre.
Ketua KPI Yuliandre Darwis (kanan) menghadiri Diskusi FMB 9 dengan tema 'Pers di pusaran Demokrasi'. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Menurut Yuliandre, gugatan tersebut akan menghadirkan kesetaraan perlakukan terhadap TV konvensional maupun platform media baru yang merupakan layanan Over The Top (OTT).
ADVERTISEMENT
"Kesetaraan (untuk) media baru berarti apa? Dukung kan. Cuma KPI enggak mau terjebak isu seolah-olah KPI mendesain. KPI kan pelaksana mandat, tunggu putusan (MK). Nanti kalau kita terlalu ini kan nanti KPI dibilang rekayasa, menyuruh RCTI-iNews (menggugat)" ujar Andre.
Yuliandre mengatakan, jika gugatan itu dikabulkan, pihaknya siap untuk melakukan pengawasan seperti yang dilakukan terhadap lembaga penyiaran lainnya. Namun, ia menerangkan pengawasan yang dilakukan oleh KPI yakni memberikan pedoman terhadap entitas OTT agar mematuhi norma penyiaran di Indonesia. Dan bukanlah mengontrol setiap konten yang dihasilkan.
"Ini kayak kode etik. Mana ada KPI kontrol substansi, KPI itu kasih guidance (seperti) tolong jangan ada (adegan) seks dll," ucapnya.
Ilustrasi YouTube. Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Yuliandre membantah jika pengawasan akan membatasi kreativitas para content creator. Justru, pengawasan akan melindungi content creator dari jerat pidana UU ITE seperti yang selama ini terjadi.
ADVERTISEMENT
Hal itu bisa dilakukan KPI dengan memberi peringatan kepada content creator jika ada isi konten yang melanggar. Ia menyebut perlindungan ini layaknya wartawan yang dilindungi Dewan Pers apabila produk jurnalistik yang dihasilkan bermasalah.
"Salah besar (kalau dianggap mengekang content creator). Jangan seolah ketika ini (gugatan-red) disetujui jadi masuk kandang macan. (Justru) ini malah jadi kebun binatang yang indah. Kami lindungi mereka dari UU ITE. (Karena) takutnya ketika bertumbuh ada yang enggak suka diadukan, akhirnya tersumbat karena masuk pidana UU ITE," kata Yuliandre.

Gugatan RCTI-iNews Tidak Sasar Content Creator

Direktur Legal MNC Media, Chris Taufik, menyatakan gugatan yang mereka ajukan bukan menyasar content creator, melainkan entitas korporasi seperti YouTube, Instagram, Facebook, Netflix, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
"Jadi permohonan kita kalau dibaca benar-benar yang kita omongin OTT atau Over the Top. OTT itu korporasi yang menyalurkan konten lewat internet," ujar Taufik.
Ilustrasi menonton televisi. Foto: Dok. Freepik
Dia menyatakan, baik RCTI atau iNews hanya menginginkan entitas OTT termasuk dalam lembaga penyiaran layaknya TV sesuai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran. Sehingga apabila termasuk lembaga penyiaran, OTT harus mematuhi aturan dalam penyiaran seperti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
"Orang kalau dirikan PT di Indonesia ada aturannya. Sekarang kalau YouTube mendirikan PT di Indonesia aturannya kan enggak ada, itulah yang mesti diatur," tutur Taufik.
Tidak hanya itu, keuntungan lain apabila OTT termasuk dalam bidang penyiaran yakni masyarakat dapat mengadukan konten yang tak sesuai isinya ke Komisi Penyiaran Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Untungnya buat masyarakat punya saluran. Contoh TV kalau ada yang enggak suka dengan siaran kita masyarakat bisa mengadu ke KPI. Tapi kalau di OTT masyarakat mengadu ke mana? ke polisi dipidana atau blokir," pungkasnya.
=====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona