Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dulu Bantah, Kini Akui: Sikap Dekan FK Undip soal Bullying PPDS
14 September 2024 12:01 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Universitas Diponegoro (Undip) dan RSUP Dr Kariadi akhirnya mengakui adanya perundungan atau bully oleh senior ke junior dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
ADVERTISEMENT
Kasus bully ini menjadi ramai setelah dokter Aulia Risma Lestari diduga bunuh diri di kosannya pada Senin (12/8) karena tak kuat di-bully seniornya.
Aulia merupakan dokter RSUD Kardinah Tegal yang merupakan peserta Program Studi Anestesi PPDS FK undip.
Banyak lika-liku perjalanan dalam mengungkap kasus ini. Dekan FK Undip, dr Yan Wisnu Prajoko, pun berubah sikap dari membantah hingga kini mengakui. Bagaimana perjalanannya?
Ditangguhkan Praktik Klinisnya di RSUP Dr Kariadi
Yan Wisnu dilantik menjadi Dekan FK Undip periode 2024-2029 pada 15 Januari 2024. Dia adalah dokter spesialis onkologi yang mengobati pasien kanker.
Dengan munculnya kasus Aulia ini, Kemenkes memberhentikan sementara atau menangguhkan praktik klinis Yan Wisnu di RSUP Dr Kariadi Semarang untuk proses penyelidikan.
ADVERTISEMENT
"Aktivitas klinis Saudara sementara diberhentikan untuk menghindari konflik kepentingan," begitu bunyi surat pemberhentian sementara Yan Wisnu yang diteken Direktur Utama RSUP Dr Kariadi, Agus Akhmadi.
Dibela mahasiswa, dosen, alumni FK Undip
Mahasiswa, profesor, dosen-dosen, hingga alumni FK Undip berbondong-bondong menggelar aksi solidaritas terhadap Yan Wisnu di Lapangan Basket FK Undip, Jalan Prof Soedarto, Tembalang, Selasa (2/9).
Mereka kompak mengenakan baju berwarna hitam dengan pita senada. Mereka juga membawa kertas bertuliskan "We Stand With dr Yan Wisnu".
Klaim Tidak ada laporan pembullyan/pemalakan
Kemenkes pun melakukan investigasi terkait pembullyan di lingkungan kedokteran. Hasilnya, almarhumah dokter Aulia kerap dipalak oleh seniornya.
Pihak Undip juga melakukan investigasi terkait temuan pemalakan tersebut. Namun, Yan Wisnu saat itu bilang belum ada laporan terkait adanya pemalakan terhadap korban atau terhadap mahasiswa PPDS lainnya.
ADVERTISEMENT
"Kami harus melihat lebih lanjut, tapi kalau laporan yang masuk ke kami, pemalakan itu kok sepertinya tidak," kata Yan Wisnu.
Pihaknya membuka diri bila pihak lain seperti kepolisian untuk ikut menginvestigasi kasus kematian dr Aulia.
Akui ada pembullyan dan minta maaf
Hingga pada Jumat (13/9), Undip dan RSUP Dr Kariadi mengakui adanya perundungan atau pembullyan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
"Kami menyadari sepenuhnya, kami menyampaikan, dan kami mengakui bahwa di dalam sistem pendidikan dokter spesialis di internal kami terjadi praktik-praktik atau kasus-kasus perundungan dalam berbagai bentuk, dalam berbagai derajat, dalam berbagai hal," ujar Dekan FK Undip, Yan Wisnu Prajoko, di Aula FK Undip, Semarang, Jumat (13/9).
Yan kemudian meminta maaf kepada masyarakat, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dikbudristek, dan kepada Komisi IX juga X DPR RI atas adanya hal tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kami memohon maaf bila masih ada kekurangan kami dalam kami menjalankan proses pendidikan khususnya kedokteran spesialis ini," ucap Yan Wisnu.
Yan Wisnu yang didampingi Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago, juga meminta arahan kepada berbagai pihak agar mereka bisa melakukan pembenahan. Selain itu, dia berharap pemerintah bisa memberikan izin agar Undip bisa melanjutkan pendidikan dokter spesialis.
Akui iuran Rp 20-40 juta
Selain itu, Yan juga mengakui adanya bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Prodi Anestesi berupa iuran Rp 20 hingga Rp 40 juta. Pungutan itu dibebankan kepada mahasiswa baru (maba) PPDS selama 1 semester atau 6 bulan.
Yan Wisnu mengatakan, bullying berupa pungutan itu terjadi karena kesalahan sistem kerja yang berat. Sehingga ada pungutan uang dari junior untuk kebutuhan mereka dan senior selama menjalani PPDS di RSUP dr. Kariadi.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau di Anestesi, di semester 1 mereka per bulan satu orang Rp 20-40 juta untuk 6 bulan pertama. Untuk gotong-royong konsumsi, tapi nanti ketika semester 2, nanti gantian yang semester 1. Terus begitu, jadi semester 2 tidak itu lagi," ujarnya.
Tak hanya untuk makan, uang iuran yang berasal dari 7 hingga 11 mahasiswa semester 1 itu digunakan untuk membayar operasional yang lain. Mulai dari menyewa mobil hingga membayar kos.
"Jadi mereka memenuhi kebutuhan manusiawi mereka cukup besar. Kalau di sini untuk operasional, mereka sewa mobil, menyewa kos dekat rumah sakit terkait dengan operasional. Anestesi antara 7-11 mahasiswa per semester, mereka menyampaikan ke tim investigasi, temuan yang signifikan itu," jelas dia.
ADVERTISEMENT