Eddy Hiariej: Saya Bingung, Nepotisme Itu Pidana atau Perdata?

4 April 2024 14:03 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar UGM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej memberikan keterangan sebagai ahli pihak Prabowo-Gibran saat sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar UGM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej memberikan keterangan sebagai ahli pihak Prabowo-Gibran saat sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Guru Besar UGM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej merasa bingung dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait nepotisme. Hal itu diungkapkannya saat hadir sebagai Ahli dari Pihak Terkait, Prabowo-Gibran dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
“Terkait dengan nepotisme konteks Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 sebetulnya saya bingung juga membaca undang-undang ini. Mengapa saya bingung? Saya sendiri bertanya nepotisme ini perbuatan pidana atau perbuatan perdata,” kata Eddy di sidang MK, Jakarta, Kamis (4/4).
Eddy menjelaskan, dalam pasal 20 ayat 2 menjelaskan bahwa apabila penyelenggara negara melakukan KKN maka akan disanksi pidana atau perdata. Sementara, di Pasal 22 dijelaskan pelanggaran itu dijerat hukuman pidana.
“Tiba-tiba Di pasal 22 dikatakan Nepotisme diancam pidana minimum 2 tahun maksimum 12 tahun,” ujarnya.
Wamenkumham Eddy Hiariej berjalan keluar usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (4/12/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Eddy lantas balik bertanya terkait dengan dalil permohonan Pemohon 2 yang memasukkan dalil terjadinya nepotisme Presiden pada penyelenggaraan Pemilu 2024 ini.
“Ketika didalilkan oleh kuasa hukum Paslon 03 harus melakukan res-finding terhadap nepotisme sebagai bagian dari TSM maka harus di balik bertanya, nepotisme ini barang apa?” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sengketa Pilpres 2024 diajukan oleh AMIN dan juga Ganjar-Mahfud. Mempersoalkan soal hasil KPU terkait dengan permasalahan Gibran.
Nepotisme menjadi salah satu hal yang disoroti dalam gugatan ini. Mulai dari Putusan 90 MK yang diketuai Anwar Usman, Ketua MK sekaligus paman Gibran. Hingga dugaan keterlibatan Presiden Jokowi memenangkan anak sulungnya dalam Pilpres 2024.
Anies dan Ganjar meminta MK tidak hanya menangani sengketa selisih suara. Melainkan juga perihal kecurangan TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).
Sidang gugatan Pilpres 2024 digelar selama 14 hari kerja. Putusan akan disampaikan pada 22 April 2024.
Menurut Eddy Hiariej, waktu 14 hari tidak adil untuk membuktikan berbagai dalil. Ia mengatakan, sengketa di MK ini hanya terfokus pada perselisihan perhitungan suara.
ADVERTISEMENT
“Peradilan yang begitu singkat hanya 14 hari kerja karena memang merujuk pada perhitungan hasil suara, tidak yang lain,” kata Eddy.
Eddy menilai bahwa jika semua dalil pemohon turut diadili oleh Majelis MK, maka itu tidak akan adil karena waktu dan ketentuan peradilan MK yang hanya memberikan waktu 14 hari.
“Kalau harus memasukkan segala sesuatunya bisa juga diadili oleh Mahkamah Konstitusi, maka saya kira waktu 14 hari tidak fair untuk membuktikan berbagai dalil. Jadi itu sudah sebagai satu kesatuan,” ungkapnya.