Eijkman Bicara Tren COVID-19: Varian N439K Makin Banyak; Khawatir Varian Afsel

24 Maret 2021 9:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
ADVERTISEMENT
Indonesia kini tengah mewaspadai varian baru virus corona yang sudah masuk ke Tanah Air. Ada varian corona Inggris B.1.1.7 dan N439K asal Skotlandia.
ADVERTISEMENT
Mutasi varian corona N439K asal Skotlandia telah ditemukan di Indonesia sejak November 2020. Sementara varian B.1.1.7 pertama kali diumumkan pada 2 Maret 2021, dan masuk lewat dua warga Karawang yang merupakan pekerja migran di Arab Saudi.
Sejauh ini, penanganan munculnya varian baru ini terus diantisipasi pemerintah. Salah satunya dengan memperketat pintu masuk kedatangan internasional, serta menggencarkan whole genome sequencing (WGS) untuk mendeteksi mutasi-mutasi virus corona yang bertebaran di Indonesia.

Sudah Ada 141 Kasus N439K

Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio. Foto: Youtube/@DPMPTSP DKI Jakarta
Untuk varian corona N439K diketahui kini sudah terdeteksi pada 141 orang. Angka ini didapatkan dari hasil kajian WGS dari sekitar 700-800 isolat yang diteliti.
"N369K di Indonesia sejak November, sekarang kalau saya lihat itu ada sekitar 141 kasus terakhir, ya. Kalo N369K itu memang cenderung bertambah sih, tapi kan itu belum jadi sorotan," jelas Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, Selasa (23/3).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, diakui Amin jumlah ini masih sangat sedikit. Pihaknya pun menargetkan pemeriksaan sekuens bisa diperbanyak hingga 5-10 ribu lagi.
"Itu kan baru sebagian kecil yang harusnya dideteksi di Indonesia. Jadi kalau kita perhatikan yang PCR-nya positif itu kan cukup banyak, tapi yang disekuens baru 800. Target kita tahun ini, kita bisa melakukan sekuens antara 5-10 ribu WGS lagi," tutur Amin.

Eijkman Akan Uji Efektivitas Vaksin Sinovac-AstraZeneca

Ilustrasi vaksin corona AstraZeneca. Foto: Yves Herman/REUTERS
Dari dua vaksin corona yang dimiliki Indonesia, Sinovac dan AstraZeneca, belum ada uji efektivitas terhadap mutasi virus B.1.1.7 maupun N439K.
"Belum ada secara khusus. Kita belum coba menguji langsung, misalnya antibodi yang sembuh atau pascavaksinasi dari varian tersebut. Kalau di luar negeri memang pernah melakukan hal itu, di perusahaan pembuat vaksin," jelas Amin.
ADVERTISEMENT
Menurut Amin, uji efektivitas vaksin Sinovac dan AstraZeneca belum bisa karena isolatnya terlalu sedikit. Tetapi, jika kasus positif corona dari kedua varian baru itu bertambah dalam beberapa waktu ke depan, besar kemungkinan Eijkman akan melakukan pengujian lebih dalam dengan vaksin COVID-19 yang sudah ada.
"Tidak tertutup kemungkinan kita menguji efisiensi atau efektivitas vaksin-vaksin itu terhadap varian baru. Intinya kan menguji antibodi yang sudah dibentuk pascavaksinasi itu terhadap virus-virus baru," ujar dia.

Paling Khawatirkan Varian Corona Afrika Selatan

Penampakan varian Corona B117 dari mikroskop elektron. Foto: NIAID
Namun, selain dua varian baru di atas, Prof Amin rupanya lebih mengkhawatirkan varian Afrika Selatan B.1.351. Menurutnya, varian ini harus lebih diwaspadai karena dinilai lebih berbahaya.
"Yang paling dikhawatirkan sebenarnya yang (varian baru) Afrika Selatan. Beberapa perusahaan vaksin mengamati ada penurunan sekitar 10 persen dari efektivitasnya (terhadap varian Afrika Selatan). Tapi penurunan itu belum sampai di bawah 50 persen, jadi misalnya dari 70 ke 60 persen," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Meski efektivitas vaksin terhadap varian corona Afrika Selatan belum turun signifikan, ia menilai varian ini harus terus dicermati. Apalagi, Indonesia masih jauh dalam memenuhi target vaksinasi untuk mencapai herd immunity.
"Setiap hari kita cermati apakah ada varian-varian itu masuk ke Indonesia atau muncul varian baru. Kecurigaan itu baru timbul jika kita mengamati bagaimana kecurigaan bisa timbul kalau tidak ada datanya," pungkasnya.