Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Eks Direktur Sarana Jaya Didakwa Korupsi Lahan Rorotan, Rugikan Negara Rp 224 M
12 Februari 2025 19:26 WIB
·
waktu baca 5 menit![Sidang dakwaan kasus korupsi pengadaan lahan Rorotan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (12/2/2025). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkx1jwk69tgntvh2kx8r88hq.jpg)
ADVERTISEMENT
Mantan Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Indra Sukmono Arharrys, didakwa melakukan korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara. Perbuatannya disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 224 miliar.
ADVERTISEMENT
Indra didakwa bersama bersama beberapa orang, yakni:
"Merugikan keuangan negara sebesar Rp 224.696.340.127 sebagaimana Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Tanah di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara," kata jaksa penuntut umum membacakan dakwaan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/2).
Seperti apa perbuatannya?
Perkara ini bermula pada Desember 2018. Ketika itu Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ), Yoory Corneles Pinontoan (didakwa secara terpisah) dipanggil oleh Sekda DKI saat itu, Saefullah.
Dalam pertemuan itu, Saefullah meminta kepada Perumda Pembangunan Sarana Jaya untuk membeli lahan di kawasan Rorotan karena harganya yang masih terbilang murah.
ADVERTISEMENT
Pada Februari 2019, PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (PT NKRE). Tanah tersebut seluas 11,72 hektare dengan harga Rp 950 ribu per meter persegi yang akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE ke PT TEP dengan nilai transaksi total Rp 117 miliar.
PT TEP pun mengirimkan surat kerja sama pengelolaan lahan ini dengan harga penawaran Rp 3,2 juta per meter persegi menggunakan skema kerja sama operasional (KSO) pengelolaan tanah bersama PT TEP dan Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
Tawaran itu kemudian direspons oleh Yoory dengan mengirimkan Surat Kepeminatan atas penawaran tanah tersebut. Ini dilakukannya sekaligus menindaklanjuti permintaan Saefullah.
"Bahwa surat pernyataan minat PPSJ atas penawaran PT TEP maupun Berita Acara Negosiasi tersebut dilakukan Yoory selaku Direktur Utama PPSJ tanpa melalui mekanisme kajian internal," ujar jaksa.
Pada awal Maret 2019, rapat negosiasi harga pun dilakukan antara PT TEP dengan Perumda Pembangunan Sarana Jaya. Saat itu, rapat dihadiri oleh Yoory dan Donald Sihombing.
ADVERTISEMENT
Keduanya lalu bersepakat menentukan besaran harga tanah yang dilakukan KSO yakni sebesar Rp 3 juta per meter persegi.
Kemudian, Yoory dan Donald Sihombing melakukan penandatanganan Perjanjian Pendahuluan tentang Perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP.
Dalam surat perjanjian itu, PT TEP mengaku sebagai pemilik sah dan berhak sepenuhnya atas enam bidang tanah seluas 11,7 hektare. Padahal, pihak PT TEP mengetahui bahwa saat itu keenam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT TEP.
Kemudian, Perumda Pembangunan Sarana Jaya membayar uang muka kepada PT TEP dengan nilai total sebesar Rp 30 miliar atas Perjanjian KSO ini.
ADVERTISEMENT
Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas Perumda Pembangunan Sarana Jaya, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP.
Kondisi itu membuat Yoory kemudian memerintahkan agar transaksi diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
Pada akhir Maret 2019, Yoory dan Donald Sihombing melakukan penandatanganan enam Akta PPJB atas enam bidang tanah Rorotan antara Perumda Pembangunan Sarana Jaya dan PT TEP.
Perumda Pembangunan Sarana Jaya juga membayar uang muka pembelian tanah kepada PT TEP sebesar Rp 150 miliar. Padahal, saat itu PT TEP belum melunasi kewajiban pembayaran tanah kepada PT NKRE.
ADVERTISEMENT
Lalu, sejak April hingga September 2019, Perumda Pembangunan Sarana Jaya telah melakukan beberapa kali pembayaran senilai Rp 201 miliar kepada PT TEP.
Pada 22 Februari 2021, Perumda Pembangunan Sarana Jaya kembali melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan dengan membayar Rp 14 miliar kepada PT TEP.
Dengan demikian, total uang pembayaran yang telah dikeluarkan Perumda Pembangunan Sarana Jaya kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 hektare–11,7 hektare luas awal ditambah 0,6 hektare penambahan luas pascapengukuran ulang–adalah Rp 370 miliar.
Dalam pembelian lahan tersebut, diduga dilakukan secara sepihak oleh Yoory tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif meskipun kondisi lahan berawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.
Kondisi lahan juga disebut tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) untuk program Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, memo internal penyampaian laporan penilaian atas penawaran lokasi Jl. Rorotan-Marunda sebesar 11,7 hektare dibuat bertanggal mundur (backdate) oleh pegawai Perumda Pembangunan Sarana Jaya atas perintah Yoory.
Memo bertanggal 21 Februari 2019 tersebut merupakan memo penyampaian laporan gabungan kajian evaluasi proposal penawaran dan hasil survei fisik, kajian analisa pasar pesaing, dan kajian analisa finansial/hitungan kelayakan, yang ternyata baru dibuat pada 27 Maret 2019 oleh Maulina Wulansari.
Ini dilakukan agar pembelian tanah yang dilakukan Yoory seakan-akan telah berjalan sesuai aturan dan prosedur yang berlaku.
Dari sederet penyimpangan tersebut, Yoory diduga dipengaruhi adanya penerimaan fasilitas dari PT Totalindo Eka Persada.
Yoory diduga menerima valas dalam denominasi SGD sejumlah Rp 3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada. Selain itu, ia juga diketahui mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada.
ADVERTISEMENT
Sementara Donald Sihombing disebut menerima keuntungan hingga Rp 221 miliar.
Atas perbuatannya, Indra, Donald, Saut, dan Eko, didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.