Eks Ketua MK: Revisi UU MK Ancaman Serius, Tamatlah Riwayat RI Negara Hukum

16 Mei 2024 11:46 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Panelis wawancara calon hakim agung Mahkamah Agung (MA) Hamdan Zoelva menguji Calon Hakim Agung Catur Iriantoro pada tahap wawancara terbuka seleksi Calon Hakim Agung dan Calon Hakim Ad Hoc Tipikor pada Mahkamah Agung di Komisi Yudisial (26/4). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Panelis wawancara calon hakim agung Mahkamah Agung (MA) Hamdan Zoelva menguji Calon Hakim Agung Catur Iriantoro pada tahap wawancara terbuka seleksi Calon Hakim Agung dan Calon Hakim Ad Hoc Tipikor pada Mahkamah Agung di Komisi Yudisial (26/4). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ketua MK periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, berkomentar terkait polemik revisi UU MK yang sedang berjalan di DPR. UU ini sudah diketok pemerintah dan Komisi III dan tinggal disahkan dalam paripurna.
ADVERTISEMENT
Hamdan Zoelva mengatakan, revisi UU MK adalah ancaman serius terhadap Indonesia sebagai negara hukum. Independensi peradilan terancam hilang.
"Bagi saya ini adalah ancaman sangat serius terhadap negara hukum. Karena salah satu pondasi pokok negara hukum adalah independensi dari negara peradilan. Kalau lembaga peradilan kehilangan independensinya, maka tamatlah riwayat negara hukum itu," kata Hamdan dalam diskusi online, Kamis (16/5).
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya ssidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Hamdan menjelaskan, konflik antara negara hukum yang demokratis dengan negara berdasarkan kekuasaan, selalu terjadi ketegangan. Bukan saja di Indonesia, tapi juga di banyak negara.
"Dan ancaman terhadap pondasi negara hukum, yaitu independensi negara peradilan itu, pintu masuknya rata-rata memang terkait dengan rekrutmen, masa jabatan hakim, di luar masalah kewenangan," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Laznah Tanfidziyah Sarekat Islam ini mengatakan, poin utama yang jadi masalah dalam revisi UU MK adalah masa jabatan dan pengawasan hakim.
Nantinya, masa jabatan hakim maksimal 10 tahun. Tak hanya itu, setiap 5 tahun para hakim MK akan dievaluasi dengan cara konfirmasi kepada lembaga pengusungnya apakah bisa melanjutkan tugasnya sebagai hakim MK atau tidak.
"Ini akan terjadi ketegangan baru lagi antara perdebatan supremacy konstitusi dan supremacy hukum dengan kekuasaan politik. Saya ingin lihat dari sisi substansinya, itu adalah bentuk yang secara langsung dan yang akan sangat mengganggu independensi dari hakim konstitusi. Ada masa jabatan 10 tahun, itu dibagi dua, untuk dapat lima tahun kedua harus atas persetujuan lembaga pengusul," ucap Hamdan.
ADVERTISEMENT
"Ini menunjukkan bahwa posisi hakim menjadi sangat tergantung pada lembaga pengusul. Ketentuan ini masih lebih bagus dari yang lama. Yang lama itu hanya 5 tahun itu. Kalau lima tahun itu ya sudah selesai, kalau mau ikut diberi kesempatan atau dengan melakukan pendekatan ulang, tapi ini kan dengan persetujuan," tutur dia.
Berkaca dari dua aturan baru itu, artinya berdasarkan UU MK yang lama, hakim MK memiliki kepastian masa jabatan. Sedangkan dalam UU baru, tidak ada kepastian jabatan bagi hakim MK.
"Sehingga sangat besar ruangnya ketentuan soal persetujuan ini akan berdampak pada independensi dari hakim konstitusi itu sendiri. Itu masalah pertama," ucap dia.
Hakim Mahkamah Konstitusi memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

3 Hakim MK Langsung Kena Imbas

Sementara masalah kedua yakni terhadap hakim konstitusi eksisting. Ia menyebut, tiga hakim yang saat ini bertugas akan langsung terdampak yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
ADVERTISEMENT
"Tadi sudah disebutkan bahwa hakim konstitusi yang belum 10 tahun tapi sudah lewat 5 tahun harus minta persetujuan lagi dari lembaga pengusul. Ada tiga hakim yang terdampak itu jika ini disetujui. Dan yang sudah 10 tahun kalau untuk memperpanjang masa jabatannya juga harus atas persetujuan lembaga," kata Hamdan.
Oleh sebab itu, Hamdan menilai revisi UU MK ini jelas-jelas menjadi ancaman terhadap independensi hakim dan juga Indonesia sebagai negara hukum.
"Dari sisi substansi rancangan UU ini benar-benar mengancam independensi MK dan mengancam prinsip-prinsip dasar bagi negara hukum," kata Hamdan.
"Jadi sekarang pasti akan kembali ke MK dan akan terjadi ketegangan baru lagi antara MK dengan lembaga pembentuk UU. Saya kira MK akan kembali diuji dan menjadi ujian berat bagi MK apakah akan konsisten terhadap putusan-putusan sebelumnya, apakah tidak," tutur Hamdan.
ADVERTISEMENT