Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Eks KSAU Agus Supriatna Mangkir Lagi dari KPK, Minta Diperiksa Secara Militer
15 September 2022 20:49 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Eks KSAU Marsekal (Purn) TNI Agus Supriatna kembali mangkir dari panggilan KPK. Seharusnya dia diperiksa terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017 pada Kamis (15/9).
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, Agus Supriatna sudah dua kali tidak memenuhi panggilan KPK. Pemanggilan Agus dalam kasus ini disebut dalam kapasitasnya sebagai saksi.
Kuasa hukum eks KSAU Agus Supriatna, Teguh Samudera, mengatakan, kliennya tidak memenuhi panggilan KPK karena ia menganggap pemanggilannya tak sesuai hukum yang berlaku.
Agus menilai, pemanggilannya itu tidak sesuai mekanisme dan prosedur militer. Ia mengeklaim pemanggilannya dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku bagi prajurit.
"Kami menyerahkan surat sebagai kuasa hukum Marsekal Agus Supriatna karena dipanggil oleh KPK untuk hadir dimintai keterangan sebagai saksi, ternyata ini panggilan yang kedua, padahal saat panggilan pertama kami juga sudah menyampaikan surat bahkan bicara kepada penyidik, ini surat pemanggilannya tidak sesuai dengan prosedur," kata Teguh kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (15/9).
ADVERTISEMENT
Teguh menilai, surat pemanggilan KPK tidak sesuai dengan instruksi Panglima TNI maupun undang-undang yang berlaku untuk militer.
"Tetapi yang kedua juga sama tetap, akhirnya kita kirim surat lagi bahwa klien kami tidak bisa hadir karena pemanggilannya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemanggilannya bertentangan dengan hukum yang berlaku bagi prajurit atau TNI," ungkap Teguh.
Teguh menjelaskan, mestinya KPK memanggil kliennya lewat atasannya. Karena untuk prajurit TNI, memiliki aturan sendiri.
"Jadi harusnya KPK juga menghargai sesama lembaga, sesama institusi harusnya tahu tentang hal-hal seperti itu tidak perlu kita ajari, lah, karena kan surat kemarin sudah kami beritahukan supaya memanggilnya melalui atasannya karena prajurit," jelas Teguh.
Agus berdalih bahwa meskipun ia sudah pensiun, tetapi perkara itu terjadi ketika dirinya masih menjadi prajurit aktif.
ADVERTISEMENT
"Waktu kejadian kan masih aktif. Kenapa kok itu enggak diikuti? Gitu aja kok gak diikutin kenapa sih? Mbok, ya, saling santun, lah, sesama lembaga gitu. TNI ini lho punya harga diri harga martabatnya," kata Teguh.
"Beliau aja dulu mau datang ke sini menjelaskan semuanya. Ini jangan sampai hal-hal seperti ini menjadi sesuatu yang lumrah, yang salah kaprah, padahal enggak bener, kita penegakan hukum harusnya jangan sampai melanggar hukum," imbuh Teguh.
Teguh menegaskan, kliennya pasti akan memberi keterangan, sama seperti pada pemeriksaan tahun 2018 silam. Namun ia meminta dihargai, khususnya martabat lembaganya.
"Pasti akan memberikan keterangannya, dulu saja memberikan keterangannya, enggak ada masalah. Tapi jangan sampai harga diri harkat-martabat lembaga khususnya TNI dilanggar begitu saja, seperti itu saja, kita jaga lah hubungan keharmonisan antar lembaga," pungkas Teguh.
Respons KPK: Sudah Bukan Perwira, Diperiksa Sebagai Warga Sipil
ADVERTISEMENT
Sementara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, Agus sudah pensiun sebagai militer. Oleh karena itu, dia harus diperiksa sebagai warga sipil pada umumnya.
"Pada saat melakukan perbuatan mungkin jabatannya KSAU, mungkin diliputi prosedur militer, tetapi saat ini yang bersangkutan bukan lagi sebagai militer," kata Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Kamis (15/9).
Karena sudah tidak diliputi dengan jabatan militer, Agus diperiksa sebagai warga sipil pada umumnya.
"Maka KPK pun melakukan proses penyelidikan dan penegakan hukumnya menggunakan prosedur sipil," kata Ghufron.
Sedangkan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto menyebut, pemanggilan eks KSAU tidak ada masalah.
Ia menegaskan, sebagai penanggung jawab bidang penindakan, dirinya akan berkoordinasi secepat dengan yang bersangkutan untuk mencari solusi.
ADVERTISEMENT
"Intinya, kalau memang nanti segera mungkin bisa diambil keterangan, sudah selesai. Bagi saya tidak adalah konflik sana, konflik sini enggak perlu itu," kata Karyoto.
"Yang penting nanti koordinasi maunya apa kita cari jalan tengah," pungkasnya.
Kasus Heli AW-101
Kasus ini berawal ketika TNI AU hendak membeli satu helikopter AW-101 pada 2015. Saat itu sudah terjalin penawaran antara Irfan Kurnia selaku PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dengan Saleh dengan Fachri Adamy selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Irfan merupakan tersangka dalam kasus tersebut.
Namun, pembelian ini sempat diminta untuk ditunda oleh Presiden Jokowi dengan alasan perekonomian negara.
Penawaran berlanjut pada 2016. Saat itu, Irfan kembali menawarkan pengadaan Heli AW-101 kepada Fachri selaku PPK.
ADVERTISEMENT
Namun, harga Heli AW 101 yang ditawarkan oleh Irfan nilainya jauh di atas harga pasaran sehingga diduga menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar. Irfan pun dijerat sebagai tersangka oleh KPK.
Atas perbuatannya, Irfan dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia pun sudah ditahan penyidik.
Adapun pengusutan kasus ini merupakan perkara koneksitas KPK dengan TNI. Pihak Puspom TNI telah menetapkan 5 orang tersangka dalam kasus tersebut. Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya FA, dan pejabat pemegang kas Letkol (Adm) WW.
ADVERTISEMENT
Kemudian staf pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni pembantu Letda SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda SB.
Belakangan, KPK menyebut pihak Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI telah menghentikan penyidikan terkait dengan dugaan korupsi pembelian Heli AW-101 ini. Namun, penyidikan KPK masih berjalan. Irfan Kurnia Saleh kini sudah ditahan penyidik KPK.
KPK menyebut pengadaan helikopter tersebut diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738,9 miliar atau sekitar 30 persen.
KPK juga telah memblokir rekening bank milik PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) senilai Rp 139,4 miliar, diduga karena masih terkait dalam kasus tersebut.