Eks Presiden ACT Dituntut 4 Tahun Penjara Terkait Penggelapan Dana Rp 117 Miliar

27 Desember 2022 18:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
Pembacaan tuntutan eks presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin didakwa bersama-sama Presiden ACT Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain selaku Senior Vice President & Anggota Dewan Presidium ACT di PN Jaksel. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pembacaan tuntutan eks presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin didakwa bersama-sama Presiden ACT Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain selaku Senior Vice President & Anggota Dewan Presidium ACT di PN Jaksel. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut 4 tahun penjara terhadap eks Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin. Ia dinilai terbukti menggelapkan dana korban Lion Air.
ADVERTISEMENT
Dana tersebut seharusnya diberikan oleh The Boeing Company untuk para korban peristiwa jatuhnya Lion Air di JT-610 pada 29 Oktober 2018. Nilainya hingga Rp 117 miliar.
"Menuntut supaya majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan menyatakan terdakwa Ahyudin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan menyuruh melakukan perbuatan penggelapan dalam jabatan," ujar jaksa saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/12).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ahyudin dengan pidana selama 4 tahun penjara," sambungnya.
Pembacaan tuntutan eks presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin didakwa bersama-sama Presiden ACT Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain selaku Senior Vice President & Anggota Dewan Presidium ACT di PN Jaksel. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Selain menuntut Ahyudin, JPU juga turut membacakan tuntutan bagi mantan Presiden ACT Ibnu Khajar, serta Hariyana Hermain selaku Senior Vice President & Anggota Dewan Presidium ACT. Serupa dengan Ahyudin, baik Ibnu maupun Hariyana juga dituntut jaksa dengan hukuman 4 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal yang menjadi poin memberatkan tuntutan ialah perbuatan mereka menimbulkan keresahan yang luas bagi masyarakat, menimbulkan kerugian bagi masyarakat khususnya bagi ahli waris korban dan penerima manfaat dari dana sosial BCIF, serta mereka dinilai terbukti telah menikmati hasil tindak pidana.
"Hal-hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa berlaku sopan dan kooperatif di persidangan," kata jaksa.
Sidang dugaan penyalahgunaan dana sosial oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan terdakwa eks President ACT, Ahyudin, di Penjara Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11). Foto: Hedi/kumparan
Perbuatan penggelapan dana tersebut dilakukan Ahyudin dkk melalui Yayasan ACT. Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa sebelumnya, disebutkan bahwa ACT didirikan pada 2005 oleh Ahyuddin dkk.
ACT merupakan yayasan sosial kemanusiaan yang bergerak membantu korban bencana alam, korban konflik sosial, fakir miskin baik di perkotaan dan perdesaan, kaum lansia dan disabilitas, membantu guru honorer dan kegiatan sosial lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada 2021, Ahyudin membentuk Global Islamic Philanthrophy (GIP) yang kemudian menaungi sejumlah yayasan, termasuk ACT.
Pada 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air JT-610 jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Akibatnya 189 orang penumpang dan kru meninggal dunia. Atas kejadian itu, The Boeing Company menyediakan USD 25 juta sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial kepada ahli waris korban kecelakaan.
Selain itu, Boeing juga memberikan dana sebesar USD 25 juta sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropi kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan, di mana dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, akan tetapi diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
ADVERTISEMENT
Boeing mendelegasikan kewenangan BCIF kepada Mr. Feinberg dan Ms. Biros untuk menentukan program individual, proyek atau badan amal yang akan didanai dengan uang yang diberikan Boeing dan untuk mengawasi penggunaan dana tersebut agar digunakan dengan benar.
Boeing telah menentukan sejumlah persyaratan mendasar yang harus dipenuhi oleh para penerima dana, termasuk kondisi di mana uang tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi setiap individu.
Administrator bekerja bersama-sama dengan para keluarga untuk memilih program-program individual, proyek atau kegiatan amal yang akan didanai merujuk pada lampiran Protokol BCIF tertanggal 20 April 2020.
Sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris mendapatkan santunan dari Boeing masing-masing sebesar USD 144.320 atau senilai Rp 2 miliar (kurs Rp 14.000) di mana santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris sendiri.
ADVERTISEMENT
Belakangan, ACT secara aktif menghubungi keluarga korban. Lalu menyatakan bahwa ACT ditunjuk oleh Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana BCIF.
ACT meminta keluarga korban merekomendasikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kepada pihak Perusahaan Boeing. Keluarga korban diminta pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen/formulir pengajuan.
Dokumen tersebut kemudian harus dikirim ke Boeing agar dana BCIF dapat dicairkan oleh ACT. Pada akhirnya, dokumen dikirimkan, berisi penjelasan bahwa dana BCIF yang diminta untuk dikelola ACT sebesar USD 144.500.
ACT pun menghubungi keluarga korban untuk merekomendasikan penggunaan dana BCIF untuk pembangunan fasilitas sosial. Sebanyak 68 ahli waris korban merekomendasikan kepada ACT pembangunan sarana pendidikan.
Atas proposal ACT, Boeing menyetujuinya pada 25 Januari 2021. Boeing kemudian mendapat dana Rp 138.546.388.500. Dana kemudian dipecah dalam 4 rekening milik ACT.
ADVERTISEMENT
Namun realisasi pembangunan fasilitas sosial itu tidak sebesar dana yang diterima. Berdasarkan Laporan Akuntan Independen pada 8 Agustus 2022, ditemukan bahwa dana yang digunakan untuk realisasi hanya Rp 20.563.857.503. Dari total Rp 138.546.388.500 dana dari Boeing.
Perbuatan Ahyudin dkk diatur dan diancam dalam Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.