Misi Suci di Batas Negeri

Ekspor Pasir Laut, Bukti Inkonsistensi Visi Maritim RI (2)

5 Juni 2023 17:33 WIB
·
waktu baca 8 menit
Mengatur pemanfaatan pasir laut agar tak merusak lingkungan. Itulah tujuan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut—yang di dalamnya memungkinkan pasir laut diekspor selama kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Namun, tujuan “melindungi lingkungan” tersebut rupanya tak dipercaya banyak kalangan karena pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa ekspor pasir laut lebih banyak membawa kemudaratan ketimbang kemaslahatan.
Itulah sebabnya pemerintah RI melarang ekspor pasir laut 20 tahun lalu. Akan tetapi, pemerintah Jokowi saat ini yakin betul bahwa pengerukan pasir laut tak bakal lagi merusak lingkungan.
“Sekarang ada GPS dan segala macam [teknologi]. Kami pastikan tidak [merusak lingkungan]. Pasir laut [dikeruk] juga untuk pendalaman alur [pelayaran]. Kalau tidak, alur kita akan makin dangkal. Ini untuk kesehatan laut juga,” kata Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Selasa (30/5).
Ucapan tersebut dikritik keras oleh pegiat lingkungan, termasuk Dr. Suhana, dosen sumber daya kelautan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta yang juga Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara—komunitas yang bergerak di bidang konservasi ekosistem laut.
“Untuk menyehatkan laut bagaimana? PP 26/2023 justru bertentangan dengan parameter kesehatan laut,” kata Suhana, Minggu (4/6).
Kapal perintis menuju Pelabuhan Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA
Ada 10 indikator yang dapat menentukan indeks kesehatan laut, yakni: 1) Laut sebagai sumber pangan; 2) Laut sebagai wahana bekerja bagi nelayan; 3) Laut sebagai sumber alam; 4) Laut sebagai penyimpan karbon; 5) Laut sebagai pelindung pesisir; 6) Laut sebagai sumber mata pencarian; 7) Laut sebagai tempat wisata dan rekreasi; 8) Laut sebagai lokasi perlindungan spesies; 9) Laut sebagai perairan yang bersih; 10) Laut sebagai sumber keanekaragaman hayati.
Sepuluh indikator tersebut, tegas Suhana, tidak akan terpenuhi oleh laut yang pasirnya dikeruk. Imbas yang didapat Indonesia bukanlah laut yang sehat, melainkan laut yang rusak.
“[Pengerukan pasir laut] artinya mengganggu area tangkap ikan nelayan tradisional. Budi daya laut akan hilang karena laut keruh. Fungsi laut sebagai carbon storage hilang; sebagai tempat rekreasi juga hilang. Ekosistem rusak, pesisir abrasi,” ujar Suhana.
Abrasi terjadi karena area pasir yang dikeruk setelah beberapa lama akan membentuk kubangan. Selanjutnya, kubangan itu memicu pergerakan pasir pantai di zona lain ke sana sehingga terjadilah erosi pantai (abrasi).
Abrasi/erosi pantai adalah dampak tak terelakkan dari pengerukan pasir laut. (Ilustrasi: kumparan)
Semua imbas negatif tersebut bertentangan dengan konsep blue economy (pembangunan ekonomi berkelanjutan di sektor kelautan) yang dicanangkan pemerintah RI pada 2021.
Blue economy yang digembar-gemborkan pemerintah itu bertentangan dengan PP 26/2023. Ini paradoks. Di satu sisi pemerintah mewacanakan blue economy, tapi di sisi lain membuat kebijakan yang mengancurkannya,” ujar Suhana.
Padahal, salah satu pilar utama yang dicanangkan Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia ialah “Berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.”
Alhasil, dampak dari PP 26/2023 akan sangat kontradiktif dengan visi maritim pemerintah Indonesia.
Daratan Singapura dari perairan Kepulauan Riau. Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA

Negeri Singa, Tujuan Ekspor Pasir Laut RI

Pemerintah RI tampak tidak menyembunyikan niatnya untuk mengekspor pasir laut. Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Negara pada 29 Mei pun menyampaikan bahwa pasir laut dari wilayah-wilayah RI di Selat Malaka dapat diekspor ke Singapura.
Menurutnya, selama ini pun pasir laut—meski dilarang diekspor—tetap diambil untuk dibawa ke Singapura secara ilegal. Oleh sebab itu, PP 26/2023 dipandang perlu untuk menertibkan ekspor ilegal tersebut.
Namun dua hari kemudian, 1 Juni, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan bahwa PP 26/2003 diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan reklamasi di dalam negeri.
“Kalau ada sisa untuk dibawa ke luar negeri, silakan saja kalau Tim Kajian mengatakan boleh,” ujar Trenggono.
Tim Kajian itu akan beranggotakan akademisi dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Mereka nantinya bakal menentukan lokasi mana saja yang bisa diambil pasir lautnya, berapa volume pasir yang dapat diambil, dan cara apa yang diperbolehkan untuk mengambilnya.
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Singapura memang selalu menjadi tujuan utama ekspor pasir laut RI. Negeri Singa itu hanya memiliki area terbatas sehingga terus melakukan reklamasi secara bertahap untuk membangun infrastruktur vitalnya.
Sebelum ekspor pasir laut dilarang di era pemerintahan Megawati pada 2002 pun, Indonesia rutin mengekspor pasir ke Singapura. Tak tanggung-tanggung, pasir di Kepulauan Riau dikeruk selama 26 tahun sampai dua pulau di sana—Pulau Nipah dan Sebatik—nyaris tenggelam. Hingga kini, ekosistem laut yang terdampak pun tak dapat pulih sepenuhnya.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, pasir laut di Kepulauan Riau menjadi incaran karena kualitasnya.
“Kepri itu pertemuan tiga arus, jadi pasirnya terseleksi secara alamiah—material asalnya baik, tersedimentasi dengan baik. Jadi pasir Kepri kalau dikeruk itu tidak tergerus, hanya hilang 4%. Sementara pasir dari negara lain kalau terkena arus akan terbuang 30–40%,” jelasnya.
Jadi, sambungnya, “Jauh lebih ekonomis dan efisien beli pasir laut dari Indonesia. Materialnya padat dan lengket, benar-benar pasir laut terbaik.”
Reklamasi di lepas pantai barat Singapura. Foto: AFP/Roslan Rahman
Ahli pelayaran dan dosen teknik perkapalan ITS Raja Oloan Saut Gurning menduga bahwa ekspor pasir laut RI ke Singapura—bila benar-benar dilakukan—akan bertambat di megaproyek Pelabuhan Tuas yang tengah dibangun bertahap.
Tuas—yang kini memiliki daya tampung sekitar 32 juta TEUs (sebutan untuk kapasitas terminal peti kemas)—dirancang menjadi terminal peti kemas otomatis terbesar di dunia. Pelabuhan ini akan sepenuhnya menggunakan sistem digital dan kecerdasan buatan.
Pada 2040, fase terakhir pembangunan Tuas diharapkan tuntas dengan daya tampung 65 juta TEUs. Hal itu akan mengokohkan posisi pelabuhan Singapura sebagai yang terbesar di Asia Tenggara, dan salah satu yang tersibuk di dunia.
Mengekor Tuas adalah dua pelabuhan Malaysia kini juga menargetkan peningkatan daya tampung peti kemasnya. Keduanya adalah Pelabuhan Tanjung Pelepas di Johor yang mematok kapasitas 15 juta TEUs, dan Pelabuhan Klang di Selangor yang dapat menampung hampir 14 juta TEUs.
“Sudah jadi rahasia umum bahwa Malaysia-Singapura memang ingin meningkatkan kapasitas pelabuhannya. Dan tentang pemanfaatan sedimentasi yang kerannya bisa dibuka untuk ekspor ke Singapura, itu paling kuat mengarah ke proyek Tuas,” ujar Saut, Jumat (2/5).
Rancang Tuas Port Singapura. Foto: sg101.gov.sg
Indonesia—yang selama ini menggaungkan cita-cita sebagai poros maritim dunia—sesungguhnya bukannya tak punya rencana untuk memperkuat peran di Selat Malaka. PT Pelabuhan Indonesia menyiapkan beberapa pelabuhan untuk ikut bersaing di Selat Malaka. Salah satunya Kuala Tanjung di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
Kuala Tanjung dibangun sejak 2015. Dalam situsnya, Pelindo mencita-citakan pelabuhan ini sebagai pusat transit terbesar di Indonesia barat yang direncanakan memiliki daya tampung 60 juta TEUs—melebihi kapasitas Tanjung Priok di Jakarta—di masa depan.
“Sebaiknya pemerintah mengajak investor untuk mengembangkan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan hub internasional. Ini pintu masuk Indonesia bagian barat, bisa menyaingi Port of Singapore dan Pelabuhan Tanjung Pelepas Malaysia,” kata Zaldi Masita yang pada 2020 menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia.
Namun, kini Kuala Tanjung dikabarkan hendak dijadikan pelabuhan curah, yakni pelabuhan khusus yang melayani aktivitas bongkar muat barang curah cair seperti minyak. Sementara untuk bongkar muat peti kemas, akan dibuat satu pelabuhan baru yang tidak jauh dari Singapura, bahkan berhadapan dengan Negeri Singa.
Seorang sumber menyebut, pelabuhan baru di Selat Malaka ini akan dirancang berkapasitas 15 juta TEUs untuk mengambil pasar pelayaran dari kapal-kapal yang melintasi Malaka, yang selama ini didominasi Singapura.
Rancang Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara. Foto: Dok. Pelindo
Bila Indonesia serius hendak mewujudkan visi maritimnya, maka kiprah di Selat Malaka adalah mutlak, sebab Malaka di ujung barat Indonesia adalah salah satu selat tersibuk di dunia yang setiap harinya dilintasi sekitar 250 kapal (90 ribu kapal per tahun).
Terlebih, pilar ketiga poros maritim dunia yang didengungkan pemerintah RI ialah “Komitmen untuk mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.”
Namun, menurut sumber kumparan, kekecewaan kini melanda sebagian kalangan di sektor perhubungan dalam negeri pasca-terbitnya PP 26/2023. Bila sampai ekspor pasir laut mengalir ke Singapura, maka mereka menduga Pelabuhan Tuas akan menjadi salah satu lokasi tujuan.
Rasa frustasi itu dipahami Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute.
“Pelabuhan Tuas di Singapura akan sampai 60 juta TEUs, Malaysia mau bikin pelabuhan di Carey Island sampai 30 juta TEUs. Lalu gagasan besar Indonesia mana? Jangan cuma jualan pasir,” ujarnya.
Kapal Bakamla berpatroli. Foto: BAKAMLA RI
Selain soal pelabuhan, kurangnya armada kapal RI pun jadi sorotan. Menurut Saut Gurning, galangan-galangan kapal pun melemah asetnya.
“Pengembangan armada kita progresif tapi sangat kurang dibanding kebutuhannya. Tingkat Komponen Dalam Negeri [dalam memproduksi kapal] juga kurang dari 40 persen,” ucap Saut Gurning.
Padahal, apabila bongkar-angkut produk dari dalam ke luar negeri belum bisa dipegang mandiri oleh Indonesia, maka RI belum pantas disebut poros maritim.
Ilustrasi: Shutterstock
Terepas dari poros maritim dunia yang masih sebatas mimpi bagi Indonesia, KKP membantah keran ekspor pasir laut dibuka semata untuk Singapura.
Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi mengulang ucapan Trenggono bahwa PP 26/2023 diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri.
“Kami semata-mata mengedepankan pembersihan ekologi dari sedimentasi yang bisa dimanfaatkan,” ujarnya.
Bila pun sedimentasi pasir laut tersebut nantinya tersisa untuk diekspor, Wahyu menyebut hal itu bukan masalah selama berpegang pada prosedur yang benar.
Ssepanjang prosesnya proper dan benar, berpegang pada prinsip menjaga ekologi tadi; tata kelolanya mengedepankan transparansi dan kehati-hatian; mereka (pembeli) juga membayar pajaknya sesuai dan nggak ada lagi penyelundupan [pasir], itu kan bagus?,” kata Wahyu.
Laut Natuna Utara di Kepulauan Riau. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten