Emas Poboya: dari Perut Bumi Hingga Dicampur Merkuri

22 Maret 2017 19:05 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pemecah batu di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemecah batu di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Lima tenda biru berdiri di kawasan Baroko, Poboya, Palu, Sulawesi Tengah. Pemiliknya, para penambang emas, memilih tempat yang lebih tinggi dari biasanya di Vatutempa, Poboya.
ADVERTISEMENT
Pada salah satu tenda, pukul 10.00 pagi itu, Senin (13/3), Asar mulai mengenakan headlamp miliknya. Ia siap untuk turun ke lubang tambang berdiameter satu meter.
Seperti biasa, tanpa alat pengaman berarti. (Baca juga: Para Pemburu Emas Pulau Buru yang Tak Takut Mati)
Sebagai penambang tradisional, lelaki 42 tahun itu hanya membawa martil dan betel. Kedua senjata manual itu baginya sudah sangat ampuh untuk menggali dan mengambil batuan mineral dari dalam bumi.
Penambang emas bersiap masuk kawasan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penambang emas bersiap masuk kawasan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Asar sudah siap pada posisinya --duduk di kursi yang tergantung pada katrol. Dua rekannya, penambang emas lain, mulai memutar roda pada katrol.
Hanya berselang 5 detik saja, Asar sudah tidak terlihat, tertutup oleh gelapnya lubang. Ia masuk ke dalam lubang tambang emas berkedalaman 80 meter.
ADVERTISEMENT
Sementara dua kawannya, Laris dan Soleh, terus berdiri di dekat lubang. Mereka terus berjaga sambil sesekali terlihat bersenda gurau dengan bahasa ibu mereka, Gorontalo.
Sambi mengisap rokok, pandangan Laris dan Soleh tak pernah lepas dari lubang tambang tersebut.
“Kami harus kasih jaga seperti ini. Kasihan kalau ada apa-apa,” ujar Laris.
Selain Asar, ada tiga orang lain yang berada dalam lubang tambang itu. Mereka sudah masuk sejak pukul 08.00 WITA.
“Di dalam (lubang) bisa 6-7 jam, tergantung orang yang kerja,” kata Laris.
Namun demikian, di sela waktu panjang itu, para penambang yang berada di dalam lubang sesekali sejenak naik ke atas untuk makan atau buang air bear.
“(Kalau mau keluar), nanti mereka beri kode dengan goyang-goyangkan tali,” ujar Laris.
ADVERTISEMENT
Galian penambangan emas di Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Galian penambangan emas di Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Satu jam berlalu. Tali terlihat bergoyang. Itu berarti ada penambang yang sudah siap naik membawa batu material hasil galiannya.
Maka Laris dan Soleh langsung menarik katrol. Sekitar 20 detik kemudian, penambang bernama Ucun muncul dari dalam lubang.
Lelaki 50 tahun itu tampak amat berkeringat. Peluhnya bercucuran ke mana-mana, dan wajahnya terlihat sangat kotor.
Ucun keluar membawa satu karung berisi batu material. Itulah yang ditunggu-tunggu.
Kantung langsung diambil alih oleh Laris, dan ditumpuk bersama karung-karung lain yang terkumpul di dekat lubang. “Karung-karung ini sudah (hasil penggalian selama) dua hari," kata Laris.
Pekerjaan Laris dan kawan-kawannya selesai sampai di situ. Giliran kuli angkut --yang biasa disebut kijang-- yang bertugas.
Mereka mengangkut karung-karung itu. Pertama, karung dibawa dari lubang ke truk. Kedua, karung diangkut dari truk ke mesin tromol.
ADVERTISEMENT
“Kalau dari lubang ke truk, (saya bayar) Rp 7 ribu per karung. Kalau dari truk ke tromol, (saya bayar) Rp 4 ribu per karung,” ujar Deko, salah satu pemilik lubang tambang.
Setelah itu, Deko masih harus mendata jumlah karung-karung yang akan dikirimkan ke pengelola jasa tromol --mesin pengolah emas. Data itu diperlukan untuk dilaporkan kepada bosnya.
“Satu truk bisa sampai 200 karung,” ujar pria asli dari Poboya itu.
Aktivitas kijang di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas kijang di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Truk yang sudah penuh terisi karung kemudian bergerak turun menuju perkampungan mesin tromol di Kelurahan Poboya, sekitar 7 kilometer dari lokasi tambang.
Kelurahan itu mengarah ke pintu masuk Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya. Menuju ke kelurahan itu, rute yang dilewati tak mudah.
ADVERTISEMENT
Para pengemudi truk harus berjuang melintasi aliran sungai, lumpur, dan jalanan penuh bebatuan.
Memasuki kawasan tersebut, suara pemecah batu dan mesin tromol menyambut. Kahar, salah satu pengolah jasa tromol, terlihat begitu sibuk dengan sekopnya di balik mesin penghancur batu.
Tromol pemecah patu di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tromol pemecah patu di pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
“Batu-batu (material) yang dibawa dari atas (tempat tambang) dihancurkan pakai mesin ini sampai rata seperti itu,” ujar Kahar sambil menunjuk ke arah gundukan pasir berwarna krim. “Harus sampai halus seperti tepung.”
Kahar tak bekerja sendiri. Ia ditemani Ali Imron, yang nantinya memasukkan tepung dengan kandungan emas itu ke dalam mesin tromol.
“Setelah tepung masuk, air perak juga dimasukkan sebanyak 22 ons,” kata Ali.
Air perak yang dimaksud Ali adalah merkuri. Di perkampungan Ari, merkuri memang jadi bahan utama untuk mengolah emas.
ADVERTISEMENT
“Air perak ini berguna untuk mengikat emas,” ujarnya.
Beberapa peralatan penambang di Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa peralatan penambang di Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Selain air perak, beberapa bahan baku lain yang dimasukkan ke dalam mesin tromol adalah air sekitar separuh dari volume tromol, dan batu berdiameter 15 sentimeter sebanyak 20 buah.
Setelah itu, mesin tromol dihidupkan dengan mesin diesel. Tromol berputar selama 6 jam. Sembari menunggu, Ali menghabiskan waktu untuk ngopi atau menghancurkan batu.
Setelah 6 jam berlalu, mesin tromol dihentikan dan dibuka. Bahan-bahan yang berada dalam tromol terlihat berubah menjadi lumpur. Lumpur itu selanjutnya dialirkan ke dalam kolam yang sudah disiapkan khusus untuk menampung lumpur tersebut.
Sejumlah Tromol di Pertambangan Poboya, Palu  (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah Tromol di Pertambangan Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
“Lumpur lalu disedot pakai kompresor dan dimasukkan ke dalam tong,” kata Ali. Tong yang disiapkan bisa setinggi 4 meter dan berdiameter sekitar 1,5 meter.
ADVERTISEMENT
Beberapa bahan kimia kemudian dimasukkan ke dalam tong, seperti sianida sebanyak 6-8 kilogram dan kostik soda atau soda spi sebanyak 1 karung atau 25 kilogram.
“Mesin itu diputar (selama) 3 hari 2 malam, abis itu ditoyong,” kata Ali. Toyong adalah proses pembakaran karbon.
Pada tahap akhir, lumpur hasil pembakaran karbon dipanggang sampai berbentuk serbuk berwarna abu-abu. Setelah itu, serbuk ditaburi boraks.
Boraks berguna untuk melindungi serbuk emas, supaya tidak berterbangan saat disemprot api menggunakan mesin las, hingga tinggal emas tersisa.
“Orang bilang kalau batoyong (sudah sampai proses toyong) itu supanen (sudah panen),” ujar Ali.
Sayang seribu sayang, proses pengolahan itu melibatkan merkuri yang beracun. (Baca: Ancaman Emas Poboya Mengalir Hingga Palu)
ADVERTISEMENT
Baca juga: Kota Palu dalam Cengkeraman Merkuri
Penambang perlihatkan emas di Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penambang perlihatkan emas di Poboya, Palu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)