Epidemiolog: Jangankan Makan 20 Menit, 5 Menit Buka Masker Deketan Saja Berisiko

27 Juli 2021 15:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelayan warung makan melayani pelanggan di Kemayoran, Jakarta, Senin (26/7/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pelayan warung makan melayani pelanggan di Kemayoran, Jakarta, Senin (26/7/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Salah satu poin kebijakan PPKM Level 4 yang memberikan kelonggaran makan 20 menit di tempat bagi warung makan menjadi sorotan banyak pihak. Banyak yang menilai aturan ini akan sulit direalisasikan, ada pula yang beranggapan kebijakan ini masih berisiko untuk bisa diambil sekarang.
ADVERTISEMENT
Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, salah satu yang menilai bahwa kebijakan makan di tempat masih berisiko. Tapi ia mengakui pembatasan waktu makan di tempat 20 menit paling masuk akal apabila mempertimbangkan faktor ekonomi.
“Ya ini kan memang kompleks ya, jadi bahwa kita harus lihat dari banyak sisi. Sekarang kan kita lihatnya sudah masalah kesehatan kalau pandemi seperti ini yang tidak terkendali 16 bulan, yang harus kita lihat faktor sosial ekonomi juga,” kata Dicky kepada kumparan, Selasa (27/7).
“Jangankan 20 menit, 5 menit saja buka masker deketan sekarang sudah berisiko. Nah, masalahnya bagaimana mensetting misalnya dalam kondisi krisis seperti ini, secara kondisi pandemi kan memang sedang krisis, buruk sebetulnya, tapi di sisi lain bagaimana warung ini bisa jualan. Kan berarti harus dibatasi yang makan di situ, bagaimana dibatasi, memungkinkan tidak, mengatur,” imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Sehingga, Dicky mengingatkan pemerintah harus betul-betul mengawasi penerapan kebijakan tersebut. Sedangkan apabila memungkinkan, ia tetap menganjurkan warga untuk tetap membawa pulang makanan.
“Kalau warteg itu kan indoor di tempat, biasanya masak di situ juga, di situ juga makannya. Menurut saya yang 20 menit ini saya paham pemerintah mau memberi keleluasaan, tapi secara aspek realita di lapangan berisiko. Jadi sebijaknya lebih disarankan dibungkus saja, yang antre di luar, pakai masker. Jadi dia pesan, ada yang manggil, dia ambil,” ucap dia.
Di sisi lain, menurut Dicky tak hanya waktu makan 20 menit yang jadi persoalan. Kalau memang mengizinkan dine in, harus diperhatikan juga tempat dan batas kapasitas pelanggan seperti pada aturan pembatasan sosial sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada yang makan di situ sebaiknya tempat itu terbuka, di luar, ya enggak banyak 2 atau 3 orang jadi tetap harus di lihat dalam konteks tempatnya. Enggak bisa disamaratakan. Ini lah peran pemerintah kecamatan setempat, kelurahan untuk membantu. Dan ini harus ada pemahaman, literasi ke petugas ini, humanis,” ujar Dicky.
“Di situasi ini harus sangat berempati, humanis, dan melihat ini dari berbagai aspek. Dan saya harap ini pada level daerah bisa disesuaikan dengan konteks wilayahnya. Karena dalam konteks warteg ada yang sempit ada yang besar, nah [kalau besar] itu bisa. Jadi saran saya dilihat juga tempatnya,” tutup dia.
Di sisi lain, Ahli Wabah UI Pandu Riono mengatakan aturan makan di tempat tak jadi masalah. Tetapi menurutnya waktu tidak perlu dipersoalkan, yang penting dipastikan bahwa pelanggan yang makan di tempat tidak berlama-lama.
ADVERTISEMENT
“Jangan lihat 20 menit. Cepat aja. Tidak mungkin dimonitor 20 menit, tapi harus cepat aja. Biarkan warung kecil berusaha, tapi diedukasi dengan baik. Esensi nya hanya makan dan jangan ngobrol,” terang dia.