Epidemiolog UGM: Sudah Saatnya Tak Khawatirkan COVID, TBC-Malaria Lebih Bahaya

9 Januari 2023 15:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo telah mencabut mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akhir tahun lalu. Meski COVID-19 belum dinyatakan sebagai endemi, epidemiolog UGM menyebut COVID-19 tak perlu dikhawatirkan lagi.
ADVERTISEMENT
"Kita enggak perlu khawatir lagi (COVID-19) karena sebetulnya kalau dibandingkan head to head, malaria, tuberkulosis (TBC) lebih mengerikan tuberkulosis. Kalau saya sebagai dokter, ya," kata Ketua Kelompok Kerja Genetik FKKMK UGM dr Gunadi, PhD saat ditemui di kampus UGM, Sleman, DIY, Senin (9/1).
Ahli wabah ini mengatakan negara-negara telah mampu mengatasi COVID-19 kecuali China yang kini kasusnya kembali melonjak.
Nyamuk Anopheles penyebar malaria. Foto: James Gathany, USCDC via Pixnio
Pencabutan PPKM oleh Presiden juga berdasarkan pertimbangan yang matang seperti data antibodi yang sudah tinggi, vaksinasi yang sudah baik, hingga positivity rate yang rendah.
"Kalau saya sendiri (menilai akan menjadi penyakit) endemis, paling nanti negara China itu yang akan menjadi salah satu endemis," katanya.
Gunadi mengatakan bahwa penyakit endemis di Indonesia cukup banyak termasuk malaria dan TBC. Masyarakat sudah tahu ketika musim hujan, maka tampungan air harus ditutup agar tidak terjadi malaria.
ADVERTISEMENT
"Dulu (COVID-19 kita) masih belajar, kita perlu mempelajari dulu ini kira-kira gejalanya seperti apa, kan seperti itu. Setelah kita tahu kan hampir sama dengan common cold virus biasa setelah vaksinasi. Cukup merutinkan vaksinasi mungkin setahun sekali, seperti vaksin yang sudah diwajibkan pemerintah begitu saja menurut saya. Saya rasa sudah saatnya tidak perlu khawatir (COVID-19)," kata Gunadi.
Kenapa Kasus di China Melonjak?
Pasien berbaring di tempat tidur dan tandu di lorong di unit gawat darurat rumah sakit, di tengah wabah COVID-19 di Shanghai, China, Rabu (4/1/2022). Foto: Staff/REUTERS
Soal kasus COVID-19 di China yang menggila, Gunadi menduga karena kekebalan komunal mereka yang rendah. Sebab saat dilakukan kebijakan zero covid dan lockdown cukup lama, mereka hanya memiliki kekebalan dari vaksin, tidak dapat kekebalan alami dari infeksi.
"Sedangkan kita, kan, masyarakat Indonesia ada keuntungan juga dengan sedikit pelonggaran-pelonggaran PPKM itu, ya. Jadi kita mungkin sedikit banyak sudah terpapar alamiah," kata Gunadi.
ADVERTISEMENT
Antibodi yang tinggi di Indonesia bukan hanya peran dari vaksin, tetapi juga dan peran terpapar infeksi secara alamiah. Perlindungan yang berlebihan seperti lockdown di China ternyata tidak membuat kekebalan komunal lebih cepat dari Indonesia yang dilonggarkan bertahap.
"Eropa sama seperti kita, kan, karena ada pelonggaran-pelonggaran maka kekebalan komunalnya lebih cepat," katanya.
Vaksinasi Booster Harus Digencarkan
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 dosis ketiga atau booster I kepada warga di salah satu pusat perbelanjaan di Batam, Kepulauan Riau, Jumat (16/12/2022). Foto: Teguh Prihatna/ANTARA FOTO
Meski tak perlu lagi mengkhawatirkan COVID-19, Gunadi tetap mengingatkan agar vaksinasi digencarkan, termasuk booster. Apalagi saat ini masyarakat juga sudah paham mengenai protokol kesehatan.
Vaksinasi booster ini perlu digenjot, terutama bagi manula maupun juga pada anak-anak.
"Harus dioptimalkan, kalau saya itu kuncinya vaksinasi terutama masyarakat, jangan enggan untuk dilakukan booster. Jangan dikira ini oh saya enggak apa-apa, bukan, tetapi kalau kekebalan komunal itu terbentuk, otomatis kita akan melindungi orang-orang yang tidak bisa divaksin (karena komorbid dan lain sebagainya)," ujarnya.
ADVERTISEMENT