Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Esai Foto: Matinya Pasar Konvensional Akibat Tergerus Tren Digital
8 Januari 2023 13:31 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menko Perekonomian Airlangga Hararto mengatakan, "Transaksi e-commerce memberi kontribusi terbesar bagi ekonomi digital Indonesia".
Namun, pergeseran preferensi masyarakat dengan berbelanja di e-commerce menjadi tantangan bagi para pedagang konvensional di pasar.
"Ya begini keadaan di hampir semua pasar konvensional sekarang, sepi" ujar seorang pedagang sambil menghela napas.
Diketahui saat ini banyak kios dan pertokoan di pasar-pasar konvensional, khususnya daerah Jakarta, yang tutup akibat sepi pembeli.
Seperti halnya Mal Blok M, Jakarta Selatan. Mal yang terletak di bawah Terminal Blok M sempat menjadi tujuan pusat berbelanja warga Jakarta di era tahun 1990-an. Kini, Mal Blok M hanya menyisakan tiga toko yang masih bertahan di sepanjang lorong.
Selanjutnya ada Pasar Tanah Abang Blok G. Pasar yang diresmikan pada 2013 pada masa pemerintahan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Dari 2.200 kios di tiga lantai, kini kios yang masih bertahan dapat terhitung jari.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan Pasar Tradisional Mampang. Pasar yang berada di Jakarta Selatan ini kian hari kian sepi dari kedatangan pengunjung. Para pedagang terpaksa harus gulung tikar hingga tidak sedikit toko yang disegel akibat administrasi yang tidak terselesaikan.
Kemudian ada Pasar Seni Ancol. Pasar yang terletak di Utara Jakarta ini, berdiri pada tahun 1977. Memasuki era keemasannya, yakni pada era 80-an hingga 90-an, pasar itu begitu ramai dikunjungi oleh masyarakat dan wisatawan, baik untuk berbelanja ataupun untuk menikmati pertunjukan seni.
Akan tetapi, memasuki tahun 2000-an hingga sebelum adanya pandemi, permintaan terhadap pasar seni mulai berkurang secara perlahan. Hal itu disebabkan kurangnya promosi dari pihak manajemen Ancol terhadap pasar seni, dan lebih mementingkan wisata yang berada di sekitar area pantai. Kondisi tersebut makin diperparah dengan adanya pandemi.
Banyaknya kios dan galeri yang tutup, baik sementara maupun permanen. Para seniman dan pedagang tidak memiliki pendapatan sama sekali. Pasar Seni mengalami ‘mati total’.
ADVERTISEMENT
Nasib serupa juga dialami pedagang buku yang berada ada di Toko Buku Kwitang, Jakarta Pusat. Pada masa kejayaannya di era 80-an hingga 90-an, Kwitang menjelma menjadi pusat perdagangan buku di Jakarta.
Namun, kondisi Kwitang mulai meredup pada tahun 2008, akibat kebijakan Mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo melakukan relokasi terhadap ratusan pedagang buku. Hal itu makin diperparah dengan adanya Pandemi yang menyebabkan perekonomian lumpuh. Selain itu, adanya penjualan secara online juga membuat Kwitang tergerus oleh zaman.
Dan yang terakhir adalah Pasar Elektronik Glodok. Kawasan yang sejak tahun 1970-an telah tersohor sebagai pusat elektronik terbesar di Indonesia, kini harus meratapi nasib yang sama. banyaknya toko yang tutup, serta sepinya pembeli membuat pasar ini layaknya hidup dan mati.
Selain adanya pandemi dan perbelanjaan online, pasar elektronik Glodok sepi juga disebabkan oleh menjamurnya gerai elektronik dan pusat perbelanjaan yang berdiri di sekitar Jakarta, terutama di pinggiran kota.
ADVERTISEMENT
Para pedagang di pasar-pasar tersebut harus mampu bersaing untuk dapat bertahan di tengah gempuran perkembangan teknologi. Para pedagang harus memiliki terobosan inovatif untuk dapat menarik kembali para pembeli.