Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Esai Foto: Menjaga Impian Suku Tehit Merawat Hutan Untuk Generasi Selanjutnya
22 Februari 2025 13:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Desa Sira, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, menjadi tempat tinggal Suku Tehit yang berada di wilayah adat Knasaimos berdiri teguh melawan arus zaman. Di balik deru modernitas yang memotong akar-akar tua, masyarakat adat menjaga jantung alam yang terus berdenyut untuk anak-cucu.
ADVERTISEMENT
Suku Tehit adalah penjaga hutan , warisan nenek moyang yang lebih kuat dari pasal dan ayat. Hutan ini adalah rumah mereka, bukan sekadar bentangan pepohonan tapi napas, kehidupan, dan janji yang tak pernah putus.
Pada 1998, mereka menyatukan suara untuk mendirikan Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Knasaimos yang merupakan sebuah benteng perlindungan adat.
Tahun-tahun perjuangan Suku Tehit yang berada di wilayah adat Knasaimos sangat panjang. Dari masa ketika suara-suara muda yang bangkit menggenggam pena untuk menuliskan perlawanan terhadap kebijakan yang mengancam tanah leluhur, seperti ekspansi sawit yang mengintai untuk menjarah tanah adat mereka, datang dengan janji palsu kesejahteraan. Hutan yang mereka rawat dengan cinta ditargetkan menjadi angka-angka keuntungan.
Hutan bukan sekadar ruang sunyi, tetapi dapur yang tak pernah kehabisan bahan. Di pagi hari, mereka ke hutan untuk memetik sayur, menangkap ikan, dan mengambil obat-obatan yang tumbuh liar tapi penuh makna.
ADVERTISEMENT
Di antara batang sagu yang menjulang, mereka menemukan kehidupan yang sederhana tapi cukup. Sagu merupakan pohon serba guna, dari akar hingga daunnya adalah simbol keberlanjutan bagi Suku Tehit. Jika sagu punah, maka mereka kehilangan napas terakhirnya.
“Kalau pohon sagu sudah tidak ada, berarti sama dengan angin sudah tidak bertiup lagi, air tidak mengalir lagi, dan matahari tidak terbit lagi,” ungkap penasihat Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Knasaimos Agustinus Woloin.
Hutan juga merupakan cerita yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari nenek moyang, mereka belajar menghormati pohon besar, merawat sungai, dan menjaga keseimbangan hidup.
Tidak ada hukum tertulis di masa nenek moyang mereka, tapi ada kebijaksanaan yang lebih kokoh daripada pasal-pasal. Hari ini, Suku Tehit melawan agar hukum yang sama mengakui apa yang telah menjadi hak mereka selama berabad-abad.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mereka tidak sendiri. Dalam perjuangan ini, Suku Tehit dibantu oleh banyak pihak termasuk pemerintah yang datang dengan ilmu dan dukungan. Pada Juni 2024, Bupati Sorong Selatan menyerahkan Surat Keputusan Pengakuan Wilayah Adat kepada masyarakat Knasaimos, yang juga mencakup Suku Tehit. Haru bercampur tawa memenuhi rimba yang menjadi saksi dari perjalanan panjang.
Namun, perjuangan mereka belum selesai. Hutan mereka harus diakui sebagai hutan adat. Bukan untuk masyarakat adat semata tapi untuk anak-anak mereka dan untuk dunia yang kelelahan oleh panas global.
Saat ini, Suku Tehit tengah berjuang mengukuhkan tanah leluhur sebagai hutan adat, menjaga denyut kehidupan dan melindungi rimba tempat mereka menggantungkan harapan. Agar tidak ada lagi perusahaan sawit dan penebangan pohon secara illegal yang ingin menghancurkan hutan mereka.