Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Tensi konflik kembali meningkat setelah Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan status darurat militer di Aceh pada Mei 2003. Ribuan personel militer dan kepolisian dikerahkan ke Aceh dengan tujuan mengejar anggota GAM.
Kebijakan itu menimbulkan beragam kekerasan dan pelanggaran HAM berat, seperti pembunuhan, penyerangan terhadap warga sipil, penghilangan orang secara paksa. Hingga kini, korban belum menerima haknya karena beragam kasus tersebut belum tuntas dan banyak kasus juga yang tak diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat.
Situasi yang kacau memaksa warga meninggalkan tempat tinggal mereka, seperti yang diungkapkan Jafar. Dia pergi ke Lhoksukon (kecamatan di Aceh Utara) karena daerah tempat ia tinggal di Lhokseumawe sudah dikuasai Brimob.
“Saya bersama keluarga tidak bisa mencari kebutuhan hidup dalam situasi konflik, belum lagi dicurigai aparat sebagai GAM, jelas-jelas saya warga sipil,” ungkap dia.
Cerita sama diungkapkan oleh Marli, salah satu warga sipil yang menerima kekerasan dari aparat. Ketika itu, aparat mencari anggota GAM ke permukiman, peluru menghujani warga sipil yang sedang beraktivitas.
Kala itu ia dan temannya sedang membersihkan buah pinang. Marli terkena tembak di kakinya sementara temannya meninggal. Ia menyadari kenapa aparat melakukan itu mungkin karena susah membedakan GAM yang seringkali berbaur dengan warga sipil. Namun katanya, saat itu benar-benar hanya ada warga sipil.
Pembunuhan di Sungai Arakundo-Aceh Timur, penembakan di Dayah Tgk Bantaqiah Beutong Ateuh-Nagan Raya, penyiksaan di gedung KNPI-Lhokseumawe, penghilangan paksa di Timang Gajah-Bener Meriah, kekerasan di Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis)-Pidie, penembakan di Simpang KKA-Aceh Utara, dan kekerasan di Jambo Keupok-Aceh Selatan.
Dari sekian banyaknya pelanggaran HAM berat itu hanya tiga yang diakui negara, yakni kekerasan di Rumoh Geudong & Pos Sattis, penembakan di Simpang KKA, dan kekerasan di Jambo Keupok.
Pemerintah Indonesia dan GAM sepakat damai lewat perjanjian yang dikenal Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Pada 2024 ini, perdamaian Aceh akan memasuki tahun ke-19. Namun rasa trauma belum lepas dari benak korban, meskipun harus berdamai dengan keadaan.
“Keyakinan kepada Tuhan membuat saya bertahan hidup, saya akan terus berusaha keluar dari ketakutan masa lalu dan mengambil hikmahnya”, ujar Maryam, salah satu korban yang pernah dipenjara, disiksa, dibakar rumahnya, ditembak ternaknya, hingga kehilangan sang anak.