Esai Foto: Tapak Kecil Konflik di Tanah Rencong

21 April 2024 16:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah yang Ditinggalkan: Rumah warga yang ditinggalkan saat darurat militer di Lhokseumawe, Aceh.  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rumah yang Ditinggalkan: Rumah warga yang ditinggalkan saat darurat militer di Lhokseumawe, Aceh. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung selama puluhan tahun. Konflik ini menimbulkan penderitaan bagi masyarakat sipil dan situasi rumit di Aceh kala itu.
Tumbuhan: Tumbuhan tumbuh di tembok rumah warga yang ditinggalkan saat darurat militer di Aceh. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Tensi konflik kembali meningkat setelah Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan status darurat militer di Aceh pada Mei 2003. Ribuan personel militer dan kepolisian dikerahkan ke Aceh dengan tujuan mengejar anggota GAM.
Detasemen B Pelopor Brimob: Bekas bangunan Detasemen B Pelopor Brimob saat darurat militer di Jalan Line Pipa, Kota Lhokseumawe, Aceh. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kebijakan itu menimbulkan beragam kekerasan dan pelanggaran HAM berat, seperti pembunuhan, penyerangan terhadap warga sipil, penghilangan orang secara paksa. Hingga kini, korban belum menerima haknya karena beragam kasus tersebut belum tuntas dan banyak kasus juga yang tak diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat.
Mobil Kompi Polisi: Box mobil kompi polisi bekas konflik RI-GAM. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Situasi yang kacau memaksa warga meninggalkan tempat tinggal mereka, seperti yang diungkapkan Jafar. Dia pergi ke Lhoksukon (kecamatan di Aceh Utara) karena daerah tempat ia tinggal di Lhokseumawe sudah dikuasai Brimob.
Mobil Kompi Polisi: Box mobil kompi polisi pada masa konflik di Aceh. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
“Saya bersama keluarga tidak bisa mencari kebutuhan hidup dalam situasi konflik, belum lagi dicurigai aparat sebagai GAM, jelas-jelas saya warga sipil,” ungkap dia.
Maryam: Maryam berpose duduk di bawah pohon. Ia bilang pohon itu masih kecil sewaktu konflik, kini bisa jadi tempat berteduh. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Cerita sama diungkapkan oleh Marli, salah satu warga sipil yang menerima kekerasan dari aparat. Ketika itu, aparat mencari anggota GAM ke permukiman, peluru menghujani warga sipil yang sedang beraktivitas.
Tanggal Kematian: Tanggal kedua dari atas (harusnya ditulis 1-7-2005) merupakan tanggal kematian anaknya Maryam. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kala itu ia dan temannya sedang membersihkan buah pinang. Marli terkena tembak di kakinya sementara temannya meninggal. Ia menyadari kenapa aparat melakukan itu mungkin karena susah membedakan GAM yang seringkali berbaur dengan warga sipil. Namun katanya, saat itu benar-benar hanya ada warga sipil.
Maryam dam Suami: Maryam (kiri) bersama suaminya. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pembunuhan di Sungai Arakundo-Aceh Timur, penembakan di Dayah Tgk Bantaqiah Beutong Ateuh-Nagan Raya, penyiksaan di gedung KNPI-Lhokseumawe, penghilangan paksa di Timang Gajah-Bener Meriah, kekerasan di Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis)-Pidie, penembakan di Simpang KKA-Aceh Utara, dan kekerasan di Jambo Keupok-Aceh Selatan.
Marli: Marli, saat konflik RI-GAM pernah dihujani peluru sewaktu dia membersihkan buah pinang. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dari sekian banyaknya pelanggaran HAM berat itu hanya tiga yang diakui negara, yakni kekerasan di Rumoh Geudong & Pos Sattis, penembakan di Simpang KKA, dan kekerasan di Jambo Keupok.
Rumah yang Ditinggalkan: Rumah warga yang ditinggalkan, hingga kini masih kosong tak berpenghuni. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pemerintah Indonesia dan GAM sepakat damai lewat perjanjian yang dikenal Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Pada 2024 ini, perdamaian Aceh akan memasuki tahun ke-19. Namun rasa trauma belum lepas dari benak korban, meskipun harus berdamai dengan keadaan.
Sisa-sisa Pembatas Jalan: Pembatas jalan di Jalan Line Pipa, Lhokseumawe, Aceh. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
“Keyakinan kepada Tuhan membuat saya bertahan hidup, saya akan terus berusaha keluar dari ketakutan masa lalu dan mengambil hikmahnya”, ujar Maryam, salah satu korban yang pernah dipenjara, disiksa, dibakar rumahnya, ditembak ternaknya, hingga kehilangan sang anak.