Face Recognition Tak Sempurna, Ini Deretan Kasus Salah Tangkap di Dunia

14 April 2022 21:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terduga pelaku pengeroyokan Ade Armando. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Terduga pelaku pengeroyokan Ade Armando. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Polda Metro Jaya berhasil mengidentifikasi beberapa pelaku pengeroyokan dosen Universitas Indonesia, Ade Armando, dan langsung dicari keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Namun ternyata, identifikasi menggunakan face recognition itu gagal mengidentifikasi pelaku pengeroyokan yang sebenarnya. Padahal, wajah serta identitas mereka sudah tersebar di media sosial.
Terduga pelaku, Try Setia Budi Purwanto dan Abdul Manaf belakangan terbukti tak terlibat pengeroyokan Ade Armando.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan mengatakan, kesalahan tersebut terjadi akibat teknologi face recognition yang digunakan tidak akurat. Data teknologi itu didapat berdasarkan data rekaman CCTV dan video yang diperoleh polisi.
Kesalahan pendeteksi wajah semacam ini sebelumnya juga pernah terjadi di Amerika Serikat.
Robert Williams, Michael Oliver, dan Nijeer Parks
Tahun 2020, pria kulit hitam Robert Williams ditangkap karena diduga mencuri lima jam tangan dari toko Shinola di kawasan elite Detroit, Michigan.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan The Washington Post, foto pada Surat Izin Mengemudi (SIM) milik Robert dianggap sebagai pelaku kejahatan oleh sistem face recognition. Hal itu ditemukan usai polisi mencocokan wajah pelaku dalam video blur dengan database.
Padahal, Williams tak pernah melakukan kejahatan itu. Ia juga menilai kesamaan fotonya dengan pria di video itu hanyalah sama-sama berkulit hitam. Setelah ditahan selama 30 jam, polisi akhirnya meminta maaf dan membebaskan Williams.
Robert Williams, korban salah tangkap karena face recognition di AS. Foto: Drew English/American Civil Liberties Union
Atas kasus itu, Williams mengajukan gugatan terhadap Kepolisian Detroit. Sebab, salah tangkap itu sangat merugikan orang-orang yang tidak bersalah dan keluarga mereka.
Williams bercerita kepada Wired, bahwa akibat penahanan itu, anaknya sampai menangis hingga memiliki kecemasan jika sewaktu-waktu sang ayah ditangkap lagi.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, ini baru satu kasus.
Pada tahun 2019, kejadian salah tangkap dialami oleh Michael Oliver, warga Detroit. Saat tengah berjalan ke kantornya di Ferndale, Michigan, pria itu diciduk polisi karena wajahnya mirip dengan hasil face recognition. Ia disebut telah mengambil ponsel dari seorang guru yang merekam aksi tawuran di luar sekolah, lalu melemparnya hingga layarnya pecah.
Hasil investigasi menunjukkan ia tidak bersalah. Atas salah tangkap ini, Oliver sampai kehilangan pekerjaannya sebagai tukang cat mobil dan butuh setahun untuk memperbaiki hidupnya.
Ia lantas menggugat Kota Detroit dan Detektif Donald Bussa di pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi atas materi dan tekanan emosional. Ia juga meminta agar polisi Detroit tak menggunakan teknologi face recognition sampai sistem itu bisa lebih akurat membedakan orang-orang terlepas dari ras atau warna kulitnya.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi face recognition atau AI. Foto: sp3n/Shutterstock
Selain Oliver, kasus serupa juga dialami Nijeer Parks. Tahun 2019 di New Jersey, mantan napi narkoba yang bekerja sebagai tukang kayu itu kaget karena kembali dipanggil polisi.
Tuduhannya pun cukup serius: penyerangan dengan kekerasan, menggunakan identitas palsu, kepemilikan senjata ilegal, kepemilikan marijuana, dan hampir menabrak seorang polisi dengan mobil.
Menurut laporan CNN, pria kulit hitam itu harus ditahan selama 11 hari di Middlesex County Corrections Center. Kepolisian Woodbridge mengungkap, penangkapan itu karena profil Nijeer Parks dinilai cocok dengan hasil face recognition dari sebuah foto ID (yang belakangan diketahui palsu) di TKP. Padahal, itu adalah kesalahan.
Alhasil, Parks harus melewati proses hukum selama setahun sebelum akhirnya dibebaskan. Parks bahkan tidak menerima permintaan maaf dari polisi.
ADVERTISEMENT
Pada Maret 2021, Parks mengajukan gugatan terhadap direktur Departemen Kepolisian Woodbridge, pejabat lokal, serta pembuat sistem face recognition yang mengidentifikasinya. Ia mengajukan gugatan atas tuduhan penangkapan palsu, pemenjaraan palsu, serta pelanggaran hak-haknya.
Hal ini bukan tanpa alasan. Penangkapan itu membuat Parks mengalami kerugian materi dan kerusakan mental.

Protes soal Penggunaan Face Recognition

com-Artificial Intelligence. Foto: Shutterstock
Teknologi face recognition sebenarnya sudah lama menjadi kontroversi. Sebab alat itu dinilai lebih akurat jika digunakan pada orang kulit putih.
Di Detroit, masyarakat telah melayangkan protes sejak sistem itu digunakan sebagai alat investigasi pada tahun 2017. Menurut laporan Detroit Free Press, mereka menuntut polisi untuk menghentikan penggunaan face recognition, sebab kesalahan identifikasi cukup tinggi ketika digunakan orang-orang dengan warna kulit (people of color).
ADVERTISEMENT
Tak jarang, orang mengatakan ada bias ras pada algoritmanya. Hal ini yang terjadi pada William, Oliver, dan Parks. Ketiganya adalah warga kulit hitam.
Belakangan, Kepala Polisi Detroit James Craig bahkan mengakui kekurangan teknologi tersebut. Kepada New York Times, teknologi itu telah melakukan misidentifikasi kepada 96 persen kasus yang ditangani.
China Menuju 1984 Foto: Sijia Jiang
Studi federal yang dimuat The Washington Post tahun 2019 bahkan menyebut, orang-orang Asia dan Afro-Amerika bisa 100 kali lebih berisiko salah ketika diidentifikasi sistem face recognition dibandingkan orang kulit putih.
Sistem face recognition membuat prediksi berdasarkan data yang tidak komplit, misalnya potongan foto atau video blur. Prediksi tersebut tak bisa benar-benar bebas dari error.
Menurut Direktur Studi, Hukum dan Digital Institut Mines-Télécom, Winston Maxwell, algoritma pada face recognition dapat menghasilkan dua jenis kesalahan, yaitu positif palsu atau negatif palsu. Uraiannya itu ia tulis dalam artikel berjudul 'Why facial recognition algorithms can’t be perfectly fair' di The Conversation.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan analisis Winston, positif palsu terjadi seperti kasus William, yakni ada kecocokan positif antara dua gambar, tetapi nyatanya tidak. Yang kedua, algoritma mengatakan tak ada yang cocok, tapi sebenarnya ada.
Menurutnya, positif palsu dapat menyebabkan penangkapan yang salah terhadap orang yang tidak bersalah. Apalagi jika polisi hanya menggunakan hal tersebut sebagai satu-satunya patokan.