Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Fadli Zon Anggap Gejolak Politik 2017 Akibat Ada Ketidakadilan Sosial
29 Desember 2017 1:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon memberikan catatan khusus terhadap kondisi politik tanah air. Menurutnya, hoax, SARA, toleransi, politik identitas, dan UU Ormas menjadi isu yang hampir mewarnai wajah perpolitikan bangsa dalam satu tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Hal ini bermula dari pertarungan sengit Pilkada DKI yang kemudian dampaknya meluas secara nasional.
“Wajah dunia politik kita sepanjang tahun 2017 sepertinya sangat dipengaruhi oleh wajah Pilkada DKI. Hampir seluruh isu yang mewarnai Pilkada DKI, mulai dari isu SARA, politik identitas, atau isu hoax, sebagai kebangkitan populisme kanan kemudian bergema secara nasional,” ujar Fadli dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/12)
Sejak awal, ia berpandangan jika benturan keras yang terjadi selama hiruk pikuk Pilkada DKI itu berkembang karena adanya dua faktor, yaitu kesenjangan ekonomi dan terjadinya benturan kebudayaan. Sehingga, terlalu gegabah jika ada anggapan keriuhan politik yang membuat gejala politik identitas menguat karena persoalan sektarian versus kebhinekaan.
"Saya berpandangan jika bangkitnya politik identitas yang terjadi belakangan ini tak berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap kebhinekaan, tetapi karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Fadli memaparkan, indeks ketimpangan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadinya dalam masa pemerintahan Jokowi. Studi Amy Chua menjelaskan apabila pasar bebas dan demokrasi hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat maka sangat rentan melahirkan konflik dan instabilitas. Dengan demikan, persoalan ketimpangan ekonomi tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Di lain sisi, benturan kultural juga menjadi pemicu munculnya gerakan populisme. Apalagi, Jakarta memiliki identitas dan jejak historis yang panjang.
Fadli menjelaskan, ketika identitas dan jejak historis itu dipinggirkan melalui kebijakan pejabat pemerintahan, tentu akan ada resistensi dari mereka yang merasa terikat pada identitas-identitas tradisional tersebut.
"Resistensi itulah yang kemudian telah melahirkan apa yang oleh yang banyak disebut sebagai kebangkitan populisme," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Solusinya, Fadli berharap pemerintah dengan serius menata kebijakan ekonomi dan politik, termasuk politik tata ruang, yang lebih adil dan mengakomodasi kepentingan publik yang selama ini terpinggirkan. Bukan sebaliknya, mengencangkan agenda indoktrinasi kepada masyarakat.
"Untuk mengatasi gejala menguatnya politik identitas bukanlah dengan melakukan kegiatan indoktrinasi, melainkan dengan menata kebijakan ekonomi dan politik," ucapnya.
Selain itu, Fadli juga meminta agar pemerintah menjaga situasi politik agar tetap kondusif. Bukan dengan melancarkan tuduhan ke berbagai pihak.
Karena itu, ia berharap Polri sebagai institusi penegak hukum juga bisa lebih profesional dan fair dalam menjalankan tugasnya, agar tidak memancing spekulasi dan berkembangnya fitnah di masyarakat.
"Kita akan segera menginjak tahun politik. Penting buat pemerintah untuk menjaga situasi agar tetap kondusif. Untuk itu, ruang publik kita mestinya makin bersih dari hoax dan ujaran kebencian," ujar Fadli
ADVERTISEMENT
“Menguatnya politik identitas mestinya dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, bukan dijawab dengan represi dan produksi stigma.” imbuh Fadli.