Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Fakta Dakwaan Gratifikasi Imam Nahrawi: Nonton F1 hingga Peran Taufik Hidayat
15 Februari 2020 5:48 WIB
ADVERTISEMENT
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat (14/2) kemarin. Fakta-fakta terkait gratifikasi dengan total Rp 8,6 Miliar yang ia terima itu dibeberkan oleh Jaksa KPK di dalam dakwaan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pertanyaan yang muncul saat proses penyidikan mulai menemui titik terang. Salah satunya terkait misteri pemeriksaan mantan atlet bulutangkis nasional, Taufik Hidayat, oleh KPK.
Terungkap, bahwa Taufik menjadi perantara gratifikasi di kasus ini. Meski begitu, tak dijelaskan lebih lanjut terkait peranan Taufik itu. Setidaknya ada 5 sumber gratifikasi utama yang diterima oleh Imam.
Berikut rinciannya:
Rp 300 Juta dari Sekjen KONI
Satu tahun usai dilantik jadi Menpora, yakni pada 2015, Imam Nahrawi melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum, meminta Sekjen Kemenpora saat itu, Alfitra Salamm, menyiapkan uang Rp 5 miliar untuk Imam. Tak dijelaskan dalam dakwaan maksud permintaan itu.
Namun, dalam prosesnya, Ulum sempat menanyakan kepada Alfitra terkait posisinya dalam permintaan uang Rp 5 miliar itu.
ADVERTISEMENT
"Pak Ses mau lanjut enggak? Kalau mau, siapkan uang 5 M secepatnya," kata Ulum ke Alfitra. Namun Alfitra tak memenuhi permintaan uang tersebut.
Agustus 2015, Ulum kembali menyambangi Alfitra. Ia menyampaikan, Imam ada kegiatan muktamar NU di Jombang, dan meminta bantuan. Di sini, Alfitra menemui Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan Hamidy yang sepakat memberikan uang Rp 300 juta.
Uang tersebut disampaikan langsung oleh Hamidy dan Alfitra ke Imam di Jombang. Uang itu diberikan dalam sebuah tas jinjing hitam kepada Ulum yang disaksikan oleh Imam.
Rp 4,9 M dari KONI
Ulum kembali menemui Alfitra untuk menyiapkan dana operasional tambahan untuk mendukung perjalanan dinas Imam. Alfitra kemudian menyampaikan itu ke Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora, Bambang Tri Joko.
ADVERTISEMENT
Ulum lalu menemui Bambang dan menyampaikan jika Imam ingin dana tambahan dari Satlak PRIMA. Atas permintaan itu, Bambang menyampaikan kepada Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu Satlak PRIMA, dan memberikan uang dengan total Rp 4,9 miliar.
Adapun uang tersebut disampaikan bertahap sebanyak 38 kali. Di antaranya digunakan untuk hal yang unik, seperti membayar tagihan kartu kredit, beli baju, perjalanan ke luar negeri, hingga membayari rombongan kemenpora untuk nonton F1.
"Bulan Maret 2016 dengan nilai sejumlah Rp 75 miliar, diterima Miftahul Ulum dari Anton Asfihani untuk pembayaran tiket masuk F1 rombongan kemenpora," kata Jaksa KPK.
Rp 2 M dari KONI buat bayar jasa konsultan arsitek
Pada 2015, istri Imam, Shobibah Rohmah, dikenalkan dengan Budiyanto dan Intan Kusuma dari Budipradono Arsitek. Shobibah berencana menggunakan jasa mereka untuk merenovasi rumahnya.
ADVERTISEMENT
Pada Juli 2015, kontrak konsultasi arsitek untuk rumah Imam di Cipayung, Jaktim, ditandatangi. Nilai kontrak tersebut mencapai Rp 700 juta dan dibayar dalam empat tahap.
Kemudian, pada September 2016, Shobibah menemui Intan lagi dan minta untuk dibuatkan desain cafe dan butik. Dibutuhkan dana Rp 300 juta dalam permintaan ini. Sementara untuk interiornya Rp 90 juta.
Untuk memenuhi dana itu, Ulum mengontak Lina Nurhasanah dan meminta uang untuk membayar rumah Imam. Lina kemudian menyiapkan uang Rp 2 miliar dari pos anggaran akomodasi atlet Satlak PRIMA. Uang itu kemudian diantarkan ke Ulum.
Kemudian pada Mei 2019, Shobibah kembali memesan desain arsitek rumah di Jagakarsa, Jaksel, dengan luas tanah 3 ribu meter. Rencananya lokasi itu akan dibuat asrama untuk santri, pendopo, dan lapangan bulu tangkis sesuai permintaan Shobibah.
ADVERTISEMENT
Jasa desain keseluruhan dalam rencana pembangunan asrama dan fasilitas itu Rp 815 juta. Pembayaran diduga diambil dari uang Rp 2 miliar yang diterima dari Lina Nurhasanah.
Rp 1 miliar diantarkan oleh Taufik Hidayat
Jaksa menyebut, ada uang Rp 1 miliar yang diberikan dari Pejabat Pembuat Komitmen dalam program Satlak PRIMA, Edward Taufan Pandjaitan, kepada Imam Nahrawi. Dugaan didasari oleh pesan dari Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak PRIMA, Tommy Suhartanto, kepada Taufan terkait adanya permintaan uang dari Imam.
"Kemudian Tommy Suhartanto meminta kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok menyiapkan uang sejumlah Rp 1 miliar untuk diserahkan kepada Terdakwa (Imam) melalui Miftahul Ulum," kata Jaksa.
Pada Agustus 2018, Tommy meminta Asisten Direktur Keuangan Satlak PRIMA, Reiki Mamesah, untuk mengambil uang Rp 1 miliar itu dari Edward. Selanjutnya, Reiki kemudian menyerahkan uang itu kepada Taufik Hidayat.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Reiki Mamesah menyerahkan uang tersebut kepada Taufik Hidayat di rumah Taufik Hidayat di Jalan Wijaya 3 No 16 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kemudian uang sejumlah Rp 1 miliar tersebut diberikan oleh Taufik Hidayat kepada Terdakwa (Imam) melalui Miftahul Ulum di rumah Taufik Hidayat," kata Jaksa.
Jaksa tak menjelaskan lebih lanjut apakah Taufik mengetahui uang tersebut merupakan gratifikasi yang diberikan kepada Imam dari program Satlak PRIMA. Namun, Taufik pernah dipanggil dan diperiksa oleh KPK terkait kasus ini.
Rp 400 juta dari PPON
Pada 2018, Deputi Bidang IV Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, dimintai oleh Imam uang honor dari Satlak PRIMA. Kemudian, Mulyana membahas hal itu dengan PPK Satlak PRIMA Chandra Bakti dan PPK PPON Supriyono dan menyepakati pemberian uang Rp 400 juta untuk Imam.
ADVERTISEMENT
Uang itu diberikan melalui Ulum oleh Supriyono di area parkiran masjid di Komplek Kemenpora tanpa tanda terima disaksikan oleh Mulyana. Beberapa hari kemudian, Mulyana sampaikan uang itu sudah diberikan ke Ulum dan Imam menjawab "terima kasih".
Dari lima sumber utama gratifikasi itu, jaksa meyakini bahwa Imam telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Menpora. Ia didakwa menerima gratifikasi sejumlah Rp 8,6 M.
"Bahwa sejak terdakwa selaku Menpora RI menerima gratifikasi yang seluruhnya Rp 8.648.435.682 melalui Miftahul Ulum, terdakwa tidak pernah melaporkan ke KPK sampai batas waktu 30 hari," kata Jaksa.
"Perbuatan tersebut haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku Menpora RI periode 2014-2019 dan berlawanan pula dengan kewajiban atau tugas terdakwa selaku penyelenggara negara," pungkas Jaksa.
ADVERTISEMENT