Fakta-fakta dan Disinformasi Aliansi Dokter Dunia soal COVID-19

28 Oktober 2020 7:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi hoaks Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hoaks Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rekaman video tujuh dokter yang mengaku tergabung dalam Aliansi Dokter Dunia di Eropa menggemparkan jagat media sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam video 'Doctors in Video Falsely Equate COVID-19 With a ‘Normal Flu Virus' berdurasi 30 menit, mereka menuding virus corona jenis baru, SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, tak lebih dari sekadar flu biasa.
Kelompok ini mengeklaim sebagai kelompok kesehatan nirlaba independen. Mereka juga membuat petisi agar negara-negara segera mengakhiri lockdown. Ketika mengumumkannya ke publik lewat video, seluruh dokter itu tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak.
"Saya ingin menyatakan bahwa tidak ada pandemi atau epidemi medis," kata salah satu dokter, Elke de Klerk.
"Kami adalah dokter, ilmuwan dan aktivis, kami semua menilai peristiwa COVID-19 tidak benar. Kami memiliki tugas untuk menyampaikan kebenaran," kata Heiko Schoning, yang mengaku ahli bedah.
ADVERTISEMENT
YouTube telah menghapus video tersebut. Sayangnya, video itu sudah menyebar di platform lain di banyak negara, seperti Facebook, Instagram, hingga WhatsApp.
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Shutterstock
Cek Fakta
Per 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan COVID-19 adalah pandemi. Status ini berdasarkan pengamatan bahwa COVID-19 disebabkan oleh virus baru yang telah menyebabkan 118.000 kasus positif di 114 negara pada bulan Maret.
Hingga Oktober 2020, WHO melaporkan lebih dari 43 juta kasus positif dan lebih dari 1 juta kematian. Distribusi geografis COVID-19 menunjukkan semua wilayah di dunia terpengaruh, meskipun dalam tingkat yang berbeda.
Dilansir situs jaringan ilmuwan global yang memeriksa fakta kesehatan dan berita medis, healthfeedback.org, COVID-19 menyebabkan peningkatan kematian di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Perbandingan jumlah kematian dari semua penyebab penyakit pada tahun 2020 dengan rata-rata kematian pada tahun-tahun sebelumnya menunjukkan adanya kematian berlebih di negara-negara yang beragam, seperti Ekuador, Inggris, dan Rusia.
"Oleh karena itu, tidak tepat untuk mengeklaim bahwa situasi saat ini tidak memenuhi syarat sebagai pandemi," tulis healthfeedback.org.
Pengunjung mengenakan masker berjalan di Seaside Heights, New Jersey, Amerika Serikat. Foto: AFP/Kena Betancur
Klaim berikutnya adalah soal COVID-19 yang dianggap sebagai flu biasa adalah tidak akurat. Masih melansir healthfeedback, COVID-19 adalah infeksi saluran pernapasan akibat virus SARS-CoV-2.
SARS-CoV-2 masuk ke dalam kelompok virus bernama Coronaviridae. Ini adalah klasifikasi yang sama dengan SARS-CoV-1 penyebab SARS.
Di sisi lain, flu disebabkan oleh empat virus influenza: Alphainfluenzavirus, Betainfluenzavirus, Deltainfluenzavirus, dan Gammainfluenzavirus. Semuanya tergolong dalam kelompok Orthomyxoviridae. Genom mereka juga terbuat dari RNA, tetapi berbeda dengan keluarga Coronaviridae.
ADVERTISEMENT
CDC menyebutkan, flu dan COVID-19 berbeda dalam jenis atau durasi gejala dan kategori pada orang yang berisiko. Misalnya, pada COVID-19, kebanyakan orang akan merasakan anosmia atau kehilangan indera penciuman.
Ilustrasi virus corona di China. Foto: STR / AFP
"Oleh karena itu, secara virologi dan klinis, tidak akurat untuk menggambarkan COVID-19 sebagai jenis flu," tulis healthfeedback.org.
Klaim lainnya adalah soal tes PCR yang menghasilkan positif palsu hingga 94 persen. de Klerk menuduh tes PCR tidak dapat diandalkan karena menunjukkan hasil positif palsu atau negatif palsu. Ia mencontohkan yang terjadi di negaranya, Belanda.
Hasil positif palsu terjadi ketika hasil tes menunjukkan adanya SARS-CoV-2 pada orang yang tidak terinfeksi. Sebaliknya, hasil negatif palsu terjadi ketika tes menunjukkan tidak adanya SARS-CoV-2 ketika orang tersebut memang terinfeksi.
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Dokter dan profesor epidemiologi Harvard, Michael Joseph Mina, menegaskan pernyataan tersebut tidak benar.
ADVERTISEMENT
"Banyak hasil yang positifnya terlambat, yang berarti RNA di dalam tubuh masih ada, tetapi virus itu telah 'dibersihkan'. Jadi [meskipun masih ada virus di dalam tubuh], orang-orang ini mungkin tidak menular lagi. Tetapi hasilnya akurat,” kata Mina, dikutip dari Associated Press.
Ketua PB IDI Daeng M Faqih memberikan sambutan pada acara penandatanganan nota kesepahaman antara BPJS dan PB IDI di Kantor PB IDI, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Masyarakat Indonesia sebaiknya abaikan klaim Aliansi Dokter Dunia
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Daeng M Faqih, meminta masyarakat tidak menerima informasi yang sesat pikir dan tak terbukti ilmiah. dr Daeng mengingatkan masyarakat untuk mencari informasi corona seakurat mungkin.
"Harus cerdas dan cermat memilih informasi, informasi yang diambil harus berasal dari sumber yang kredibel, yang berdasarkan data dan dokumen dari penelitian yang sahih.
Dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan, Erlina Burhan, juga meminta masyarakat mengabaikan berita tersebut. Terlebih, kata Erlina, Aliansi Dokter Dunia bukan organisasi dokter resmi.
ADVERTISEMENT
"Itu tidak benar. Banyak disinformasi. Menyesatkan. Abaikan saja. Mereka tidak mewakili organisasi dokter yang resmi," kata Erlina.
dr Erlina Burhan. Foto: Dok. Pribadi
Tanggapan Satgas COVID-19 di Indonesia
Jubir Satgas, Prof Wiku Adisasmito, mengatakan, konten pada video yang disebarkan oleh kelompok Aliansi Dokter Dunia termasuk kedalam misinformasi.
Infografik Keajaiban Cuci Tangan. Foto: kumparan
Kajian misinformasi COVID-19 terdiri dari tiga, yaitu: misinformasi terhadap keyakinan yang bersifat umum, keyakinan terhadap teori konspirasi, dan keyakinan dari agama.
"Konten informasi dalam video ini dapat diidentifikasikan sebagai misinformasi yang muncul dengan menyamakan COVID-19 dengan influenza. Kita tahu penyebab, dinamika transmisi dan akibat dari kedua penyakit tersebut berbeda," kata Prof Wiku.
Prof Wiku Adisasmito. Foto: BNPB
Kata Wiku, hal ini bisa berhubungan dengan adanya empat hal, di antaranya:
ADVERTISEMENT
1) keyakinan terhadap penanganan pandemi
2) kepatuhan untuk mencegah COVID-19 seperti menggunakan masker
3) keyakinan terhadap keamanan vaksin
4) minat untuk melakukan vaksinasi COVID-19
"Oleh karena itu kita perlu memahami situasi/ kondisi terkini dengan melihat perkembangan data yaitu kasus aktif, kasus kematian, maupun kasus kesembuhan baik nasional maupun internasional akibat dari penyakit ini," ujar dia.
Misinformasi dapat mempengaruhi respons individu terhadap informasi. Masyarakat harus didorong untuk mengevaluasi kredibilitas informasi serta merujuk informasi tentang COVID-19 kepada lembaga yang dapat dipercaya seperti WHO, PBB, CDC.
"Di Indonesia tentunya sumber tepercaya diperoleh dari Kemenkes dan Satgas COVID-19," tutup Wiku.
***
Saksikan video menarik di bawah ini
ADVERTISEMENT