Fakta-fakta ‘Dosa’ Etik Terawan: Janjikan Kesembuhan hingga Masih Bisa Praktik

2 April 2022 8:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) merekomendasikan mantan Menkes Terawan Agus Putranto dipecat dari keanggotaan IDI. Sejumlah hal menjadi pertimbangan MKEK untuk memecat Terawan, salah satunya terkait metode pengobatan ‘cuci otak’ untuk penderita stroke.
Seperti apa fakta-faktanya? Berikut yang telah kumparan rangkum:

Rincian ‘dosa’ etik Terawan

Ketua Hukum Bidang Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) PB IDI, Beni Satria, mengungkapkan sejumlah etik yang dilanggar Terawan ketika menerapkan metode pengobatan ‘cuci’ otak untuk penderita stroke. Salah satunya adalah menerapkan tarif yang tinggi kepada pasiennya.
“Bahkan sampai ratusan juta rupiah,” ungkap Beni, Jumat (1/4).
Sebagai informasi, Terawan metode diagnostik Digital Substraction Angiography (DSA) yang dimodifikasinya dengan nama intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias 'cuci otak' (brain washing) untuk penderita stroke.
Selain menerapkan tarif yang tinggi, Terawan juga dinilai mengiklankan metode ‘cuci otak’ secara berlebihan hingga janjikan kesembuhan kepada pasien.
Infografik 4 'Dosa' Etik Terawan. Foto: kumparan

IDI bantah pemecatan Terawan politisasi

Dengan pemecatan ini, Terawan akan bisa kehilangan rekomendasi praktik. Setelah dipecat, Terawan tidak bisa mengobati pasien dengan metode ‘cuci otak’ karena tidak evidence based.
Terkait dugaan pemecatan Terawan sebagai politisasi, Beni membantahnya. Ia menyebut, pemecatan Terawan sudah diproses sejak 2018, sehingga tidak mungkin dipolitisasi.

Terawan masih bisa praktik, tapi bukan ‘cuci otak’

IDI punya waktu 28 hari kerja untuk menjalankan rekomendasi MKEK. Jika rekomendasi MKEK dijalankan IDI, bukan berarti Terawan benar-benar tidak bisa praktik.
Izin praktik Terawan tercatat hingga 5 Agustus 2023, sehingga dia masih bisa praktik. Meski demikian, Terawan hanya bisa melakukan praktik yang sudah based on evidence.
"Kita tetap ingatkan pemerintah dan yang bersangkutan. Terkait tindakan yang bersangkutan utamanya soal tindakan tanpa evidence based," ungkapnya.
"Tapi praktik yang lain dan sudah based on evidence boleh saja. Misalnya membaca hasil radiologi dan ini kewenangannya silakan. Atau beliau CT Scan atau USG, respons IDI silakan," lanjutnya.

Kasus Terawan sebenarnya sudah sejak 2013

Lebih lanjut, Beni mengungkapkan sebenarnya kasus Terawan sudah bergulir sejak 2013 hingga 2016. Namun, Terawan tidak memenuhi panggilan yang dilayangkan IDI sebanyak 5 kali.
Pada Juli 2013, Terawan mulai membuka praktik DSA yang secara ilmu kedokteran belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Sehingga praktik ini dianggap tidak layak.
Pada Agustus 2013, Terawan mendatangi MKEK dan disarankan membuat kajian ilmiah di tempatnya praktik, RSPAD Gatot Soebroto. Meski Terawan menyetujui saran itu, namun MKEK IDI tidak pernah menerima laporannya hingga hari ini.
Kemudian pada 2016, MKEK IDI melaporkan Terawan atas dugaan pelanggaran etik karena telah mempromosikan metode praktiknya dengan berlebihan. Pelanggaran lainnya adalah tidak ada laporan mengenai biaya tarifnya.
Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto saat forum pimpinan Redaksi terkait isu aktual di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (3/3). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan

Klarifikasi IDI soal pemecatan Terawan terkesan lambat

Jalan pemecatan Terawan dari keanggotaan IDI memang bisa dibilang panjang. Beni mengungkapkan, tindak lanjut rekomendasi terkesan lama karena IDI beberapa kali memberikan Terawan kesempatan. Mulai dari klarifikasi hingga penelitian metode pengobatan yang dijalankan.
“Tetapi ternyata tidak [klarifikasi dan penelitian]. Nah, sehingga pemberhentian ini berlarut dan lama sehingga mohon maaf baru kemarin di Muktamar 31 ditetapkan dengan keputusan tetap dari MKEK sesuai dengan hasil Muktamar 31 Banda Aceh,” pungkasnya.