Fakta-fakta Seputar Tragedi Bintaro 1987

19 Oktober 2020 12:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tragedi kecelakaan kereta api di Bintaro pada 19 Oktober 1987. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Tragedi kecelakaan kereta api di Bintaro pada 19 Oktober 1987. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
33 Tahun yang lalu tepatnya di tanggal 19 Oktober 1987, terjadi insiden kecelakaan kereta api yang menewaskan 139 orang dan 254 lainnya mengalami luka berat. Kecelakaan nahas yang dikenal dengan Tragedi Bintaro itu disebut sebagai salah satu sejarah kelam dunia transportasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam kecelakaan ini, rangkaian kereta api Patas Merak jurusan Tanah Abang–Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran (KA 220) bertabrakan dengan kereta api Lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung–Jakarta Kota (KA 225) yang berangkat dari Stasiun Sudimara.
Mengutip wikipedia, berdasarkan keterangan resmi dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), lokasi kecelakaan berada pada km 17+252 lintas Angke–Tanah Abang–Rangkasbitung–Merak. Lokasi tersebut berada pada tikungan S yang diapit Jalan Tol Jakarta–Serpong di barat dan Jalan Tol T.B. Simatupang di timurnya. Lokasi ini juga terletak sekitar 1,5 km di sebelah barat daya TPU Tanah Kusir.
Usai kecelakaan, penyelidikan yang dilakukan menghasilkan sejumlah fakta. Termasuk penyebab dan siapa yang bertanggung jawab dalam tragedi tersebut.

Kelalaian Petugas Stasiun

Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari PPKA Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena tidak ada jalur yang kosong di Stasiun Sudimara.
ADVERTISEMENT

Kecelakaan Terjadi Pada Pagi Hari

Tragedi kecelakaan kereta api di Bintaro pada 19 Oktober 1987. Foto: Dok. Istimewa
Insiden tersebut terjadi pada pagi hari, sekitar pukul 07.00 WIB. Saat-saat di mana kereta dipenuhi sesak para penumpang yang akan beraktivitas. Saat itu KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota mengangkut 1.887 penumpang, melebihi catatan kepadatan maksimal hingga 200 persen. Sehingga banyak penumpang yang memenuhi lokomotif dan atap gerbong.
Sementara KA 220 jurusan Tanah Abang-Merak membawa 478 penumpang dari kapasitas angkut 685 penumpang. Kepadatannya menyentuh angka 72.6 persen, masih dalam batas normal.

Korban Tewas Sulit Dikenali

Ratusan orang meninggal setelah dua rangkaian kereta bertabrakan, paling banyak dari KA 225 yang paling padat penumpangnya.
Korban tewas 139 orang dengan rincian 72 tewas di tempat dan sisanya meninggal sekarat. Dari 139 korban tewas, 113 di antaranya sudah teridentifikasi. Total 254 luka-luka, dengan rincian 170 orang dirawat di rumah sakit dan 84 orang luka ringan.
ADVERTISEMENT

Masinis dan PPKA Jadi Tersangka

Masinis KA 225, Slamet Suradio, divonis 5 tahun penjara dan harus kehilangan pekerjaannya. Ia ditahan di Lapas Cipinang dan bebas pada 1993.
Pada tahun 1994 ia dipecat dari jabatannya sebagai masinis; kemudian Nomor Induk Pegawai Perkeretaapiannya, 120035237, dicabut pada 1996 oleh Departemen Perhubungan Indonesia. Ia pun tidak mendapat uang pensiun.
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Syafei harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun. Sedangkan PPKA Stasiun Sudimara dan Stasiun Kebayoran, Djamhari dan Umrihadi, dihukum 10 bulan penjara.

Awal Revolusi Dunia Transportasi Indonesia

Setelah tragedi nahas tersebut, PJKA dan Menteri Perhubungan berupaya memperbaiki teknologi, kualitas, dan aturan perjalanan kereta api. Antara lain dengan komputerisasi perjalanan kereta, pembuatan rel ganda, dan melarang penumpang naik ke lokomotif dan atap gerbong.
ADVERTISEMENT