Fakta-fakta Unpad Berhentikan Wakil Dekan karena Pernah Gabung HTI

5 Januari 2021 8:21 WIB
Alumni Unpad Peduli Pancasila gelar aksi tolak kader HTI jadi pejabat Unpad. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Alumni Unpad Peduli Pancasila gelar aksi tolak kader HTI jadi pejabat Unpad. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Universitas Padjadjaran (Unpad) memberhentikan Asep Agus Handaka Suryana dari jabatan Wakil Dekan (Wadek) Bidang Sumber Daya dan Organisasi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) pada Senin (4/1). Musababnya, Asep pernah bergabung dengan organisasi yang dilarang pemerintah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
ADVERTISEMENT
"Betul. Itu sebabnya hal ini sempat luput dari perhatian karena organisasinya sudah bubar sejak beberapa tahun yang lalu," kata Kepala Kantor Komunikasi Publik Unpad, Dandi Supriadi, saat dikonfirmasi kumparan, Senin (4/1).
Pada tahun 2014, Asep pernah menjabat sebagai Ketua DPD II HTI Kota Bandung. Namun, pada 8 Mei 2017, pemerintah memutuskan membubarkan HTI dan menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang.
Asep akhirnya diberhentikan dari jabatan Wadek dua hari setelah dilantik pada Sabtu. Unpad baru mendapatkan informasi, Asep memiliki rekam jejak pernah menjadi pengurus HTI usai pelantikan pada 2 Januari lalu.
Alumni Unpad Peduli Pancasila gelar aksi tolak kader HTI jadi pejabat Unpad. Foto: Dok. Istimewa
Unpad mengaku berkomitmen jaga keutuhan NKRI
Selama proses pemilihan wadek fakultas, rekam jejak Asep sebagai eks-HTI tidak ditemukan dan tidak pernah disampaikan kepada pimpinan Universitas.
ADVERTISEMENT
"Karena Unpad berkomitmen untuk turut serta dalam menjaga keutuhan NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, maka penggantian dilaksanakan sesegera mungkin," ujar Dandi.
Asep tetap menjadi dosen
Selanjutnya, rektor Unpad mengangkat Eddy Afrianto sebagai pengganti Asep sesuai Surat Keputusan Rektor No. 87/UN6.RKT/Kep/HK/2021. Setelah diberhentikan, Asep tetap berstatus sebagai dosen di FPIK.
"Penggantian ini dilakukan sebagai upaya Unpad untuk konsisten menjaga integritas kebangsaan, walaupun yang bersangkutan (Asep) saat ini tidak lagi aktif dalam organisasi yang sudah dibubarkan tersebut. Yang bersangkutan juga memaklumi hal itu dengan penuh kesadaran," kata Dandi.
"Penggantian pejabat ini tetap dilakukan sebagai konsekuensi komitmen Unpad dalam mendukung keutuhan NKRI yang berazaskan Pancasila dan UUD 45. Artinya ini merupakan tindakan preventif yang rasional, dan juga sangat dimengerti dan dimaklumi oleh beliau, sehingga penggantian ini dapat diterima dengan sangat baik oleh yang bersangkutan," ujar Dandi.
ADVERTISEMENT
Tak ada pemecatan
Dandi mengaku institusinya akan mengevaluasi seluruh ASN di Unpad yang pernah bergabung dengan HTI. Dandi memastikan, sejauh ini, Unpad belum memutuskan untuk memecat para ASN yang pernah bergabung dengan HTI.
"Evaluasi pasti ada, namun pada prinsipnya, kami sejauh ini tidak memiliki kebijakan untuk memecat pegawai tanpa adanya tindakan merugikan Unpad atau adanya pelanggaran etika," ujar Dandi.
Gedung Universitas Padjadjaran. Foto: Wikipedia
Ada masukan dari alumni untuk berhentikan Asep
Pengangkatan Asep sebagai Wadek sempat digaungkan oleh sejumlah alumni Universitas Padjadjaran (Unpad). Salah satu desakan pemberhentian Asep muncul melalui pesan yang beredar dan mengatasnamakan Alumni Unpad Peduli Pancasila.
Mereka menyesalkan pengangkatan Asep sebagai dekan karena pernah tergabung dalam HTI. Dandi pun membenarkannya.
ADVERTISEMENT
"Memang benar ada banyak masukan dari alumni dan berbagai pihak untuk melakukan tindakan segera terhadap kasus ini," ungkap Dandi.
Meski demikian, Dandi menampik pihak universitas mengambil keputusan karena tekanan pihak alumni. Menurut Dandi, masukan pihak eksternal untuk melengkapi dasar pengambilan keputusan dari kampus.
"Namun, keputusan Unpad bukan dibuat karena tekanan dari pihak mana pun, melainkan berdasarkan komitmen Unpad dalam mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan masalah kebangsaan," kata Dandi.
KASN mendukung
Komisioner Komite Aparatur Sipil Negara (KASN), Rudiarto Sumarwono, mengaku institusinya mendukung langkah Unpad. Menurutnya, pemerintah pada tahun 2019 telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme pada ASN.
"Di dalam SKB tersebut dijelaskan berbagai jenis pelanggaran. Mulai dari penyampaian pendapat terkait organisasi terlarang sampai dengan keikutsertaan dengan organisasi tersebut," ujar Rudiarto.
ADVERTISEMENT
Terkait sanksi yang harus diberikan kepada Asep Agus karena pernah bergabung dengan HTI, Rudiarto tak mau berkomentar. Karena menurut dia, harus melihat dari jenis pelanggaran dan rekomendasi Satgas Kementerian terkait.
"Ada pun pertanyaan yang diajukan terkait salah satu dosen yang pernah bergabung pada HTI, kami melihat dari jenis pelanggaran dan rekomendasi hasil pemeriksaan baik dari Satuan Tugas Radikalisme maupun dari Majelis Kode Etik di instansi yang bersangkutan," ujar Asep.
Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara, Rudiarto Sumarwono. Foto: Komisi Aparatur Sipil Negara
Kritik dari banyak pihak
Sikap Unpad yang memberhentikan Asep mendapat kritik dari sejumlah pihak. Salah satunya dari Anggota Komisi X F-PKS, Ledia Hanifah Amaliah.
PKS
"Pengangkatan seseorang semestinya berkaitan erat dengan kompetensi dan jenjang karier," kata Ledia saat dimintai tanggapan, Senin (4/1)
ADVERTISEMENT
"Sementara juga perlu diingat pemberhentian dosen atau dekan atau Wadek atau apa pun tenaga pendidik di lingkungan sekolah dan kampus tentu harus dilandasi alasan yang jelas dan tepat," tambah Ledia.
Ledia mempertanyakan alasan Unpad memberhentikan Asep karena HTI. Sebab, HTI sudah dibubarkan.
"Apalagi untuk mahasiswa dan kalangan akademisi salah satu pembuktian teori ilmiah yang mereka pelajari di antaranya dengan interaksi di masyarakat dan organisasi," papar Sekretaris Fraksi PKS DPR itu.
"Kalau organisasi sudah dibubarkan, apa yang menjadi landasan seseorang disebut anggota organisasi?" kata Ledia.
ELSAM
Ketua Badan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Herlambang P Wiratraman, mempertanyakan keputusan Unpad ini. Herlambang mempertanyakan apakah Unpad sudah melakukan proses kode etik dengan baik dan benar sebelum mencopot Asep.
ADVERTISEMENT
"Artinya pesan yang saya mau bilang, apakah ada proses di internal secara melanggar kode etiklah, atau melanggar hukum kah itu diselenggarakan? Secara lebih bisa dipertanggung jawaban. Jadi harus ada proses itu," ucap Herlambang.
"Sabtu dilantik, Senin kebijakan keluar, harusnya karena secara internal, organisasi harusnya lebih yang dibilang tegas, prosesnya juga harus bisa pertanggungjawabkan. Jadi harus ditanya dulu seperti apa partisipasi atau keterlibatan seperti itu," tambah Herlambang.
Herlambang meminta proses yang dilakukan Unpad dalam pemberhentian Asep sudah dilakukan dengan baik dan benar. Jangan sampai pemberhentian ini karena tercampur politisasi.
"Karena sejauh yang saya pahami surat itu engga menjelaskan detail alasan kecuali kekhawatiran akan bertentangan dengan NKRI. Nah apa itu yang dikaitkan bertentangan dengan NKRI? Contoh apakah menolak Omnibus Law apakah juga menolak NKRI?" tutup Herlambang.
Kepala Biro Riset dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar menyampaikan catatan 100 Hari Kerja Jokowi - Ma'ruf di kantor KontraS, Jakarta, Senin (27/1). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
KontraS
ADVERTISEMENT
Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar, turut mempertanyakan prosedur Unpad dalam mencopot jabatan Agus. Artinya, fit proper test calon wakil dekan FPIK tidak dilakukan dengan baik.
"Kalau misal dia sudah terpilih dan dia dicopot berarti harus dipertanyakan mekanisme fit and proper test-nya apakah berjalan atau tidak? Kalau dilihat dari keterangan ini, kelihatan fit propernya tidak berjalan," kata Rivanlee.
Rivanlee menjelaskan, jika fit and proper test dijalankan dengan baik, maka track record Agus yang pernah ikut menjadi anggota HTI sudah diketahui sebelum pemilihan.
"Makanya kalau HTI dipermasalahkan, yang harus diberi tanggung jawab lebih ya panitia seleksi jadi panitia seleksi ada dewan kehormatan, itu harus dicek fit and propernya gimana terus track record gimana? Ingat dia dicopot setelah dipilih jadi ada indikasi yang bersangkutan mungkin dicopot sewenang-wenang," jelas Rivanlee.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kasus ini, KontraS melihat masih ada stigmatisasi buruk terhadap satu kelompok tertentu. KontraS meminta pemerintah harus belajar dari sejarah. Sebab masalah ini akan memilik dampak panjang hingga anak cucu.
"Stigmatisasi terhadap kelompok tertentu berulang, kalau dulu sempat ada isu PKI, yang hari ini HTI mungkin ke depan ada FPI juga. Padahal perlu ditelisik lagi sebetulnya mereka ikut organisasi kapan? Apakah masih berdampak hingga hari ini? Jadi harus detail," tutur Rivanlee.