Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Fakta-fakta Warga Tambun yang Rumahnya Digusur Meski Punya SHM, Kini Melawan
3 Februari 2025 7:15 WIB
ยท
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
PN Cikarang Kelas II melakukan eksekusi pengosongan lahan mulai rumah tinggal, bengkel, warung makan hingga cluster Setia Mekar Residence 2 di Tambun Selatan, Bekasi.
ADVERTISEMENT
Humas PN Cikarang Kelas II, Isnanda Nasution mengatakan, pihaknya melakukan eksekusi, berdasarkan delegasi dari Pengadilan Negeri Bekasi, yang tercantum dengan putusan awal nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
"Proses persidangan awalnya PN Bekasi, karena sudah berpisah jadi yang melaksanakan di sini namanya eksekusi delegasi. Prosesnya sudah berkekuatan hukum di tingkat Mahkamah Agung, jadi ini hanya berupa pengosongan," kata dia, dikutip Minggu (2/2).
Warga Melawan
Warga Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, melawan. Mereka mengajukan gugatan balik ke PN Cikarang atas penggusuran yang dilakukan Mimi Djamilah.
Salah satu warga cluster Setia Mekar Residence 2, Abdul Bari (40 tahun), mengatakan gugatan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Cikarang pada 17 Januari lalu. Mereka menggugat pemenang sengketa lahan Mimi Djamilah.
ADVERTISEMENT
Kasus sengketa lahan itu membuat warga yang tinggal di sana digusur meski memiliki sertifikat hak milik (SHM). Cluster Setia Mekar Residence 2 menjadi yang terdampak.
"17 Januari kita datang di PN untuk meminta klarifikasi sekaligus masuk gugatan perlawanan," kata Bari saat ditemui, Minggu (2/2).
Bari melanjutkan, masalah ini perlu diselesaikan di meja hijau, tak bisa hanya melalui musyawarah. Langkah gugatan perlawanan ini pun dinilai bisa menjadi payung hukum bagi mereka untuk kembali mendapatkan haknya.
"Kita kan punya hak sebagai warga negara untuk melakukan upaya-upaya hukum terhadap hasil keputusan," ujarnya.
Namun, ia menyayangkan, meski ada gugatan yang sudah terdaftar penggusuran tetap dilakukan. Padahal persidangan terkait gugatannya itu baru akan dilakukan pada Senin (10/2) mendatang.
ADVERTISEMENT
"Tapi ya entah dalam tanda kutip sudah terkondisi ya. Sudah tercipta kondisi yang sedemikian rupa sehingga suara-suara yang kami sampaikan sama pengadilan negeri sekarang itu enggak digubris. Istilahnya hanya sebatas pepesan kosong," ungkap Bari.
Cerita Warga di Bekasi Dapat Surat Eksekusi Pengosongan tapi Cek BPN Tak Masalah
Salah satu warga yang terdampak pengosongan lahan meski telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) di cluster Setia Mekar Residence 2, di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, adalah Abdul Bari (40 tahun). Dia mengungkapkan sempat heran saat menerima surat eksekusi pengosongan lahan dari PN Cikarang Kelas II.
Eksekusi dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor, 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997. Eksekusi itu dilakukan pada Kamis (30/1) lalu.
ADVERTISEMENT
Surat pemberitahuan eksekusi itu diterimanya pada 18 Desember 2024 lalu. Setelah menerima surat itu, ia kemudian melakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Setelah saya terima surat pemberitahuan eksekusi, kita datang ke BPN. Kita melakukan pengecekan SKPT melalui loket dan resmi," ujar Bari saat ditemui di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (2/2).
"Hasilnya apa? Tidak terjadi apa-apa masalah. Tapi, kita terima surat pemberitahuan eksekusi," jelas dia.
Pengecekan itu dilakukan sembilan hari sebelum eksekusi atau pada 21 Januari 2025. Namun, ia mengaku heran dengan kondisi yang menyatakan tanahnya tidak terblokir. Menurutnya, hal itu justru kontradiktif dengan yang diputuskan oleh pengadilan.
"Ini, kan, dua hal yang kontradiktif gitu. Antara putusan pengadilan kemudian pengadilan negeri sekarang sebagai pelaksana eksekusi dengan ATR/BPN yang mengatakan tanah ini enggak bersengketa," katanya.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena kita, nih, warga korban akibat putusan. Jadi timbul efek domino," imbuh dia.
Ia juga mengaku tak mengetahui duduk perkara hingga akhirnya rumah yang ditempatinya ternyata sempat bersengketa sejak 1996 silam.
"Ya, [tahunya tanah sengketa] pas dapat surat dari PN. Ya kalau kita tahu dari awal kita enggak bakal beli tanah," ungkapnya.
Sehingga, saat menerima surat eksekusi itu, Bari bersama penghuni lainnya yang terdampak merasa kaget. Pasalnya, ia tak pernah dilibatkan dalam persidangan sengketa tanah itu.
"Ya karena kita tidak pernah terlibat dalam persidangan. Kita tidak pernah diundang oleh majelis hakim untuk memberikan keterangan sama sekali, tidak pernah," ucapnya.
"Tapi, tiba-tiba menerima pemberitahuan akan pelaksanaan eksekusi pengosongan lahan berdasarkan putusan nomor 128 PN Negeri Bekasi," tandas dia.
ADVERTISEMENT
Cerita Warga soal Sertifikat 325
Salah satu yang terdampak eksekusi pengosongan lahan itu adalah warga bernama Abdul Bari (40 tahun).
Bari tak terima lahan yang ditempatinya diminta untuk dikosongkan. Padahal, kata dia, tanah yang dibelinya itu tidak ada masalah saat dilakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Sebenarnya kita ini warga yang bertempat tinggal di atas tanah itu, itu adalah korban yang terkena efek domino, akibat kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah pengadilan," ujar Bari saat ditemui di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (2/2).
"Kenapa kita katakan kami ini merupakan korban? Korban dari efek domino, karena ada salah satu hal yang harusnya dipenuhi oleh pengadilan ketika persidangan, itu tidak terpenuhi," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang terdampak eksekusi pengosongan lahan itu adalah warga bernama Abdul Bari (40 tahun).
Bari tak terima lahan yang ditempatinya diminta untuk dikosongkan. Padahal, kata dia, tanah yang dibelinya itu tidak ada masalah saat dilakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Sebenarnya kita ini warga yang bertempat tinggal di atas tanah itu, itu adalah korban yang terkena efek domino, akibat kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah pengadilan," ujar Bari saat ditemui di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (2/2).
"Kenapa kita katakan kami ini merupakan korban? Korban dari efek domino, karena ada salah satu hal yang harusnya dipenuhi oleh pengadilan ketika persidangan, itu tidak terpenuhi," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Pertemuan antara Kayat dan Djuju pun terjadi lewat perantara Bambang Heryanto. Dalam pertemuan itu, kata Bari, Djuju telah menekankan bahwa SHM nomor 325 tersebut telah dibatalkan transaksinya.
Hal itu juga lantaran saat pembayaran SHM itu tidak lunas, Bari menceritakan bahwa Abdul Hamid justru membawa kabur SHM itu.
"Setelah dibayar sama Abdul Hamid dan tidak lunas, dikasih DP maksudnya, dikasih DP, sertifikat itu dibawa sama Abdul Hamid. Tapi enggak pulang-pulang dan tidak terjadi pembayaran lanjutan," ucap Bari.
Bahkan, lanjutnya, Djuju membuat laporan polisi di Polda Metro Jaya pada tahun 1991. Laporan itu terkait dengan penggelapan SHM nomor 325.
Singkat cerita, transaksi akta jual beli pun terjadi antara Djuju kepada Kayat. SHM itu kemudian dibalik nama oleh Kayat. Tanah itu lalu dijual lagi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Bari menyebut lantaran luasnya mencapai 3,6 hektare, tanah tersebut tidak mungkin dijual secara keseluruhan.
"Jadi, dipecahlah oleh Kayat menjadi empat bidang, [SHM nomor] 704, 705, 706, dan 707 atas nama Kayat," tutur Bari.
Tanah itu kemudian diperjualbelikan kepada banyak pihak, salah satunya yakni kepada Bari. Sehingga, terbit sertifikat turunan di bawah induk SHM nomor 325.