Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Fakta Lain Praktik Kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan
26 Januari 2018 20:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Para warga yang tertangkap dan diduga terlibat pemberontakan melawan pemerintah Belanda diadu untuk berkelahi. Adu manusia ini diorganisir oleh perwira tinggi militer Belanda. Siapa menang dijanjikan selamat. Siapa kalah langsung didor di tempat.
ADVERTISEMENT
Dua perwira yang bertanggung jawab atas praktik kejam adu manusia ini adalah Kolonel Raymond Westerling (sumber-sumber di Indonesia mencatatnya sebagai Kapten Westerling, red) dan Kapten Berthold Eduard Rijborz.
Dua praktik penyelenggaraan adu manusia itu telah disebut dalam laporan yang disusun oleh ahli hukum C. van Rij dan W. Stam (1954) atas penugasan pemerintah Belanda mengenai praktik penyimpangan di Sulawesi Selatan.
Tapi laporan tersebut raib di laci alias dipetieskan, sebagaimana laporan Excessennota 1969. Akibatnya praktik adu manusia ini kurang mendapat perhatian.
“Sebelas orang ahli waris berasal dari tiga desa di Sulawesi Selatan tempat adu manusia itu terjadi, kini menggugat pemerintah Belanda,” demikian dilansir De Trouw, seperti dikutip kumparan Den Haag (kumparan.com), Jumat (26/1).
ADVERTISEMENT
Dua investigator Tineke Bennema dan Yvonne Rieger-Rompas telah memetakan empat kasus. Mereka juga berhasil menemukan para keluarga korban dan saksi-saksi.
“Sekitar lima ronde mereka bertarung seperti pada pertandingan tinju. Ketika ‘wakil’ (kepala desa) terluka pada mulutnya dan jatuh tersungkur, dia ditembak mati oleh Kapten,” bunyi laporan.
Kesebelas ahli waris hendak menggugat negara Belanda atas dua kasus adu manusia, kekerasan dan eksekusi massal di sekitarnya. Mereka didampingi advokat senior Prof. Liesbeth Zegveld, yang telah lebih dulu sukses memenangkan perkara gugatan melawan negara Belanda dalam kasus pembantaian Rawagede.
Zegveld terlebih dulu akan melayangkan surat untuk menyelesaikan kasus di luar pengadilan. Jika Belanda mengabaikan dan tidak bersedia memberi ganti rugi kepada ahli waris, maka Zegveld akan melanjutkan perkara ke pengadilan, sebagaimana pada kasus-kasus sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu ahli waris korban yang hendak menggugat adalah Ambo Asse (80 tahun), yang hingga saat ini masih tinggal di Lisu, sebuah desa yang dikelilingi sawah dan hutan. Saat peristiwa terjadi, Asse masih berusia 10 tahun dan menjadi saksi kekejaman adu manusia dan pembantaian massal di desa tersebut, 7 Februari 1947.
“Semua warga desa pagi-pagi buta digiring menuju pasar oleh pasukan militer Belanda dari KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, red) di bawah pimpinan ‘seseorang dengan syal warna merah dan tanpa topi pet,” kisah Asse.
Para prajurit KNIL menginterogasi warga siapa pemimpin mereka dan pemimpin ini harus menunjukkan siapa yang terlibat dalam pemberontakan.
“Labu, seorang yang bertubuh kurus ditunjuk oleh Beddu Tjolle, yang posturnya lebih besar dari Labu. Tapi Labu protes dan mengelak tidak terlibat pemberontakan. Karena tidak ada kejelasan, maka komandan pasukan memerintahkan orang-orang desa untuk bertarung satu sama lain, diadu,” imbuh Asse.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, lanjut Asse, Beddu Tjolle menang. Labu yang kerempeng jatuh terkapar di tanah, lalu ditembak mati di tempat.
Sebagian dari warga yang dikumpulkan kabur melarikan diri. Pasukan tentara KNIL kemudian menunjuk tujuh orang warga untuk mencari mereka yang kabur dan dijanjikan bahwa mereka tidak akan dieksekusi. Tapi mereka akhirnya ditembak mati juga.
“Aku masih anak-anak. Aku menyaksikan semua eksekusi, tapi belum paham. Tentara Belanda sering kami lihat, mereka kadang datang untuk memancing ikan. (Pembantaian) Itu terjadi sekonyong-konyong. Ayahku berhasil kabur menyelamatkan diri, tapi hingga kini hilang tak pernah kembali. Mayat-mayat warga yang dieksekusi dijemput oleh keluarga dan itu berlangsung hingga malam hari,” papar Asse.
Dalam laporan Van Rij dan Stam (1954) mengenai penyimpangan di Sulawesi Selatan, ternyata komandan yang dimaksud adalah Kolonel Westerling, meskipun Westerling membantah bahwa dialah yang memprakarsai adu manusia tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, Westerling mengakui bahwa selama berlangsung interogasi warga, dia tampil sebagai ‘Openbaar Ministerie, rechter en beul' (jaksa, hakim dan algojo sekaligus, red).
Kini di tempat terjadi pembantaian massal di desa itu berdiri monumen dengan 47 nama korban. Iabu berada di urutan ke-16.
Latar dari peristiwa di Sulawesi Selatan ini adalah operasi pembersihan oleh KNIL dari satuan Depot Speciale Troepen/DST (Pasukan Khusus Cadangan, semacam Kostrad, red), yang kelak di Indonesia dikenal sebagai peristiwa Pembantaian Westerling.
Operasi pembersihan oleh Westerling dan pasukannya ini sudah cukup sering disorot, namun praktik adu manusia, yang hanya diketahui di kalangan terbatas, selama ini belum pernah mendapat perhatian luas.
Pada saat itu Luitenant-Gouverneur-Generaal (Letnan Gubernur Jenderal) Huib van Mook memberlakukan negara dalam keadaan perang di Sulawesi Selatan (Desember 1946), karena perlawanan hebat dari pasukan TNI yang menentang masuknya kembali Belanda setelah Indonesia diproklamirkan merdeka. Westerling pun ditugaskan untuk memimpin pasukan komando khusus, DST.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Westerling atas persetujuan diam-diam dari otoritas militer, hukum dan sipil setempat mengembangkan apa yang kelak dikenal sebagai “Metode Westerling” yakni menggiring warga ke lapangan atau pasar desa, menggeledah senjata serta tersangka, lalu eksekusi di tempat jika semua itu ditemukan.
Langkah berikutnya berbicara di hadapan warga, setelah itu dari kalangan warga sendiri akan menunjukkan siapa saja gerilyawan, lalu dieksekusi. Westerling oleh pemerintah diberi noodrechtsbevoegdheid (kewenangan hukum darurat, red), bentuk eufemisme dari izin untuk mengeksekusi tembak mati di tempat.
Meskipun saat itu ada pemberitaan mengenai pembantaian massal yang dilakukan oleh Westerling pada Desember 1946, namun pemerintah pusat di Batavia justru memperluas kewenangan hukum darurat tersebut per 6 Januari 1947. Pemerintah menilai Metode Westerling efektif membuahkan hasil, juga Kapten KNIL Berthold Eduard Rijborz diberi kewenangan serupa, sebagaimana perwira atasannya, Mayor KNIL Jan Stufkens dan Kapten Jan Vermeulen dari satuan komando DST.
ADVERTISEMENT
Pada tahapan pertama atas apa yang disebut pasifikasi dan pembersihan sampai awal Januari 1947, pasukan Belanda masih mencari para gerilyawan dengan berbekal daftar nama, namun sesudahnya mereka menangkapi orang-orang berdasarkan informasi dari warga. Menurut sejarawan Rémy Limpach, hanya dalam tempo dua pekan saja Kapten Rijborz dan Mayor Stufkens diduga telah membunuh 700 orang-orang tak bersalah.
Pada tahapan kedua, tindakan diambil berdasarkan petunjuk: satu kata, cekcok atau pertikaian antar warga itu sudah cukup untuk dieksekusi oleh pasukan Belanda. Akibat saling tuding sesama warga maka timbullah pertengkaran di antara orang-orang yang tidak bersalah. Pasukan tentara Belanda tidak melerai mereka, tapi membiarkan yang menuding dan dituding saling duel.
Van Rij dan Stam menganggap Kolonel Westerling, yang memulai adu manusia, bertanggung jawab atas beberapa pertarungan. Westerling mengakui bahwa memang ada duel semacam itu (tempat dan tanggal tak diketahui), tapi berdalih itu antar orang-orang yang mencuri dan dihajar sampai mati. Kepada warga, Westerling mengatakan bahwa dia ingin orang-orang tersebut merasakan apa yang telah mereka perbuat terhadap para korban mereka. Westerling kemudian memutuskan kedua pihak dibunuh. Juga di bawah komando Mayor Stufkens terjadi hal serupa.
ADVERTISEMENT
Untuk peristiwa di desa Koelo dan Amparita, dua tempat yang menurut laporan Van Rij dan Stam serta Excessennota 1969 menjadi tempat berlangsungnya adu manusia, disimpulkan bahwa Kapten Rijborz merupakan penanggung jawab akhir.
“Juga seandainya pun Kapten ini tidak menyuruh orang untuk saling baku pukul, namun dia bertanggung jawab atas tidak mengambil tindakan apa pun untuk melerai,” bunyi laporan Van Rij dan Stam.
Duel adu manusia di dua tempat itu terjadi pada saat berlangsungnya pembantaian massal di kedua tempat tersebut. Di desa Koelo sebanyak 83 orang dieksekusi pada 9 Februari 1947 dan di Amparita jatuh korban sebanyak 55 orang pada 3 Maret 1947. Ini terjadi di bawah komandan Kapten Rijborz, yang mendapat tugas dari Mayor Stufkens pada 5 Februari 1947 untuk melakukan operasi pembersihan kawasan Sidenreng-Rappang, tapi dia membantah telah menyelenggarakan praktik adu manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan, Letnan Johan Molenkamp memberi kesaksian bahwa di desa Koelo di bawah komandan Kapten Rijborz penunjukan para korban dilakukan oleh warga dan Molenkamp ‘dalam operasi ini melihat dua orang Indonesia bertarung’. Kemudian dia mendengar bahwa hal itu merupakan semacam “godsoordeel”, yakni praktik peradilan di masyarakat Barat pada abad pertengahan melalui pertarungan di mana kehendak Tuhan ditetapkan untuk menentukan siapa benar, siapa salah. Molenkamp menggambarkan adu manusia di Koelo berlangsung dengan kacau.
Lain di Koelo, lain pula di Amparita. Amparita, adalah desa yang lebih besar dari Koelo, sekitar 100 km dari Lisu. Di desa ini adu manusia warga setempat dilaporkan lebih terorganisir, ada sistem ronde, jeda, dan ada penonton. Di lokasi adu manusia itu kini berdiri sebuah masjid.
ADVERTISEMENT
La Mude Benga (89 tahun), saksi mata dari peristiwa adu manusia oleh tentara KNIL tersebut, mengisahkan:
“Tentara Belanda masuk desa dalam kendaraan terbuka pada pukul empat pagi buta. Di antara mereka ada polisi dari sini, namanya La Kille. Mereka berteriak agar kami semua turun ke bawah (rumah warga berupa rumah panggung) dan duduk di tengah pasar desa membentuk huruf U,” ujar Benga.
Laporan Van Rij dan Stam membenarkan bahwa atas perintah Kapten Rijborz warga mulai saling menunjuk, disusul eksekusi di tempat di depan mata warga desa. Pertengkaran sesama warga pun pecah saat salah satu menunjuk yang lain dan membantah dia bukan termasuk pemberontak (gerilyawan, red).
Kemudian, lanjut Benga, si Kapten (Rijborz) memanggil ‘wakil’ (kepala desa) dan warga bernama La Kadetjing, lalu mengatakan mereka harus berkelahi. Siapa menang, dia yang benar. Siapa kalah, dia yang salah dan harus ditembak mati di tempat. Semua prajurit siaga menodongkan senjata dan mengambil posisi melingkar untuk menonton.
ADVERTISEMENT
Setiap kali mereka kelelahan, para prajurit Belanda akan memisahkan, untuk selanjutnya mulai duel lagi. Sekitar lima ronde mereka bertarung sebagaimana dalam pertarungan tinju. Ketika ‘wakil’ terluka di mulutnya dan jatuh terkapar ke tanah, dia ditembak mati oleh Kapten.
Kapten KNIL Berthold Eduard Rijborz dilahirkan di Surakarta dan masuk dinas militer pada 1921. Pada saat dia berusia 33 tahun, Mahkamah Militer pernah memvonis Rijborz dengan hukuman penjara 1,5 bulan karena kasus pemukulan yang berujung kematian korban.
Pada saat pendudukan Jepang, Rijborz ditangkap dan menjadi tawanan, antara lain di kamp tawanan Jepang di Singapura dan dijadikan tenaga kerja paksa romusha untuk membangun jalur kereta api Jepang di Burma.
Anak buah Rijborz menilai dia orang yang kurang menyenangkan dan sangat ditakuti. Sementara atasannya mendapati dia menderita depresi, obsesif, dan kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Dia juga memiliki sifat sadistis.
ADVERTISEMENT
Rijborz tidak bisa menerima ruang manuver sangat terbatas seperti pada tentara reguler KNIL dibandingkan kewenangan-kewenangan khusus pasukan komando DST. Dia menginginkan kewenangan hukum darurat, kekuasaan penuh, yang akhirnya dia peroleh dari otoritas tertinggi militer.
Kapten Rijborz melalui keputusan Commissie Onderscheidingen (Komisi Penganugerahan Bintang Tanda Jasa, red) di Batavia memperoleh penghargaan Bronzen Leeuw pada 4 Agustus 1947.
Nama Rijborz masuk ke Komisi atas rekomendasi dari atasannya yakni Mayor Stufkens. Dalam berkasnya tak satu pun dilaporkan catatan kelam bahwa dia pernah dihukum penjara.
Namun, Jenderal Spoor dalam draft mencantumkan catatan dengan pensil, ”Tahan dulu rekomendasi ini, karena masih ada kasus terhadap Rijborz sehubungan dengan sepak terjangnya, sekarang dalam penanganan.”
Tak lama sebelumnya, Jenderal Spoor sebenarnya sudah membentuk Komisi Enthoven, yang ditugaskan untuk melakukan investigasi apa yang sebenarnya terjadi, menyusul pemberitaan mengenai penyimpangan-penyimpangan di Sulawesi Selatan. Tapi ternyata Komisi tidak sampai menunggu hasil laporan investasi, yang baru diserahkan pada 1948.
ADVERTISEMENT
Van Rij dan Stam dalam laporannya menyatakan bahwa pemerintah tidak seharusnya memberikan kewenangan hukum darurat, yang merupakan suatu pelanggaran atas hukum perang.
Namun laporan ini tidak sampai ditindaklanjuti ke penuntutan. Temuan-temuan mereka dalam laporan itu dipetieskan, sebagaimana laporan Komisi Enthoven dan Excessennota 1969. Parlemen menilai kejahatan telah kadaluwarsa. Rijborz kembali ke Belanda dan tutup usia di kota Sliedrecht pada tahun 1974.
Putra Iabu, Santa (70 tahun), pada saat kekejaman yang merenggut nyawa ayahnya itu terjadi, masih berusia 5 bulan. Dia mendengar cerita memilukan itu dari ibunya. Dia terlihat emosional saat menceritakan bahwa ayahnya dulu bekerja sebagai mandor pembangunan jalan dan kalah dalam duel adu manusia karena berbadan kecil.
"Ibuku yang membawa jenazahnya dan dia dikuburkan bersama 5 orang korban lainnya, termasuk di antaranya pamanku. Nenekku membantu membesarkan kami. Aku tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya. Aku menjadi buruh tani. Kemudian ibu menikah lagi. Meskipun demikian tak ada benci antara keluarga Iabu dan Beddu Tjolle: mereka sama-sama korban," cetus Santa.
ADVERTISEMENT
La Mude Benga dari Amparita mengatakan bahwa orang-orang pada saat itu sangat ketakutan. Ketika pasukan Belanda meninggalkan desa, mereka para penyintas yang selamat dari pembantaian menguburkan para korban bersama-sama.
"Hari itu hujan dan darah mengalir," demikian Benga.
Para ahli waris korban bersama warga sesama desa dari Lisu dan Amparita telah menyatakan akan menggugat negara Belanda atas penderitaan yang mereka alami. Mereka dibantu Comité Nederlandse Ereschulden (Komite Utang Kehormatan Belanda) dan advokat senior Prof. Liesbeth Zegveld.
Laporan: Eddi Santosa