Fayakhun Andriadi Dituntut 10 Tahun Penjara

31 Oktober 2018 16:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi berjalan keluar seusai menjalani sidang di Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi berjalan keluar seusai menjalani sidang di Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi dituntut 10 tahun penjara oleh penuntut . Politikus Partai Golkar itu juga diharuskan membayar denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
Fayakhun dinilai terbukti menerima uang suap senilai USD 911.480 atau sekitar Rp 12 miliar. Suap diduga diberikan agar Fayakhun mengupayakan penambahan anggaran untuk Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam APBN-P tahun 2016.
Menurut jaksa, uang suap kepada Fayakhun berasal dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah. Perusahaan Fahmi merupakan salah satu peserta lelang proyek satelit monitoring dan drone di Bakamla tersebut.
"Menuntut, agar majelis hakim menyatakan terdakwa Fayakhun Andriadi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa KPK Ikhsan Fernandi saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/10).
Terdakwa Fayakun Andriadi (kiri) dalam sidang lanjutan kasus dugaan kasus korupsi Bakamla, Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/9/2018). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa Fayakun Andriadi (kiri) dalam sidang lanjutan kasus dugaan kasus korupsi Bakamla, Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/9/2018). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Selain itu, jaksa juga menuntut pidana tambahan kepada Fayakhun berupa pencabutan hak politik selama lima tahun, setelah selesai menjalani pidana pokok.
ADVERTISEMENT
Dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan yakni perbuatan Fayakhun tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Fayakhun juga dianggap mencederai amanat yang diembanya selaku anggota DPR karena menerima suap.
Sedangkan hal yang meringankannya adalah bersikap sopan dalam persidangan, mengaku dan menyesali perbuatanya, mengembalikan uang yang diterimanya, serta masih mempunyai tanggungan.
Perkara ini berawal ketika pada April 2016, saat Fayakhun bertemu dengan narasumber Kepala Bakamla Ali Fahmi Habsyi dalam kunjungan anggota DPR ke Bakamla. Ketika itu, Ali Fahmi meminta Fayakhun untuk membantu menambah anggaran Bakamla. Dalam pembicaraan itu, Fayakhun dijanjikan akan diberikan fee 6 persen dari nilai anggaran proyek.
ADVERTISEMENT
Fayakhun juga dimintai bantuan oleh Erwin Arief selaku Direktur PT Rohde and Schwarz Indonesia untuk membantu mengupayakan proyek Satelit Monitoring agar dianggarkan. Erwin berjanji akan memberikan fee kepada Fayakhun. Erwin menyebut, Fahmi juga berjanji akan ikut memberikan fee kepada Fayakhun. Perusahaan Fahmi adalah agen untuk produk Rohde & Schwarz.
Sidang kasus korupsi terdakwa Fayakhun Andriadi bersama penasehat hukum di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (27/08/2018). (Foto: Nadia K. Putri)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang kasus korupsi terdakwa Fayakhun Andriadi bersama penasehat hukum di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (27/08/2018). (Foto: Nadia K. Putri)
Permintaan keduanya disetujui oleh Fayakhun. Pada 29 April, Fayakhun memberitahu Fahmi bahwa rekannya di Komisi I DPR merespons baik pengajuan penambahan anggaran Rp 3 triliun untuk Bakamla, termasuk untuk anggaran satelit monitoring sebesar Rp 850 miliar.
"Terdakwa juga mengatakan akan 'mengawal' usulan alokasi tambahan anggaran itu," tegas jaksa.
Fayakhun kemudian meminta tambahan fee 1 persen kepada Fahmi dan Ali Fahmi. Sehingga total fee untuk Fayakhun menjadi 7 persen. Permintaan itu disetujui oleh Fahmi dan Ali Fahmi.
ADVERTISEMENT
Fayakhun disebut sempat menagih fee tersebut kepada Fahmi melalui Erwin Arief. Politikus Golkar itu mengancam tidak akan "mengawal" usulan alokasi tambahan anggaran bila fee tidak segera diberikan.
Pada Mei 2016, Fahmi melalui Muhamad Adami Okta dan Erwin meminta kepastian tambahan anggaran proyek untuk Bakamla menjadi Rp 1,220 triliun. Dengan rincian Rp 500 miliar untuk satelit monitoring, lalu Rp 720 miliar untuk drone.
Erwin juga menyampaikan kepada Fayakhun bahwa Fahmi akan segera memberikan fee 1 persen yang diminta oleh Fayakhun. Menurut perhitungan Erwin, fee 1 persen untuk Fayakhun dari total anggaran adalah USD 927.756 atau Rp 11,985,962,000 dengan kurs Rp 13.150.
Fayakhun meminta fee untuknya diberikan dalam dua tahap. Pada tanggal 4 Mei 2016, Fahmi mengirimkan uang sebesar USD 300 ribu ke dua rekening bank berbeda yang sudah diberikan Fayakhun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dua rekening bank itu ialah Zhejiang Hangzhou Yuhang Rural Commercial Bank company limited, China, atas nama Hangzhou Hangzhong Plastic co.ltd dan Guangzhou Rural Commercial Bank co.ltd.
Beberapa hari kemudian, Fayakhun kembali menagih sisa fee yang belum diberikan Fahmi. Fayakhun sempat mengirimkan pesan Whatsapp yang berbunyi "Petinggi sdh. Kurcaci bisa ngomel".
"Maksudnya adalah agar sisa komitmen segera dikirimkan kepada terdakwa," ujar jaksa.
Pada 23 Mei 2016, Fahmi melalui anak buahnya mengirimkan uang USD 11 ribu ke rekening atas nama Omega Capital Aviation Limited di ABS AG Singapura dan sebesar USD 501.480 ke rekening atas nama Abu Djaja Bunjamin di OCBC Bank Singapura.
Total uang yang dikirimkan Fahmi untuk Fayahun adalah sebesar USD 911.480. Fayakhun kemudian mengambil secara tunai uang itu melalui Agus Gunawan dan Lie Ketty.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya, Fayakhun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.