Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Fayakhun Andriadi Divonis 8 Tahun Penjara
21 November 2018 16:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I DPR nonaktif Fayakhun Andriadi divonis 8 tahun penjara. Politikus Partai Golkar itu juga diharuskan membayar denda Rp 1 miliar subsidair 4 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
Fayakhun dinilai terbukti menerima suap senilai USD 911.480 atau sekitar Rp 12 miliar dari Direktur PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah.
Suap diberikan agar Fayakhun mengupayakan penambahan anggaran Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) untuk proyek pengadaan satellite monitoring dan drone dalam APBN-P tahun 2016. Perusahaan Fahmi Darmawansyah merupakan salah satu peserta yang mengerjakan proyek tersebut.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Fayakhun Andriadi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/11).
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa KPK menuntut Fayakhun dengan hukuman 10 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
Dalam vonisnya, hakim pun merinci hal memberatkan dan meringankan. Perbuatan Fayakhun yang tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mencederai amanat yang diembannya selaku anggota DPR, dianggap sebagai hal-hal yang memberatkan hukuman.
"Sikap terdakwa yang sopan selama di persidangan, mengaku dan menyesali perbuatanya, mengembalikan sebagian uang Rp 2 miliar yang ia terima, serta masih memiliki tanggungan keluarga, menjadi hal-hal meringankan," tutur Hakim.
Usai mendengarkan putusan, Fayakhun dan JPU memilih untuk pikir-pikir.
Perkara ini berawal pada April 2016, saat Fayakhun bertemu dengan narasumber Kepala Bakamla Ali Fahmi Habsyi dalam kunjungan anggota DPR ke Bakamla. Ketika itu, Ali Fahmi meminta Fayakhun untuk membantu menambah anggaran Bakamla dan menjanjikan Fayakhun fee 6 persen dari nilai anggaran proyek.
Fayakhun juga diminta bantuan oleh Direktur PT Rohde and Schwarz Indonesia, Erwin Arief, untuk membantu mengupayakan proyek satelit yang telah dianggarkan. Erwin berjanji juga akan memberikan fee kepada Fayakhun, lantaran PT Merial Esa adalah agen untuk produk Rohde & Schwarz.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada 29 April 2018, Fayakhun memberitahu Fahmi Darmawansyah bahwa rekannya di Komisi I DPR merespons baik usulan penambahan anggaran Rp 3 triliun untuk Bakamla, termasuk anggaran satellite monitoring sebesar Rp 850 miliar.
Fee yang semula dijanjikan 6 persen bertambah menjadi 7 persen lantaran Fayakhun meminta tambahan fee 1 persen kepada Fahmi Darmawansyah dan Ali Fahmi. Fee itu akhirnya disepakati dan ditagih melalui Erwin Arief.
Fayakhun bahkan mengancam tidak akan mengawal usulan alokasi tambahan anggaran jika fee tidak segera direalisasikan. Dia meminta fee tersebut diberikan dalam dua tahap, yakni USD 300 ribu 4 Mei 2016, dan USD 11 ribu dan USD 501.480 pada 23 Mei 2016 ke rekening berbeda. Fayakhun kemudian mengambil secara tunai uang itu melalui pihak perantara bernama Agus Gunawan dan Lie Ketty.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya, Fayakhun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.